Wakil Ketua Parlemen Ukraina Tertawakan Ucapan Fadli Zon soal Rusia Ingin Damai

Anggota DPR Fadli Zon berkata Rusia siap damai, tetapi Ukraina belum siap.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 09 Okt 2022, 07:53 WIB
Anggota MPR Fraksi Gerindra, Fadli Zon saat menjadi narasumber diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Jumat (5/10). Diskusi itu mengambil tema "Ancaman Hoax dan Keutuhan NKRI". (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Perwakilan parlemen Ukraina di Parliamentary 20 (P20) tertawa ketika mendengar ucapan Fadli Zon soal perang dan perdamaian. Pasalnya, Fadli Zon menyebut Rusia sudah siap damai, sementara Ukraina malah enggan.

Hal itu diucapkan Fadli Zon setelah pihak Rusia dan Ukraina hadir di acara P20.

"Dari pihak Rusianya ingin menawarkan langsung kan kemarin. Ayo mumpung kita duduk, kenapa kita tidak bicara? Tapi kelihatannya belum bisa dari pihak Ukraina maupun Uni Eropa," kata Fadli Zon seperti dilaporkan Merdeka.com, Jumat (7/10). 

Ketika dikonfirmasi mengenai anggapan bahwa Ukraina enggan damai, Wakil Ketua Parlemen Ukraina Olena Kondratiuk malah tertawa mendengar hal tersebut. Olena berkata ucapan tersebut tidak sesuai konteks. 

"Rusia adalah profesional dalam propaganda dan disinformasi. Kita belajar dengan cepat, dan kita tahu bagaimana menghadapi propaganda dan disinformasi untuk menghadapinya," ujar Olena Kondratiuk saat wawancara eksklusif dengan Liputan6.com, Sabtu (8/10/2022).

Wanita itu lantas bercerita bahwa saat pidato di P20 ia menjelaskan tentang berbagai hal yang dilakukan Rusia di negaranya, mulai dari pendudukan wilayah, aneksasi, referendum tipu-tipu, penyiksaan, hingga deportasi paksa pada anak-anak. 

Namun, Ketua Parlemen Rusia Valentina Matviyenko melakukan interupsi dan berkata negaranya siap damai. Padahal, ia baru saja melegalkan aneksasi wilayah Ukraina.

"Ada interupsi dari Matviyenko bahwa 'kami siap untuk duduk dan bicara'. Tetapi ia tidak menyebut bahwa dua hari sebelumnya ia menandatangani aturan aneksasi wilayah Ukraina. Baru kemarin. Dan ia lalu mengajak bicara," ujar Olena Kondratiuk.

Ia lantas berkata narasi dari Rusia adalah manipulasi saja. Selain itu, ia juga menyorot bahwa anggota parlemen Rusia berkata-kata ofensif di media sosial.

"Ini murni manipulasi. Dan walau mereka mengajak bicara, mereka terus meroket dan membombardir rakyat sipil Ukraina non-stop," ujar Olena. "Jadi niatnya tulus? Tidak."

 

Klik di sini untuk membaca wawancara eksklusif Olena Kondratiuk.


Kemlu RI Angkat Suara Soal Aneksasi Rusia di Ukraina

Menlu Retno Marsudi dalam press briefing bersama dengan awak media pada Kamis (17/9/2020). (Dok: Kemlu RI)

Sebelumya dilaporkan, Kementerian Luar Negeri RI angkat bicara terkait aneksasi Rusia di wilayah Ukraina. Tindakan Rusia dianggap mempersulit proses perdamaian. 

Rusia memang telah resmi mencaplok empat wilayah Ukraina, termasuk Luhansk (Lugansk). Presiden Vladimir Putin mengklaim rakyat yang memilih bergabung dengan Rusia.

"Di Republik Rakyat Donetsk, Republik Rakyat Lugansk, Wilayah Zaporozhye dan Wilayah Kherson telah diadakan referendum. Sudah dapat ditarik kesimpulan dan hasilnya telah diketahui. Orang-orang telah menentukan pilihan mereka, pilihan yang jelas," ujar Presiden Vladimir Putin dalam pidatonya, dikutip Senin (3/10).

Presiden Putin berkata daerah-daerah yang ia aneksasi akan menjadi warganya selamanya. 

"Saya ingin otoritas Kiev dan majikan mereka yang sesungguhnya di Barat untuk mendengar saya, sehingga semua orang dapat mengingat apa yang saya akan sampaikan: para warga Lugansk dan Donetsk, Kherson dan Zaporozhye menjadi warga negara kita untuk selamanya," kata Presiden Putin.

Narasi dari Presiden Putin adalah referendum tersebut sesuai Piagam PBB. Namun, Kemlu RI berkata referendum Rusia telah melanggar Piagam PBB. 

"Setiap negara harus menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. Prinsip ini secara jelas tertera dan merupakan salah satu prinsip utama Piagam PBB. Indonesia secara konsisten menjunjung tinggi dan menghormati prinsip tersebut," ujar pihak Kemlu RI via Twitter. 

"Prinsip ini juga berlaku terhadap referendum 4 wilayah Ukraina. Referendum tersebut melanggar prinsip piagam PBB dan hukum internasional. Referendum itu akan semakin menyulitkan penyelesaian konflik melalui perundingan dan akibatkan perang semakin berkepanjangan, yang akan merugikan semua pihak," jelas pihak Kemlu RI. 


Gedung Putih: Referendum Rusia Diatur dan Dimanipulasi

Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara bersama Pemimpin Republik Rakyat Luhansk Leonid Pasechnik (kiri), dan Pemimpin Republik Rakyat Donetsk Denis Pushilin (kanan) saat perayaan menandai penggabungan wilayah Ukraina dengan Rusia di Lapangan Merah, Moskow, Rusia, 30 September 2022. (Sergei Karpukhin, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengecam referendum "palsu" yang digelar Rusia di wilayah Ukraina yang diduduki. Ia menilai proses tersebut sebagai proses yang "diatur dan dimanipulasi" dan "langsung dari buku pedoman Kremlin."

Jean-Pierre, pada Rabu (28/9), membuat komentar dalam pemaparan Gedung Putih, sehari setelah pejabat pro-Rusia mengatakan bahwa dalam jumlah yang luar biasa, penduduk di keempat wilayah Ukraina yang diduduki memilih bergabung dengan Rusia dalam referendum yang digelar oleh Kremlin.

Menyebut hasil referendum sebagai "pemaksaan dan disinformasi oleh otoritas boneka," Gedung Putih menyatakan tindakan Rusia "jelas-jelas curang dan tidak memiliki signifikansi hukum apa pun, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/9).

"Kami tidak akan pernah mengakui upaya pencaplokan yang ilegal dan tidak sah ini," kata Jean-Pierre.

Hasil yang telah ditentukan sebelumnya itu membuka celah untuk fase baru yang berbahaya dalam invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung selama tujuh bulan. Kremlin mengancam akan mengerahkan lebih banyak pasukan ke pertempuran itu dan kemungkinan akan menggunakan senjata nuklir.

Sementara, Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan Ukraina akan "membela" warganya di wilayah-wilayah yang diduduki Rusia, ketika pihak berwenang di sana mengumumkan hasil dari apa yang disebut referendum yang telah dikecam oleh Barat.

"Lelucon di wilayah pendudukan ini bahkan tidak bisa disebut sebagai tiruan referendum," kata Zelensky pada Selasa 27 September 2022 dalam sebuah video yang diposting di Telegram. "Kami akan bertindak untuk melindungi rakyat kami baik di wilayah Kherson, di wilayah Zaporizhzhia, di Donbas, di daerah yang saat ini diduduki di wilayah Kharkiv, dan di Krimea."


Hasil Pemungutan Suara

Presiden Rusia Vladimir Putin saat bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Moskow, Rusia, 7 Februari 2022. Vladimir Putin dan Emmanuel Macron berupaya menemukan titik temu atas Ukraina dan NATO di tengah kekhawatiran Rusia sedang mempersiapkan invasi ke Ukraina. (SPUTNIK/AFP)

Di Kherson yang tertelak pada wilayah tenggara, pihak berwenang mengatakan 87% pemilih memilih penyerobotan Rusia setelah penghitungan suara selesai.

Di wilayah Luhansk, Ukraina timur yang dikendalikan oleh separatis pro-Rusia, 98,4% memilih penyerobotan oleh Rusia, kata kantor berita Rusia, mengutip otoritas setempat. "Sudah jelas" bahwa Luhansk akan kembali ke pangkuan Rusia, kata Leonid Pasechnik, pemimpin Republik Rakyat Lugansk yang memproklamirkan diri di Telegram.

Di wilayah Donetsk yang berbatasan, badan jajak pendapat mengatakan 99,2% pemilih memilih penyerobotan Rusia setelah semua surat suara dihitung, demikian menurut kantor-kantor berita setempat.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken mengatakan bahwa Blok Barat tidak akan pernah mengakui penyerobotan Rusia atas wilayah Ukraina, yang disebutnya sebagai bagian dari "skema jahat" oleh Moskow.

Nato mengecam referendum sebagai "palsu" dan "pelanggaran hukum internasional".

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen terhadap integritas teritorial Ukraina di dalam perbatasan yang diakui.

Infografis Pro-Kontra Rencana Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya