Liputan6.com, Tehran - Situasi di Iran masih panas setelah kematian wanita bernama Mahsa Amini (22). Ia meninggal setelah ditangkap polisi moral dan pihak keluarga dan aktivis HAM menuduh adanya kekerasan polisi.
Prancis lantas meminta warganya untuk segera evakuasi, sementara Indonesia masih memilih untuk memantau situasi terlebih dahulu.
Baca Juga
Advertisement
Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (10/10/2022), Direktur Perlidungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, Sabtu (8/10), mengatakan KBRI Tehran, Ibu Kota Iran , belum berencana mengevakuasi warga Indonesia dari Iran yang beberapa pekan terakhir dilanda gelombang unjuk rasa besar.
Judha mengatakan hingga saat ini, tidak ada informasi ada warga Indonesia menjadi korban dari sejumlah demo yang berlangsung di berbagai kota di Iran. Demo-demo itu dipicu oleh kematian perempuan Iran, Mahsa Amini, saat dalam tahanan polisi syariah karena melanggar aturan berhijab.
"Selanjutnya KBRI Teheran juga menyampaikan imbauan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang berada di wilayah Iran untuk tetap waspada, berhati-hati, tidak ikut serta dalam kegiatan politik lokal yang ada di sana dan segera menghubungi otoritas setempat dan hotline KBRI Teheran jika mengalami keadaan darurat," kata Judha.
Menurut Judha, ada 397 warga Indonesia yang tersebar di 14 kota di Iran dan mayoritas adalah mahasiswa.
Dalam dua pekan, demonstrasi antirezim yang pecah pertengahan September tersebut menyebar ke-93 kota di 31 provinsi di Iran. Jumlah korban tewas sudah tembus seratus orang.
Prancis Minta Evakuasi
Prancis pada Jumat (7/10) mendesak semua warga negaranya untuk meninggalkan Iran sesegera mungkin karena mereka dianggap berisiko mengalami penahanan sewenang-wenang.
"Warga Prancis yang berkunjung, termasuk yang memiliki kewarganegaraan ganda, menghadapi risiko tinggi penangkapan, penahanan sewenang-wenang, dan persidangan yang tidak adil," kata kementerian luar negeri Prancis di lamannya.
Prancis pekan ini mengecam Iran atas "praktik-praktik kediktatoran" serta penahanan yang dialami dua warga negaranya, demikian seperti dikutip dari Antara, Sabtu (8/10).
Penahanan itu dilakukan Iran setelah kedua warga Prancis itu dalam sebuah video yang disiarkan pada hari Kamis (6/10) terlihat mengaku melakukan pemata-mataan.
Penahanan juga terjadi di tengah kerusuhan, yang sudah berjalan berminggu-minggu dan dituding pemerintah Teheran ada kaitannya dengan musuh-musuh dari negara asing.
Kemenlu Prancis sebelumnya pada hari Jumat mendesak Iran untuk segera membebaskan kedua warganya.
Advertisement
Ketua Parlemen Iran: Demonstrasi Bisa Perlemah Masyarakat
Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Qalibaf mengingatkan demonstrasi-demonstrasi yang terjadi memprotes kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi dapat mendestabilisasi negara.
Qalibaf hari Minggu (2/10) menyerukan pada aparat keamanan untuk menangani dengan tegas aksi demonstrasi yang diklaimnya telah membahayakan keamanan publik.
Qalibaf mengatakan kepada parlemen bahwa tidak seperti demonstrasi saat ini, yang katanya bertujuan menggulingkan pemerintah, demonstrasi oleh guru dan pensiunan ditujukan untuk reformasi, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (4/10).
Dua minggu terakhir ini ribuan warga Iran turun ke jalan memprotes kematian Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan polisi setelah ditangkap polisi moral pada 13 September lalu karena tidak mengenakan jilbab secara benar.
Para pengunjuk rasa telah melampiaskan kemarahan mereka terhadap perlakuan pada kaum perempuan dan penindasan yang lebih luas di negara itu. Demonstrasi itu dengan cepat bergulir menjadi seruan untuk menggulingkan kelompok ulama garis keras telah telah memerintah di Iran sejak revolusi Islam tahun 1979.
Demonstrasi itu menarik dukungan dari berbagai kelompok etnis, termasuk gerakan oposisi Kurdi di barat laut Iran yang beroperasi di sepanjang perbatasan dengan Irak.
Mahsa Amini adalah seorang warga Kurdi-Iran, dan demonstrasi pertama terjadi di daerah Kurdi.
Televisi pemerintah Iran melaporkan sedikitnya 41 demonstran dan polisi meninggal sejak demonstrasi 17 September lalu. Sementara perhitungan Associated Press berdasarkan pernyataan pihak berwenang menunjukkan sedikitnya 14 orang tewas, dan lebih dari 1.500 demonstran ditangkap.
Qalibaf adalah mantan komandan berpengaruh di pasukan paramiliter Garda Revolusioner Iran. Bersama presiden dan kepala kehakiman, ia merupakan salah seorang dari tiga pejabat tinggi yang menangani seluruh masalah penting di Iran.
Akibat Masalah HAM, Iran Diminta Dicoret dari Piala Dunia 2022
Masalah hak asasi manusia mengiringi Langkah Iran di Piala Dunia 2022. Sebuah kelompok aktivis perempuan di bidang sepakbola, Open Stadiums, melancarkan protes dengan langsung mengirim surat kepada Presiden FIFA, Gianni Infantino.
Dalam suratnya tanggal 29 September 2022 mereka meminta FIFA menyingkirkan Iran dari putaran final Piala Dunia di Qatar pada November mendatang karena perlakuan negara itu terhadap perempuan.
Organisasi itu mengatakan pihak berwenang Iran terus menolak mengizinkan perempuan menghadiri pertandingan di dalam negeri meskipun ada tekanan dari badan pengatur pertandingan itu.
"Mengapa FIFA memberi panggung global kepada Iran dan perwakilannya? Padahal, Iran tidak hanya menolak menghormati hak asasi dan martabat, tetapi juga kini menyiksa dan membunuh rakyatnya sendiri? Di mana prinsip-prinsip FIFA dalam hal ini?," tanya organisasi itu.
"Karena itu, kami meminta FIFA, berdasarkan Pasal 3 dan 4 statutanya, untuk segera mengeluarkan Iran dari Piala Dunia 2022 di Qatar.”
Dilansir Mirror, dalam surat empat halaman yang diterbitkan secara daring, Open Stadium mengatakan selama lebih dari empat dekade, Wanita Iran telah ditolak kebebasannya yang paling mendasar.
“Kami telah dilarang menikmati olahraga, menonton pertandingan di stadion dan bersorak untuk tim sepak bola kami.”
Mereka juga mengklaim bahwa sejumlah jurnalis dan fotografer wanita telah ditangkap dan ditahan karena mencoba melaporkan olahraga di negara itu.
Advertisement