Liputan6.com, Tokyo - Media Jepang melaporkan bahwa popularitas untuk pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida anjlok hingga 35 persen pada Oktober 2022. Kenaikan harga menjadi salah satu biang keladinya.
Survei yang dilaksanakan Kyodo News tersebut menunjukkan terus merosotnya popularitas PM Kishida.
Advertisement
Berdasarkan laporan Kyodo, Senin (10/10/2022), popularitas PM Kishida masih berada di angka 54,1 persen pada Agustus 2022, kemudian merosot menjadi 42,1 persen pada September 2022.
Survei Kyodo News melibatkan 487 rumah tangga yang dihubungi lewat telepon dan 2.043 orang yang dihubungi via telepon seluler. Mereka dihubungi secara acak. Sebanyak 421 pengguna telepon memberikan respons dan 646 pengguna telepon memberikan respons.
78,8 persen responden merasa hidup mereka terdampak kenaikan harga-harga di Jepang, seperti makanan, kebutuhan sehari-hari, tagihan rumah, dan sebagainya. 62,7 persen juga meminta supaya Menteri Revitalisasi Ekonomi Daishiro Yamagiwa untuk digantikan.
Selain masalah harga, kematian Shinzo Abe juga menjadi faktor yang disorot. Partai Demokrat Liberal tempat Kishida bernaung disebut memiliki hubungan dengan Gereja Unifikasi. Gereja tersebut disorot karena dugaan kasus manipulasi jemaah sehingga berbuntut pada kematian Shinzo Abe.
Tetsuya Yamagami yang menembak mati Shinzo Abe adalah anak dari anggota Gereja Unifikasi. Pria itu mengaku marah karena gereja itu dianggap mempengaruhi ibunya sehingga memberikan banyak uang hingga keadaan finansial keluarga Yamagami berantakan.
Lebih lanjut, merosotnya popularitas PM Kishida juga terkait pemakaman Shinzo Abe pada September 2022. Pemakaman kenegaraan itu menuai oposisi dari sejumlah pihak. Publik menyorot biaya pemakaman serta politik Abe yang dinilai tak populer bagi semua orang.
Sebanyak 61,9 persen menolak pemakaman Shinzo Abe, sementara 36,9 persen mendukung.
P20, Puan Maharani Ajak Parlemen Dunia Atasi Gejolak Ekonomi Global
Terkait masalah ekonomi, Ketua DPR RI Puan Maharani mengajak parlemen-parlemen dunia, khususnya negara-negara G20, untuk bersama-sama mengatasi gejolak ekonomi global. Puan menilai, dibutuhkan upaya multilateralisme dalam mengantisipasi resesi ekonomi yang tengah mengancam dunia.
Hal tersebut disampaikan Puan dalam Pertemuan Parliamentary Forum in the Context of the G20 Parliamentary Speakers’ Summit (P20) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/10).
Pertemuan dihadiri oleh Presiden Inter-Parliamentary Union (IPU) Duarte Pacheco dan para Pimpinan Parlemen Negara G20, termasuk Speaker of The House of Commons Inggris, Sir Lindsay Harvey Hoyle.
Forum ini merupakan rangkaian kegiatan the 8th G20 Parliamentary Speakers' Summit (P20) yang akan dibuka secara resmi besok, Kamis 6 Oktober 2022, di Gedung DPR. Adapun tema yang dibahas pada Inter-parliamentary Forum P20 adalah tentang peran parlemen dalam memperkuat Multilateralisme di abad 21.
"Sebagai tuan rumah pelaksanaan P20 tahun ini, DPR RI berkomitmen penuh untuk mensukseskan kontribusi parlemen dalam menyelesaikan berbagai krisis global, termasuk upaya pemulihan pandemi Covid-19 yang inklusif dan berkelanjutan," kata Puan saat menyampaikan sambutan.
Puan menambahkan, saat ini dunia sedang melakukan berbagai upaya pemulihan sosial dan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Kondisi tersebut menempatkan situasi perekonomian domestik membutuhkan respons kebijakan fiskal dan moneter yang dapat mengantisipasi agar pemulihan sosial dan ekonomi dapat terus berlanjut dan menjaga agar kualitas kesejahteraan rakyat tidak menurun.
"Kita juga masih memiliki sejumlah agenda global dalam menuntaskan pembangunan berkelanjutan, yaitu antara lain hal-hal yang berkaitan dangan climate change, lingkungan hidup, ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan," tutur Puan.
Puan juga menyinggung terjadinya gejolak ekonomi global dan ketidakpastian yang berlanjut di tahun depan. Oleh karenanya, kata Puan, agenda pembangunan berkelanjutan membutuhkan respon negara-negara dunia.
"Kehadiran kita dalam pertemuan P20 adalah untuk dapat membangun komitmen kerja bersama dalam merespons gejolak dan tantangan global tersebut," sebut Puan.
Advertisement
Antisipasi Resesi Ekonomi
Menurut Puan, kekuatan parlemen dalam mewakili suara rakyat memberikan legitimasi atas upaya Pemerintah negara masing-masing dalam menjalankan komitmen kebijakan luar negeri dan kerja sama antar negara.
"Legitimasi parlemen tersebut akan diarahkan untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat global yang lebih baik, dengan hidup sejahtera, tentram dan memiliki bumi yang berkelanjutan," ungkap Puan.
Untuk itu, multilateralisme disebut sangat dibutuhkan untuk membangun kerja bersama antar negara yang efektif. Puan menilai, Multilateralisme dapat menjawab berbagai permasalahan seperti mendamaikan perang dagang, mendamaikan konflik geopolitik, mengatasi krisis pangan dan energi, melawan eksploitasi, hingga membangun kemajuan bersama.
"Indonesia mengajak parlemen P20, melalui Multilateralisme, untuk mencari solusi dan konsensus dalam mengantisipasi resesi ekonomi, mengatasi scary effect gejolak ekonomi global," tegasnya.
"Selain itu juga untuk mempercepat transformasi ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang lebih luas, serta memperkuat orkestrasi G20 dalam menggerakkan agenda pembangunan berkelanjutan," imbuh Puan.
Bank sentral di seluruh dunia ke depan diperkirakan akan merespons gejolak ekonomi dengan melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan secara bersama-sama. Tentunya, kata Puan, hal tersebut akan berdampak pada resesi ekonomi.
"Gejolak ini akan mengakibatkan penurunan kesejahteraan masyarkat global. Krisis ekonomi yang merambat pada krisis sosial. Diperlukan berbagai langkah antar negara, khususnya negara2 G20, untuk dapat memastikan rantai pasok komoditi strategis tetap aman untuk memenuhi kebutuhan domestik," papar Puan.
Resesi Global Kian Dekat, Bos IMF Desak Dunia Bertindak
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mendesak para pembuat kebijakan global untuk mengambil tindakan guna meredam risiko resesi global.
Dikutip dari Channel News Asia, Jumat (7/10) dalam pidato menjelang pertemuan tahunan IMF pekan depan, Georgieva mengatakan bahwa saat ini sangat penting untuk menstabilkan ekonomi global dengan mengatasi tantangan yang paling mendesak, termasuk inflasi yang merajalela.
Akan tetapi, Georgieva juga memperingatkan proses tersebut tidak akan mudah dan mengakui bahwa jika bank sentral bergerak terlalu agresif untuk menekan tekanan harga, hal itu bisa memicu penurunan ekonomi yang "berkepanjangan".
"Ini tidak akan mudah, dan upaya itu tidak akan dilalui tanpa rasa sakit dalam waktu dekat," kata Georgieva dalam pidatonya di Georgetown University.
"Di tengah pandangan global yang semakin gelap ... risiko resesi meningkat," bebernya, mencatat bahwa sepertiga negara diperkirakan akan mengalami setidaknya dua perempat kontraksi.
Georgieva juga mengatakan, "Bahkan ketika pertumbuhan positif, masih akan terasa seperti resesi." Menurut dia, hal ini dikarenakan lonjakan harga pangan dan energi yang mengikis pendapatan.
IMF pun kembali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 mendatang, dalam laporan yang akan diterbitkan pekan depan untuk pertemuan tahunan.
"Dalam waktu kurang dari tiga tahun kita akan hidup melalui guncangan, setelah guncangan lainnya," ujarnya.
Advertisement