Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 telah menciptakan krisis global bukan cuma fisik juga kesehatan mental. Data menunjukkan pandemi COVID-19 memicu stres jangka pendek dan jangka panjang serta merusak kesehatan mental jutaan orang.
Kecemasan dan gangguan depresi meningkat lebih dari 25 persen selama tahun pertama pandemi, menurut WHO. Pada saat yang sama, layanan kesehatan mental yang berantakan menyebabkan melebarnya kesenjangan perawatan kesehatan mental.
Advertisement
Tak hanya pandemi, stigma dan diskriminasi turut menjadi penghalang akses ke perawatan yang tepat. Masih banyak orang yang menganggap enteng masalah dan gangguan mental. Banyak yang beranggapan kesehatan mental bukanlah hal serius yang harus diperhatikan dan dijaga.
Banyak masyarakat percaya bahwa seseorang yang memiliki masalah kesehatan mental berarti gila. Masyarakat akan menilai orang tersebut tidak waras yang berujung pada penurunan kesehatan mental yang semakin parah. bentuk penghakiman dan diskriminasi inilah yang menyebabkan maslaah kesehatan mental menjadi krisis dan sulit ditangani.
"Stigma baik dari masyarakat, individu, bahkan dari tenaga pemerintah juga harus ditingkatkan," ujar dokter RSUP Fatmawati dr. Dian Pitawati, SpKJ dalam talkshow bertema "Jadikan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan unyuk semua sebagai Prioritas Global" pada Senin (10/10/2022) bersama
Anggapan mengunjungi fasilitas kesehatan jiwa merupakan hal yang memalukan merupakan persepsi menyimpang yang disebabkan oleh misinformasi dan rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan jiwa. Oleh karena itu, kata Dian, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan jiwa dengan mencari sumber informasi yang tepat.
Pentingnya Self-awareness
Kesadaran diri merupakan hal penting untuk mendeteksi masalah kesehatan jiwa yang mungkin kita alami. Menurut Dian, kita harus bisa self-awareness mengenai kondisi kesehatan mental kita.
Apabila kita merasa ada yang berubah dari diri kita dan itu terjadi secara berkelanjutan, maka perlu untuk berkonsultasi ke fasilitan kesehatan jiwa. Misalnya merasa kehilangan minat dan semangat, sulit tidur, sering cemas maka segera saja berkonsultasi ke tenaga kesehatan, bisa ke psikolog terlebih dahulu atau ke dokter spesialis kedokteran jiwa.
Dian juga menegaskan bahwa kita tak perlu terlalu mengkhawatirkan respons negatif dari orang di sekitar kita.
"Enggak usah takut mau dibilang gila, karena kita emang butuh," ujar Dian.
Menurut Dian, semua orang punya kesempatan yang sama untuk dapat menjaga kesehatan mental. Tak hanya itu, mental yang sehat juga dapat meningkatkan kualitas diri kita yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup orang lain. Itulah mengapa penting bagi kita untuk paham bahwa gangguan mental bukanlah aib yang harus disembunyikan melainkan hal yang harus ditangani dengan segera.
Jadi, jangan takut berkonsultasi dengan fasilitas kesehatan jiwa jika dirasa memiliki gangguan mental.
Advertisement
Tema World Mental Health Day 2022
Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health 2022. Tahun ini WHO mengambil tema Making Mental Health & Well-Being for All a Global Priority.
Lewat tema ini, WHO berharap menjadi kesempatan bagi orang-orang dengan kesehatan mental, lalu advokat, pemerintah, pengusaha dan karyawan serta pemangku kepentingan untuk menyuarakan agar bisa memprioritaskan kesehatan global dalam kehidupan sehari-hari.
"Stigma dan diskriminasi terus menjadi penghalang dalam mengakses ke perawatan yang tepat. Namun, yang penting, kita semua dapat memainkan peran kita dalam meningkatkan kesadaran tentang intervensi pencegahan masalah kesehatan jiwa," tulis WHO di laman resminya.
WHO juga berharap bakal terwujud nantinya sebuah dunia di mana kesehatan mental dihargai, dipromosikan dan dilindungi. Orang-orang juga punya kesempatan yang sama untuk menikmati kesehatan mental. Lalu, orang-orang bisa mengakses perawatan kesehatan mental yang dibutuhkan.
(Penulis: Adelina Wahyu Martanti)