Liputan6.com, Jakarta - Toxic masculinity adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan aspek negatif dari sifat-sifat maskulin yang berlebihan. Menurut Medical News Today, istilah ini digunakan di masyarakat modern sebagai sifat-sifat maskulin berlebihan yang diterima atau dikagumi secara luas oleh banyak budaya.
Adapun menurut Cambridge Dictionary, gagasan tertentu yang ditujukan kepada laki-laki seperti, 'laki-laki tidak boleh menangis', 'laki-laki tidak boleh mengakui kelemahan', hingga gagasan yang mengatakan bahwa hal-hal seperti puisi atau bunga adalah untuk perempuan, sehingga memalukan bagi laki-laki untuk menyukainya.
Advertisement
Dilansir Omnia Health, toxic masculinity lahir dari masyarakat yang mengajarkan anak laki-laki bahwa mereka tidak boleh mengekspresikan emosi secara terbuka. Hal tersebut diyakini membuat laki-laki menanamkan emosi, tidak mampu untuk membuka diri, hingga sulit memahami pentingnya kesehatan mental karena takut akan stigma 'lemah'.
Lebih lanjut, The Conversation mendefinisikan toxic masculinity kerap membuat laki-laki dinilai mustahil mengalami kekerasan seksual karena dianggap memiliki kuasa, dominasi, dan kekuatan di atas perempuan. Dengan begitu, sulit bagi laki-laki untuk mencari tempat perlindungan dan rasa aman di ruang publik.
Sementara menurut warganet, toxic masculinity tidak hanya berdampak kepada lelaki, tetapi kepada semua gender. Bagi laki-laki, toxic masculinity membuat laki-laki rentan kepada isu kesehatan mental, gangguan kejiwaan, hingga pelecehan seksual.
Hal tersebut dibuktikan dengan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018, yang menunjukkan, 60 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Kesehatan Mental Menjadi Hal yang Tabu Hingga Bunuh Diri
Dalam cuitannya, Psikiatri RS Siloam, dr Jiemi Ardian SpKj, menyampaikan bahwa laki-laki tidak diijinkan untuk berbagi rasa oleh masyarakat. Hal ini membuat laki-laki memilih jalan lain dengan meminum alkohol, obat, dan candu lainnya.
Jiemi melihat, anggapan laki-laki kuat adalah lelaki tanpa emosi sudah tertanam di masyarakat. Hal ini juga membuat laki-laki sulit untuk terbuka dan menunjukkan sisi rapuhnya. Laki-laki pun membutuhkan pengajaran emosi yang perlu dikenali dan dipahaminya.
Lebih lanjut, laporan Bank Dunia menunjukkan, tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai 2,4 per 100 ribu penduduk. Artinya, terdapat 2 orang yang melakukan bunuh diri dari setiap 100 ribu penduduk di Indonesia. Rasio ini cenderung stabil sejak 2014 hingga 2019.
Adapun berdasarkan data databoks, tercatat tingkat bunuh diri laki-laki di Indonesia pada 2019 lebih tinggi ketimbang perempuan yakni sebesar 3,7 per 100 ribu penduduk yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, biologis, dan sosial yang menyertainya.
Advertisement
Cara Bantu Perangi Toxic Masculinity
Dilansir Washington Post, maskulinitas pria kulit putih di Amerika rentan menjadi penyebab bunuh diri. Untuk mencegahnya, salah satu responden pria kulit puith paruh baya mengatakan bahwa berbicara dapat membantu seseorang untuk tetap melanjutkan hidupnya.
“Tren yang ada adalah perempuan itu cenderung lebih banyak melakukan usaha bunuh diri, tetapi untuk derajat beratnya percobaan itu lebih banyak kepada laki-laki, sehingga akhirnya mungkin ditemukan bahwa kasus meninggal lebih banyak kepada laki-laki,” ucap Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, dr. Andreas Kurniawan SpKJ.
Menurut dr. Andreas, di Amerika laki-laki melakukan upaya dengan lebih lethal seperti senapan atau kekerasan yang membuat angka percobaan bunuh diri kepada laki-laki tinggi.
Untuk membantu seseorang melewati masalah yang sedang dihadapinya, dr. Andreas kemudian memaparkan salah satu cara, yakni menjadi pendengar yang baik.
Dengan memberi gestur tertarik, mendengar secara empatik, dan menyediakan diri kita sepenuhnya, dapat menjadi tempat bagi seseorang untuk medengarkan cerita dan memahami apa yang sedang dihadapinya.
Perlunya Keterlibatan Laki-laki dalam Isu Mental dan Kekerasan Seksual
Melansir The Conversation, menghapus gagasan toxic masculinity adalah langkah pertama untuk meyakini bahwa mereka sangat mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini dipercaya dapat membuat laki-laki tidak akan ragu mencari tempat perlindungan dan ruang aman ketika menyadari dirinya menjadi korban.
Salah satu contohnya adalah gerakan Aliansi Laki-Laki Baru di Indonesia sebagai upaya menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual dengan menggandeng tangan laki-laki. Gerakan ini menjadi pendorong nilai-nilai kesetaraan gender dengan menyasar laki-laki sebagai subjek, untuk merefleksikan kembali maskulinitas beracun di dalam diri mereka yang kerap kali menjadi sumber permasalahan.
Selain itu, dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 12 April lalu menjadi instrumen bagi segenap masyarakat Indonesia untuk memberantas kekerasan seksual dan memberi ruang aman bagi seluruh gender.
Dengan keterlibatan aktif laki-laki, upayanya tidak hanya untuk menolong diri mereka sendiri, tetapi sebagai bentuk perjuangan dan kesetaraan seluruh kelompok gender.
Advertisement