Kalau Ada yang Impor Sementara Petani Bisa Produksi, Itu Gila Namanya

Bagi Mentan Syahrul Yasin Limpo, petani itu pahlawan sebenarnya. Dia mencontohkan, kalau harga naik, di petani itu naiknya hanya sedikit.

oleh Rinaldo diperbarui 11 Jan 2023, 21:30 WIB
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Meski sudah menempati banyak posisi di pemerintahan, nama Syahrul Yasin Limpo tetap saja identik dengan Gubernur Sulawesi Selatan. Tak heran, karena pria kelahiran Makassar, 16 Maret 1955 ini merupakan Gubernur Sulawesi Selatan pertama yang dipilih secara langsung (2008-2018).

Tahun pertama menjadi gubernur, Syahrul menargetkan peningkatan posisi Sulawesi Selatan sebagai provinsi penyangga beras untuk kebutuhan nasional. Target produksi padi pada 2008 sebanyak 4.042.471 ton gabah kering giling (GKG) yang didukung luas lahan sekitar 792.641 ha dengan tingkat produktivitas 51,00 kuintal/ha. Sementara target tanam padi untuk musim tanam 2009 seluas 868.411 ha dengan sasaran produksi 5.084.323 ton GKG dengan produktivitas 58,55 kwintal/ha.

Pada tahun 2009, pergerakan ekonomi Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan sekitar 7.8 persen. Hal ini dipicu dengan pertumbuhan produksi jagung sehingga Syahrul Yasin Limpo mengatakan akan melakukan terobosan di tengah krisis global dengan melayani kebutuhan ekspor ke Malaysia dan Filipina dan menyusul pengiriman yang sudah dilakukan sekitar 8 ribu ton ke Filipina, Maret 2009.

Tak heran, atas semua prestasi itu Presiden Joko Widodo tertarik dan mengajak Syahrul masuk Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024. Dengan sokongan Partai Nasdem, Syahrul Yasin Limpo dilantik Presiden sebagai Menteri Pertanian di Istana Negara pada 23 Oktober 2019 menggantikan Amran Sulaiman yang juga berasal dari Sulawesi Selatan.

Tugas Syahrul pun makin berat karena dunia menghadapi ancaman krisis pangan. Karena itu, untuk memastikan keadilan dan keamanan pangan, Mentan mengajak dan menyerukan kepada negara-negara yang tergabung dalam Forum G20 untuk duduk bersama saling bertukar gagasan.

Hal itu ditegaskan Syahrul saat memimpin sidang Agriculture Ministers Meeting (AMM) G20 di Hotel InterContinental Jimbaran, Bali, akhir September lalu. Isu utama dalam forum ini menurut Syahrul, bagaimana agar tidak ada lagi negara yang mengalami dan terancam krisis pangan serta ketersediaan dan kecukupan pangan.

Kepada Liputan6.com yang mewawancarainya pada akhir pekan lalu, Mentan bercerita banyak soal kesejahteraan petani, impor pangan, solusi di tengah ancaman krisis pangan serta usulan yang diajukan Indonesia dalam pertemuan G20.

Berikut petikan wawanca Syahrul dengan Ratu Annisaa dari Liputan6.com:


Kita Sudah Tidak Impor Beras

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebelumnya kami ingin mengucapkan selamat, karena menjelang HUT ke-77 RI kemarin, Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) sebagai pengakuan atas sistem pertanian dan pangannya yang tangguh serta swasembada beras tahun 2019 hingga 2021 melalui penggunaan teknologi inovasi padi. Nah, ini kan pasti hasil kerja keras dari Kementerian Pertanian ya, Pak?

Ya bicara pangan itu bicara yang sangat terintegrasi satu dengan lain, sangat kompleks. Oleh karena itu tentu saja keberhasilan suatu proses, kalau kita bicara pangan, apalagi beras misalnya, itu stakeholder-nya banyak. Jadi bukan hanya kementerian yang berhasil.

Sebenarnya keberhasilan bangsa ini dengan kepemimpinan Bapak Presiden yang sangat greget gitu ya, saya pakai istilah begitu. Sehingga kita akhirnya kemudian yang kemarin tergantung dengan negara lain, berpuluh tahun, kita akhirnya khusus untuk beras kita sudah ya katakan nggak impor lagi. Kemandirian-kemandirian bisa kita lakukan.

Ini suatu kemajuan untuk bangsa Indonesia, apalagi mengingat ada ancaman krisis pangan di dunia saat ini. Apakah Bapak melihat ancaman krisis itu sudah sangat mengkhawatirkan?

Seluruh dunia khawatir terhadap krisis pangan. Setelah kita dihajar dua setengah tahun dengan Covid yang belum selesai, kemudian Covid itu membangun dinamika dan akumulasinya kita rasakan sekarang, perlambatan ekonomi terjadi di berbagai sektor, semua tidak linear. Kemudian kita dihantam oleh iklim yang sangat ekstrim atau climate change, di mana kalau panas dia membakar rumput-rumput dan macam-macam tumbuhan. Kalau hujan sedikit langsung banjir, air permukaan air naik.

Ini membutuhkan berbagai langkah penyesuaian-penyesuaian karena pertanian itu sangat bersesuaian dengan cuaca dan alam. Oleh karena itu, kemarin menghadapi kondisi itu setelah dua tahun memang negara dalam hal ini Presiden, tentu saja jajaran Kementan bekerja keras memang, karena kita juga nggak boleh main-main dengan pangan. Kita 273 juta orang. Kita negara keempat terbesar di dunia yang harus siap makannya.

Apa langkah Kementan menghadapi ancaman krisis pangan tersebut?

Berbagai langkah yang kita lakukan antara lain melakukan intensifikasi dari lahan-lahan yang ada, kemudian melakukan ekstensifikasi pada lahan-lahan yang marginal, yang kemudian bisa dioptimalisasi hasil dari pertanian yang ada, whatever hasilnya apa. Dan bermuara kepada produktivitas kita alhamdulillah tidak impor lagi kan, khususnya untuk beras.

Tapi itu karena ada penggunaan-penggunaan teknologi dari hasil riset atau R&D kita, litbang kita ini kerja, ada varietas yang kita memang sudah ujicoba dengan para ahli kita. Cocok untuk lahan yang dataran rendah, dataran yang berbukit-bukit, dataran yang ada airnya, dataran yang setengah kering, yang kering, bahkan varietas Serawak kita miliki.

Dan alhamdulillah ujicoba itu yang dilihat oleh IRRI, ya. Dan IRRI sebagai lembaga riset dan tempat berkumpulnya scientific di bidang beras oleh dunia di sana, lembaga ini di bawah kontrol PBB juga kan, lembaga-lembaga internasional. Dan hasilnya, Presiden atau negara RI mendapatkan acknowledge gitu ya, penghargaan yang luar biasa terhadap hasil produksi beras kita. Dan itu tentu saja menggembirakan kita semua, bukan hanya Kementerian Pertanian.

Nah, kemarin pada sidang Agriuculture Ministers Meeting di G20, Bapak mengajukan tiga isu prioritas tentang sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, mendorong perdagangan yang adil, terbuka dan transparan, serta digitalisasi sistem pertanian untuk pedesaan. Bisakah Bapak menjabarkan serta rencana eksekusinya seperti apa kira-kira?

Tuhan telah memberikan anugerah kepada alam Indonesia yang sangat-sangat tersedia, given-nya luar biasa. Kita punya Indonesia mulai dari pantai ke dataran rendah, dataran yang berbukit tinggi juga kita miliki. Dan negara tropis itu kaya dengan iklim, kaya dengan matahari, kita terus bersinar, angin terus jalan, air dimana-mana, dan ini membuat kita harus bisa pede (percaya diri) menggunakan segala upaya dan konsepsi agar apa pun besok kejadian ketahanan pangan itu kita mampu, siap lebih kuat.

Dan kita harus yakin bahwa Indonesia memiliki segalanya juga untuk mempersiapkan diri untuk kepentingan krisis pangan itu. Dan di G20 itu, ini semua dibahas, tiga isu yang tadi sudah disebut. Antara lain ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan itu menjadi penting. Oleh karena itu, satu isu ini saya akan panjang.

Misalnya, tidak boleh satu negara merasa hanya untuk negaranya. Karena krisis dunia itu akan merembet kepada semua. Tidak ada satu negara yang kuat sendiri. Katakanlah cuma Indonesia saja. Kita harus berpikir juga untuk kepentingan dunia. Apalagi Indonesia adalah Presidensi G20, kan? Dan inilah saatnya Indonesia juga berguna untuk kepentingan dunia.

Dan itu disuarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization), seperti itu. Yang kedua, digital system menjadi bagian. Kalau kita mau membuat pertanian kita makin akseleratif, kemudian makin efektif, makin efisien, makin komersil, digital system menjadi bagian. Dan ternyata digital system itu enggak bisa dihindari lagi kan?

Selama pandemi Covid-19 itu perdagangan kan melalui digital. Dan kalau digital ini sampai masuk di pertanian, sampai di perdesaan, mulai dari bagaimana mengantisipasi cuaca, meminta Artificial Intelligence (AI) bermain sebagai bagian dari kemajuan-kemajuan teknologi, itu akan sangat membantu petani kita untuk mengukur cuacanya seperti apa.


Krisis Pangan Dunia Harus Dihadapi Bersama

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Artinya Kementan sudah menerapkan digitalisasi dalam mengelola pertanian dan hasilnya?

Kita masuk saja di, katakanlah, berbagai situs-situs yang kita miliki di Kementan. Kemudian, sistem digital bisa menjadikan wadah untuk melakukan konsultasi. Kementan membuat semacam konsultan, semua dirjen punya web yang bisa diakses, WA yang bisa diakses untuk meminta advice seperti apa.

Dan hal yang paling penting juga market dari hasil pertanian bisa terdeteksi. Berapa sih harga cabai di Jakarta, berapa harga cabai di Maluku, dan lain-lain. Digital system menjadi jawaban untuk menghadapi kehidupan dan era baru ke depan.

Yang ketiga tentu, pertanian harus membuka peran perdagangan yang adil. Jangan ada negara yang menutup dirinya karena kepentingannya, padahal dia sudah kontrak. Bahkan kami dapatkan satu kesimpulan di G20 itu atas prakarsa Indonesia bahwa pangan adalah human right. Tidak boleh ada negara dengan alasan apa pun kalau ada orang kelaparan, negara lain tidak boleh melakukan intervensi.

Lantas, bagaimana tanggapan negara-negara di Forum G20 atas gagasan Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan ini?

Bukan cuma Indonesia. Sebenarnya, hati kita, pikiran kita, gagasan kita hampir sama. Bahwa menghadapi krisis pangan dunia itu adalah tanggung jawab dari ke semuanya kita. Bahkan para menteri yang hadir itu sebagai top penanggung jawab pangan di negara masing-masing sependapat bahwa harus ada kerja sama, jadi menghadapi krisis yang anomali ini, jawabannya hanya satu. Mampu nggak kita mitigasi dan adaptasi dengan era yang seperti ini?

Yang kedua, setelah mampu mengadaptasi, memitigasi era yang ada sesuai dengan kebutuhan negara, langkah selanjutnya adalah kerja sama, kolaborasi. Misalnya, saya harus memperkuat komunikasi dengan India sehingga gandum dari India tetap jalan. Tapi India juga harus, kita harus commit bahwa CPO dari sawit kita harus tetap masuk di sana. Tidak boleh saling blok, gitu loh.

Oleh karena itu kerja sama ini kita sepakati bahwa perdagangan harus terukur, tetapi tetap tidak boleh saling merugikan. Tetapi tentu saja ya tidak boleh bebas-bebas amat mengimpor masuk ke Indonesia, padahal ini barang kita tidak butuhkan. Ini barang bisa dibuat di Indonesia, nggak boleh begitu.

Tapi kalau gandum, totally, gandum itu dari importasi kita. Oleh karena itu, kita jangan tergantung dengan gandum yang sampai Rp11 juta diimpor itu kan? Sudah saatnya terigu kita dari singkong. Sudah saatnya kita buat terigu kita dari sagu. Sudah saatnya kita buat terigu kita dari sorgum. Jangan karena kita mau instan, akhirnya kita tergantung.

Sudah saatnya harus ada inovasi melihat dunia yang terus berubah?

Ya harus, inovasi menjadi bagian. Kalau tidak, kita tertinggal. Jadi dua, inovasi, digital, dan kemudian penggunaan Artificial Intelligence, Internet of Things bagi petani-petani kita untuk merekayasa, ini bagian-bagian untuk menghadirkan kualitas-kualitas produktivitas, kualitas-kualitas katakanlah dari produksi pangan Indonesia sendiri.

Dan jangan lupa, kita negara tropis yang juga dibutuhkan oleh negara-negara subtropis atau negara Eropa, Amerika. Negara China pun membutuhkan berbagai produktivitas kita.

Kemudian, apa saja solusi yang direkomendasikan Forum Kerja Menteri Pertanian G20 untuk mencegah krisis pangan global ke depan selain dari pandangan Indonesia sendiri?

Intinya, ketiga isu itu menjadi salah satu yang harus diimplementasi. Bahwa kesepakatan isu itu masih harus di-breakdown oleh masing-masing negara. Dan kita janjian ketemu virtual dua bulan kemudian yang tetap kami pimpin untuk bisa ngecek yang mana yang berkaitan dengan masalah perdagangan.

Dan ternyata, dalam 2-3 hari sesudah ini kami para Menteri Pertanian WA-WA-an, kemarin ini saya dua hari WA-an dengan Menteri (Perdagangan) India. Rupanya informasi ke India berbeda dengan informasi yang sebenarnya ada di Indonesia. Indonesia juga seperti itu. Mungkin saja gandum mereka nggak tutup di sana. Dia WA saya, ada apa? Rasanya tinggal kita bicarakan ini.

Jadi, itulah, lag-lag komunikasi ini yang harus kita bisa perkuat besok. Karena pasti apa yang ada di Indonesia mungkin tidak ada di India. Apa yang ada di India misalnya, ini contoh aja, mungkin ada di Indonesia. Jadi timbal balik ini harus jalan.


Sistem Logistik Harus Dibenahi

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Jadi bisa dikatakan salah satu tantangan untuk bisa memastikan swasembada pangan itu komunikasi antarnegara?

Ya harus komunikasi dan perdagangan harus tetap kita buka, jangan ada yang nutup. Kita sudah sulit dengan produktivitas. Kan rata-rata ini semua negara menghadapi, kecuali Indonesia. Maaf kalau saya bilang kecuali Indonesia. Semua negara produktivitasnya menurun gitu. Mau di ternak, mau di segala macam. Karena itu tadi, terutama di negara-negara yang empat musim, karena mereka kehilangan musim kan.

Biasanya kalau dia bertanam setelah kalau dia summer atau autumn, tetapi sekarang tidak ada lagi, summer, winter-nya udah jalan, ini kalau hujan terus dan langsung semuanya 30 senti, matilah semua, dan seperti itu. Itu kondisi alam yang memang lagi tidak bersahabat, tetapi ini bisa dipenuhi oleh negara-negara yang kemudian juga mungkin saja tidak terdampak.

Jadi saya kira kerja sama ini sangat menjadi penting, dan nanti November akan ada pertemuan G20 besar yang dipimpin langsung antarsemua presiden. Saya kira masukan-masukan ini akan sangat berharga.

Kalau begitu apa tantangan terbesar atau terberat Kementan untuk mencukupi stok pangan di saat krisis terkait dengan kondisi global tersebut?

Angka produksi kita sampai saat ini neraca kita sangat positif, sangat baik, bahkan overstock. Tetapi, ini tidak cukup dengan produksi, harus kita benahi sistem logistik di wilayah-wilayah sehingga penuh, tidak melayang aja, ada yang kumpul gitu.

Sesudah sistem logistik diperbaiki, sistem transportasi dan membagi daerah merah, kuning, dan hijau harus jalan, sehingga transportasi menjadi juga bagian, sehingga kenaikan harga dan lain-lain itu bisa terpecahkan dengan menurunkan katakanlah cost transportasi yang juga mulai meledak.

Oleh karena itu, mengatur ini tentu yang paling penting adalah membangun mapping dan koordinasi yang kuat. Gubernur-gubernur, para bupati harus bisa kerja maksimal karena dia bertanggung jawab, dan kami menteri harus bisa mem-backup policy yang ada di gubernur. Nggak boleh ada yang jalan sendiri. Menurut pikiran saya seperti itu.

Kalau ini bisa dilakukan maka kan, ya istilah saya itu local problem must be responded by local respond. Support system harus diberikan dari kementerian, gitu. Jadi kan berbeda masalah yang ada di Ambon, di Maluku, di Papua, di Aceh, kan berbeda. Oleh karena itu memang network itu menjadi penting. Yang paling penting selain koordinasi dan komunikasi yaitu network yang kuat dari lembaga-lembaga pemerintah dan swasta harus bisa disinergikan secara bersama.

Jadi strategi itu sudah dilakukan meski krisis pangan itu belum terjadi?

Anggap saja sudah, tidak pakai bila lagi, kita sudah hadapi krisis pangan dunia. Alhamdulillah sampai sekarang Indonesia masih oke, tapi nggak boleh pede. Kementan nggak boleh pede. Siapa tahu tahun depan kita nggak bisa panen seperti yang sekarang, nggak boleh. Oleh karena itu, saya harus mempersiapkan strategi sampai dua tahun ke depan, kita tidak goyah dengan makanannya rakyat yang harus ada. Ini nggak gampang.

Artinya, Indonesia siap menghadapinya?

Harus siap, nnggak ada kata tidak. Bahkan, Presiden minta supaya kelebihan yang kita miliki kita bantu negara lain kok. Jangan lupa, kurang lebih 60 negara dalam proses tumbang karena krisis pangan. 340 juta orang di dunia akan bersoal dengan kelaparan. Indonesia harus siap, dan Presiden sudah katakan, kelebihan yang ada di kita harus juga dipersiapkan, dan inilah kehebatan Presiden sekarang, mau memikirkan tidak hanya untuk kepentingan Indonesia.

Dan kita juga nggak boleh beras kita kita tampung terus, nggak mungkin kan? Disposal juga kalau lama-lama. Tetapi ini tentunya dengan strategi, dengan pikiran kita. Selain kita makan, kita ekspor juga, tetapi dalam batas-batas yang sangat kecil, yang bisa kita perkirakan.


Yang Berkeringat Itu Petani

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Kita beralih sedikit, Pak. Apakah naiknya harga sejumlah kebutuhan pangan saat ini berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani?

Ini pertanyaan yang bagus, dan kalau saya jawab tentu ini agak-agak subjektif. Saya harus bela petani saya. Ya, kita tahu petani lah yang paling berkeringat. Kita kan tinggal makannya saja, tinggal sampai di meja. Yang menghadapi angin, menghadapi hujan, menahan panas, melepuh dia punya tangan karena dia bekerja, siapa? Kita cuma makan.

Mereka itu pahlawan banget ya untuk kita. Nah, kemudian kalau harga naik, kadang-kadang di petani naiknya sedikit. Kalau saya sih, di petani naiknya harus banyak, yang pedagang ya dapat sedikit karena yang berkeringat, yang panas-panasan, yang berdarah-darah mereka. Kalau saya, saya kan menteri pertaniannya, harus saya bela gitu. Dan ya kalau dia naik sepanjang normatif, wajar, karena juga barang-barang naik lain, menurut saya wajar lah kalau petani dapat.

Tetapi jangan yang tidak berkeringat jauh lebih banyak dapatnya daripada petani kita. Ini kan jadi persoalan. Cuma sekali lagi saya itu punya tugas sebagai Menteri Pertanian, produktivitas ya. Soal harga dan perdagangan kan memang banyak pihak tentu saja.

Belum lama ini kami sempat bertemu dengan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Beliau menyarankan agar pemerintah membeli seluruh hasil pertanian agar harga bisa stabil dan petani diuntungkan. Bagaimana tanggapan Bapak?

Ya itu bagus lah. Gini, pikiran itu ada di Kementerian Pertanian dari dulu. Saya terima kasih karena sudah diaktualisasi oleh Mendag, jadi Mendag top lah. Terus berjuang untuk itu. Nanti saya di belakangnya, hore-hore.

Ini juga menandakan kalau antarkementerian siap bekerja sama menghadapi situasi sekarang, begitu Pak Menteri?

Saat-saat begini kalau masih ada menteri yang mau jalan sendiri, terlalu. Yang saya nggak suka kalau impor, saya ingin terbuka saja. Kalau impor sementara petani kita bisa buat, itu gila namanya. Tapi kalau itu pikiran untuk mau kasih petani supaya ada, ayolah.

Saya sebagai menterinya nggak cari-cari nama nih, yang penting petani saya sejahtera, gitu loh. Jadi saya apresiasi Pak Mendag mau berpikir begitu, dan tentu saya di belakangnya lah, saya di belakangnya. Biarlah Beliau yang di depan, saya di belakangnya, saya cukup berpihak. Tapi kalau impor saya lawan.

Benar, Pak Mendag juga mengatakan tidak begitu mendukung impor untuk saat ini. Dia merasa kita sebenarnya bisa mencukupi diri sendiri.

Impor nggak haram. Tetapi kalau itu bisa dibuat di dalam negeri, ya matilah itu petani kalau kita tidak membela kepentingan rakyat sendiri. Ya mungkin harganya di luar lebih murah. Tetapi kan mereka yang nggak dapat pekerjaan nanti, gitu.

Nah, Kementan juga terus menggencarkan program regenerasi pertanian ke kaum milenial. Bagaimana cara Kementan menarik kaum muda untuk tertarik mau bertani, terutama di perdesaan?

Petani bukan orang miskin. Petani itu orang yang pasti tidak miskin. Karena selain dia punya makanan sudah siap, sisanya dia bisa jual. Dan siapa yang tidak butuh pertanian? Dan dua tahun setengah ini menunjukkan bahwa hanya pertanian yang sustainable, yang konsisten menyiapkan lapangan kerja. Kita ke kota belum tentu dapat uang, tapi kalau ke desa dan bertani pasti dapat uang.

Oleh karena itu, ini menjadi penting, dan saya kira paradigma itu yang harus kita dorong sama-sama. Kan pikirannya itu kalau bertani ya becek-becek lah, tangannya melepuh segala macam. Itu zaman dulu, petani milenial kita kan tangannya nggak perlu menyentuh tanah, kakinya tidak perlu injak tanah. Dia di atas mesin, dia dengan drone.

Jadi, mengubah paradigma itu yang terlebih dulu dilakukan?

Tentu saja yang pertama harus diubah paradigmanya. Frame dan agenda intelektualnya harus dibangun bahwa pertanian itu menjanjikan. Dan sekarang banyak sekali petani milenial kita yang akhirnya luar biasa. Dia makin keren, bajunya makin necis, sepatunya bahkan macam-macam mereknya, karena dia dari hasilnya sendiri.

Yang kedua memang di pemerintah membuatkan ruang-ruang untuk berakselerasi dengan support system yang kuat. Manajemen sistem kita siapkan, kau mau bertani konsepnya seperti apa. Setelah latihan buat proposalnya, di mana lahanmu, kalau perlu pinjam, proposalnya seperti, bahkan dipersiapkan kreditnya. Kredit Usaha Rakyat, KUR, oleh pertanian dengan bunga yang sangat kecil. Itu mereka jalan.

Yang ketiga harus memang dibuatkan semacam, apa ya, diiklankan lah anak-anak yang berhasil itu. Sehingga dia tertarik. Nah, kalau tiga agenda ini insyaAllah, makin serius jalan sekarang ini, kelihatannya akselerasi petani milenial kita luar biasa, dan itu lagi dilatih hampir 380 ribuan kalau nggak salah yang sekarang. Dan di antaranya itu sudah menggulirkan 1,1 triliun dana KUR dari anak-anak hasil pertanian milenial kita.

Tentu itu masih sangat kecil dibandingkan potensi kita, ya petani muda itu kurang lebih 40 persen, ya katakanlah 30 sampai 20 persen dari jumlah penduduk kita yang harus bisa terakselerasi dengan pertanian. Yang jelas, lapangan kerja yang paling tersedia pada anak muda itu adalah bertani.


Di Era Digital Kantor Bukan Segalanya

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Ketika menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, Bapak juga dikenal sebagai sosok yang suka turun ke lapangan dan pernah meraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara pada tahun 2012. Apakah pengalaman itu pula yang kemudian Bapak bawa saat bertugas di Kementan sekarang?

Saya ini pejabat yang, apa ya, suka gelisah gitu loh. Suka resah, dan ini kan bukan jabatan yang pertama untuk saya. Saya pernah menjadi camat, lurah, dan seterusnya. Oleh karena itu, dan saya tidak pernah memimpin tanpa keberhasilan sih. Maaf bukan ria.

Ya, desa saya juara waktu saya kepala desa. Lurah saya juara waktu saya lurah, camat saya, saya camat teladan Indonesia. Gowa saya pimpin, Gowa menjadi percontohan otonomi daerah. Waktu saya gubernur saya peraih Bintang Mahaputra Utama dari negara, gitu. Kira-kira gitulah.

Nah, memang saya di kantor itu ya 15 persen sampai 20 persen. Semua saya kerja di atas mobil, semua saya kerja di atas pesawat, di lapangan saya kerja. Jadi anak buah saya kalau ikut ke lapangan itu bukan dia ikut jalan-jalan. Di lapangan itu semua perintah saya jalan. Kesimpulan-kesimpulan dari apa yang kita lakukan, evaluasi, sambil jalan, sambil ngopi.

Di kantor cuma administrasi saja. Saya jarang sekali duduk di meja kerja saya. Saya jalan-jalan kemana-mana. Kalau di era digital seperti ini, kantor bukan segalanya, yang ada kita harus on the spot di lapangan, lihat perbandingannya, dan digital system itu di handphone saya semua perintah saya jalan. Grup-grup WA saya kan main.

Terakhir, dengan latar belakang pendidikan hukum yang sangat baik dan kuat, Bapak memutuskan jadi politisi. Kenapa?

Hukum itu kan ilmu yang sangat universal. Hukum mengatur kita sebelum hadir sampai dengan kita tidak hadir. Mulai dalam kandungan sampai di alam. Sehingga hukum bisa dipakai untuk semua aspek. Basic hukum yang paling dalam adalah ya tentu saja humanity, kemanusiaan, dan care terhadap alam kan?

Oleh karena itu, kalau bicara ilmu hukum, dia bicara atas keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran yang dibangun dari pendekatan-pendekatan filosofis, termasuk dogmatis, atau agama. Kebenaran-kebenaran sosiologis. Kamu jangan merasa benar sendiri tapi nggak bermanfaat atau menghancurkan kita semua.

Dan ketiga kebenaran juridis, ada hukum positif yang harus dipegang, jadi pijakan, untuk menjadi framing tidak keluar. Dan tentu saja kamu punya budaya bias tersendiri. Saya orang Makassar dari Bugis. Saya punya budaya Bugis. Oleh karena itu ada kebenaran kultural yang saling menyatu. Tetapi muaranya adalah hadirnya rasa empati, keadilan, kebersamaan yang ada.

Oleh karena itu, sebagai orang hukum, menurut saya sih, tapi saya lebih banyak di lapangan, bisa digunakan untuk seperti apa. Yang jelas semua harus dengan itikad baik, berdasarkan agama dan ibadah.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya