Liputan6.com, Jakarta - Sebagai kebutuhan primer, akses terhadap pangan semestinya merata. Faktanya, tak semua manusia bisa memperolehnya dengan layak. FAO, badan PBB yang mengurusi pangan, mengangkat isu ini dalam Hari Pangan Sedunia 2022.
Laporan The State of Food Security and Nutrition in The World 2021 bahkan menyebut kita saat ini tidak berada di jalur yang tepat untuk menghentikan kelaparan dan malnutrisi di dunia, bahkan bergerak ke arah yang salah. Prevalensi kekurangan gizi meningkat dari 8,4 persen pada 2019, menjadi 9,9 persen di 2020 yang berarti sekitar 720--811 juta orang di dunia menghadapi kelaparan pada 2020, meningkat 161 juta orang dari 2019.
Baca Juga
Advertisement
'Leave No One Behind' yang berarti tidak meninggalkan seorang pun menjadi tema utama peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jutaan orang di seluruh dunia masih tidak mampu mengonsumsi makanan sehat, menempatkan mereka pada risiko ketidakamanan pangan tinggi, serta malnutrisi.
Dikutip dari laman resmi FAO, "Menghentikan kelaparan tidak hanya berkaitan dengan suplai. Makanan yang diproduksi sekarang sebenarnya cukup untuk memberi makan setiap orang di Bumi."
FAO menyebut masalah utama adalah akses dan ketersediaan makanan bergizi yang semakin terhambat oleh berbagai tantangan, termasuk pandemi COVID-19, konflik, perubahan iklim, ketidaksetaraan, kenaikan harga, dan ketegangan internasional. "Orang-orang di seluruh dunia menderita efek domino dari tantangan yang tidak mengenal batas," demikian pernyataan FAO.
Menurut FAO, korban utamanya adalah lebih dari 80 persen masyarakat miskin yang hidup di pedesaan dan kebanyakan menggantungkan hidup mereka pada pertanian dan sumber daya alam. Mereka kesulitan memperoleh akses untuk pelatihan, keuangan, inovasi, dan teknologi.
Festival Pangan Berkelanjutan
Perubahan pola pikir manusia diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut, khususnya para generasi muda urban, agar lebih bertanggung jawab dalam mengonsumsi makanan. Sebuah festival bertajuk Eathink Market Fest 2022 bakal digelar pada 15--16 Oktober 2022 untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pangan yang berkelanjutan. Festival terbuka untuk umum tetapi pengunjung diminta meregistrasi diri dulu.
"Makanan yang kita pilih berdampak pada keberlanjutan sistem pangan. Konsumsi makanan yang melebihi angka produksi, akan memunculkan banyak permasalahan, mulai dari gizi, sampah makanan, hingga agrikultur. Karenanya, our food choice matters untuk keberlanjutan pangan Indonesia yang lebih baik," kata Jaqualine Wijaya, cofounder Food Sustainesia, sebuah bisnis sosial yang menjadi penyelenggara festival, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Selasa, 11 Oktober 2022.
Dalam festival tersebut, mereka akan menyoroti efek dari konsumsi makanan yang kurang bertanggung jawab terhadap kesehatan. Kebanyakan berdampak pada meningkatnya risiko penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, diabetes, dan kanker.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018. Prevalensi diabetes untuk usia di atas 15 tahun pun naik dari 1,5 persen pada 2013 menjadi 2 persen pada 2018.
Advertisement
Pola Gizi Seimbang
"Tiap tahun terus meningkat dan menempati peringkat tertinggi penyebab kematian di Indonesia, terutama pada usia produktif," kata dr. IdaGunawan, MS SpGK(K) FINEM, Dokter Spesialis Gizi Klinik Konsultan.
Solusi untuk permasalahan tersebut adalah melaksanakan pola gizi seimbang, yakni pola makan yang pas untuk kebutuhan tubuh. Prinsipnya terangkum dalam 3 J, yakni:
1. Jumlah makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh
2. Jenis makanan yang dipilih mengandung komponen zat gizi makro dan mikro yang dibutuhkan tubuh, seperti karbohidrat jenis kompleks, protein (hewani dan nabati), lemak baik, serat, vitamin, mineral, dan air
3. Jadwal makan sebanyak 5-6 kali pemberian dalam sehari dengan pembagian 3x makan utama (sarapan, makan siang, dan makan malam) dan 2-3 kali kudapan
Untuk itu, diperlukan rencana makan yang sifatnya personal bagi setiap orang. Penyusunannya dihitung sesuai dengan umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas sehari-hari, kondisi kesehatan, hingga pantangan atau alergi makanan. Di festival tersebut, pengunjung akan bisa mempelajari tentang merancang meal plan (rencana makan) sesuai pola gizi seimbang.
Sampah Makanan
Selain isu masalah gizi, festival itu juga menyoroti soal sampah makanan yang diakibatkan konsumsi berlebihan. Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia 2021 oleh Bappenas menyebut timbulan food loss & waste (FLW) pada 2000-2019 mencapai 115-184 kg/kapita/tahun. Kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 213-551 triliun/tahun atau setara 4-5 persen dari PDB Indonesia.
Pengelolaan food loss & food waste berpotensi memberi makan 61-125 juta orang atau setara dengan 29-47 persen dari populasi nasional. Dikutip dari kanal News Liputan6.com, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan potensi makanan yang hilang dan terbuang itu seharusnya bisa memberi makan sekitar 61--125 juta orang atau sekitar 29--47 persen populasi di Indonesia.
Berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan 2021, terdapat 74 kabupaten/kota yang rentan rawan pangan. Sedangkan berdasarkan data PoU (Prevelance of Undernourishment), 23,1 juta jiwa atau 8,49 persen penduduk indonesia mengonsumsi kalori kurang dari standar minimum untuk hidup sehat dan produktif. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Jaqualine mengatakan setiap orang bisa berkontribusi terhadap keberlanjutan pangan dari rumah. Caranya dengan membuat meal plan sesuai dengan pola gizi seimbang dan berkelanjutan. "Dengan adanya meal plan, perencanaan konsumsi sudah ditentukan sehingga bermanfaat bagi tubuh sekaligus mengurangi sampah," kata Jaqualine.
"Menjaga keberlanjutan pangan nasional butuh usaha bersama, yaitu pemerintah, sektor privat, komunitas, individu termasuk anak-anak muda," dia melanjutkan.
Advertisement