Tak Cuma Resesi Ekonomi di 2023, Krisis Pangan Juga Ancam Dunia

Resesi Ekonomi di 2023 menjadi perhatian dunia, demikian pula krisis pangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Okt 2022, 17:27 WIB
Rak kosong terlihat di supermarket, di Tunis, Tunisia, pada 10 Oktober 2022. Perkelahian terkadang pecah di antrean pasar makanan, dan protes yang tersebar serta bentrokan sporadis dengan polisi atas kenaikan harga dan kekurangan telah terjadi di seluruh negeri. (AP Photo/Hassene Dridi)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut negara-negara di dunia akan mengalami krisis pangan selain ancaman resesi ekonomi di tahun 2023. Sehingga isu pangan global ini harus diselesaikan dengan duduk bersama antar negara.

"Kita akan menghadapi 2023 yang mana akan jauh lebih beresiko dalam hal pangan," kata Sri Mulyani di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (12/10).

Sri Mulyani mengatakan permasalahan ketahanan pangan telah menjadi perhatian forum G20. Presidensi G20 Indonesia telah menegaskan kembali komitmennya untuk menggunakan semua perangkat kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini, termasuk risiko kerawanan pangan.

"G20 siap untuk mengambil tindakan kolektif yang cepat tentang ketahanan pangan dan gizi, termasuk dengan bekerja sama dengan inisiatif lain," kata dia.

Beberapa inisiatif global telah diluncurkan oleh organisasi regional, internasional, dan secara mandiri oleh beberapa negara untuk menghadapi permasalahan ketahanan pangan.

Antara lain seperti the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative.

Selain itu, Bank Dunia telah berkomitmen untuk menyediakan USD 30 juta pendanaan baru atau yang sudah ada untuk proyek terkait ketahanan pangan dan nutrisi untuk beberapa tahun ke depan.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pun turut menyediakan perkembangan kondisi pasar pangan, termasuk melalui G20 Agricultural Market Information System.

Kepada FAO dan Bank Dunia, Sri Mulyani mendorong dua lembaga internasional ini untuk memetakan seluruh respon kebijakan secara global. Sebab penanganan ancaman krisis yang dilakukan sendiri-sendiri tidak mungkin berhasil.

Sebaliknya, yang terjadi bisa menyebabkan tumpang tindih dan hal-hal krusial lainnya justri tidak tertangani.

Salah satunya dengan memetakan dan menguji respon setiap negara atau kawasan regional dalam menghadapi kondisi.

"Misalnya dalam jangka pendek, program pangan apa yang menunjukkan permintaan untuk dukungan kemanusiaan iu meningkat dan bagaimana menyelesaikannya," kata doa.

 


Cari Jalan Keluar Lewat Teknologi

Orang-orang berbelanja di sebuah supermarket, di Tunis, Tunisia, pada 10 Oktober 2022. Gula, minyak sayur, beras, bahkan air kemasan – warga Tunisia telah menderita kekurangan beberapa bahan pokok dalam beberapa pekan terakhir. Dan biaya melonjak pada produk yang masih tersedia. (AP Photo/Hassene Dridi)

Di sisi lain, untuk jangka menengah Sri Mulyani mengatakan forum Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 akan mencari solusi pemanfaatan teknologi.

Hal ini dilakukan dalam rangka merespon dampak perubahan iklim terhadap pangan. Salah satunya dengan mengembangkan bibit yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.

"Masalah pupuk hari ini akan berdampak terhadap ketersediaan pangan atau bahkan krisis pangan dalam 8-12 bulan ke depan," kata dia.

Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 telah menegaskan kembali komitmen mereka untuk memanfaatkan semua perangkat kebijakan (policy tools) dalam mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini, termasuk ketahanan pangan.

"Forum G20 akan terus mengambil langkah bersama secara cepat dalam menghadapi permasalahan ketahanan pangan dan nutrisi, termasuk dengan bekerja sama dengan inisiatif lainnya," kata dia. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya