Liputan6.com, Jakarta Belum lama ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, skrining penyakit akan ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2023. Biaya skrining kesehatan yang akan ditanggung termasuk skrining gula darah, tekanan darah, dan darah tinggi.
"Mulai tahun depan, skrining akan di-cover oleh BPJS. Jangan BPJS kerjanya hanya proaktif, harus preventif, semua skrining tadi, seperti gula, hipertensi, kolesterol, akan dicover BPJS," kata Budi, dalam kesempatan peringatan Hari Stroke Dunia 2022 tingkat Provinsi Banten di Maxxbox, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Selasa (11/10/2022).
Advertisement
Terkait hal ini, Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti memberi tanggapan. Pihaknya sangat mendukung pernyataan Menkes.
"Kami dengan senang hati men-support apa yang yang disampaikan Pak Menkes," ujar Ali dalam Konferensi Pers di RSUD Bali Mandara, Bali, Rabu (13/10/2022).
Ia juga memastikan, pihaknya sudah menganggarkan dana sebesar Rp8 triliun khusus untuk skrining.
"Yang jelas tahun 2023 kami anggarkan sebanyak Rp8 triliun untuk skrining dan akibat skrining," katanya.
Ghufron juga menjelaskan, akibat skrining yang dimaksud adalah temuan penyakit yang didapat setelah melakukan skrining.
"Itu kalau orang terdeteksi karena diskrining kan bukan dibiarin, harus dilayani."
Prof Ghufron kemudian menjabarkan alasan anggaran senilai Rp8 triliun yang sebelumnya disebutkan. Menurutnya, angka Rp8 triliun ditetapkan setelah melakukan berbagai penghitungan.
Rp8 triliun juga ditetapkan lantaran banyak masyarakat Indonesia yang sudah sakit sebelum skrining.
"Kenapa 8 T? Karena masyarakat Indonesia banyak yang sudah sakit," ujar Mantan Wakil Menteri Kesehatan periode 2011-2014 itu.
Keuangan BPJS Sudah Agak Sehat
Ghufron mencontohkan, dari skrining yang dilakukan maka bisa ditemukan banyak kasus seperti hipertensi atau darah tinggi.
"Kalau skrining berarti case finding, berarti kasus ketemu. Kalau kasusnya ketemu, perlu ditangani."
"Penanganan ini perlu biaya. Jadi dihitung, data yang kasus yang ada berapa dan setelah skrining berapa dan yang perlu ditangani ada berapa."
Lantas, dari mana sumber dana untuk memenuhi target Rp8T?
Menurut Ghufron, angka ini menunggu persetujuan dari pihak lain seperti Kementerian Keuangan. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa BPJS sekarang sudah agak sehat dari sisi finansial. Hal ini ditandai dengan pendapatan BPJS Kesehatan yang naik pada 2021 setelah sebelumnya turun akibat pandemi COVID-19.
Advertisement
Digitalisasi BPJS
Dalam kesempatan yang sama, Prof Ghufron juga menyampaikan soal penerapan digitalisasi layanan kesehatan khususnya yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
Menurutnya, digitalisasi ini lahir dari kolaborasi yang semakin intensif antara BPJS Kesehatan dan berbagai stakeholder.
“Kolaborasi ini diharapkan memantapkan kerja sama dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta melalui pengembangan dan inovasi digital.”
BPJS Kesehatan bersinergi dengan Kementerian Kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan seperti Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) untuk mendorong penerapan digitalisasi di fasilitas kesehatan.
“Bagi faskes yang belum siap dalam penerapan digitalisasi, kami siap membantu dan mempersilahkan faskes untuk memanfaatkan sistem yang sudah dimiliki BPJS Kesehatan.”
“Silakan menggunakan sistem yang sudah kita miliki, misalnya sistem antrean online. kami sudah siapkan untuk fasilitas kesehatan baik Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun rumah sakit, gratis. Kami juga siap melakukan integrasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM RS).”
Ghufron menambahkan, penerapan digitalisasi layanan bisa menjadi nilai tambah baik bagi rumah sakit maupun BPJS Kesehatan.
Kondisi RS Saat Ini
Sementara itu, Ketua PERSI dr. Bambang Wibowo mengungkapkan, kondisi RS di Indonesia saat ini sangat bervariasi. Ada RS yang sangat maju ada yang masih kurang.
Tidak hanya sarana prasarana dan sumber daya manusia, tetapi juga pemanfaatan teknologi informasi.
“PERSI melakukan survei maturitas teknologi informasi dengan sampel sebanyak 500 RS, bahwa masih ada 8 persen RS masih belum menerapkan teknologi informasi. Selain itu baru 12 persen dari sampel 500 RS yang memiliki rekam medik elektronik.”
Bambang mengapresiasi upaya BPJS Kesehatan untuk mendorong rumah sakit dalam hal peningkatan kualitas layanan melalui sistem digitalisasi. Hal ini membuat waktu yang dihabiskan untuk mendapat layanan menjadi semakin pendek.
“Kami berharap bukan hanya waktunya yang menjadi target, tapi kualitas layanan juga harus didorong. Saat ini, yang menjadi sorotan adalah waktu tunggu di layanan farmasi,” kata Bambang.
Untuk itu upaya yang dilakukan PERSI adalah membangun sinergi bersama termasuk BPJS Kesehatan dalam hal penetapan indikator kualitas layanan untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada.
Advertisement