Liputan6.com, Jakarta - Prinsip bahwa produsen mencari keuntungan semaksimal mungkin tak lagi relevan dengan situasi saat ini. Setiap produsen tak bisa lagi menihilkan dampak lingkungan agar usaha mereka bisa tetap berkelanjutan. Itu pula yang dilakukan Ajinomoto dengan menerapkan konsep holistik.
Grant Senjaya, Head of Public Relation PT Ajinomoto Indonesia menyebut ada dua hal utama yang ingin dicapai perusahaannya lewat keberadaan mereka di Indonesia, yakni menyehatkan dan meningkatkan harapan hidup masyarakat dan mengurangi dampak lingkungan.
"Ini adalah pendekatan secara keseluruhan, mulai dari sisi hulu, produksi atau midstream, dan hilir yang bersentuhan langsung dengan konsumen," kata Grant saat ditemui di sela Indonesia Millennial & Gen-Z Summit di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Dari sisi hulu, upaya mengurangi dampak lingkungan dimulai dari para suplier mereka, khususnya peternak dan petani tebu. Mereka menerapkan konsep biocycle yang bertujuan untuk membantu para suplier menciptakan value, khususnya saat ini.
"Terjadi limited resource, terutama untuk farming. Di sini, kami coba bantu meningkatkan kesejahteraan mereka, income mereka dengan meningkatkan efisiensi dari yang mereka tumbuhkan, seperti tebu dan sapi," tuturnya.
Sesuai namanya, siklus pengelolaannya berputar, hasil yang didapat dari perkebunan atau peternakan tidak berhenti hanya sampai digunakan di pabrik. Ada produk sampingan yang juga dipikirkan cara pengelolaannya agar bisa kembali berdaya guna. Hasilnya, sederet produk yang bisa dipakai peternak dan petani tebu untuk meningkatkan hasil produksinya.
"Seperti FML, adalah bahan tambahan pangan untuk ternak. Agifol adalah pupuk daun. Ada juga tritan, pakan ternak yang juga diolah dari food waste dan food loss yang dihasilkan dari pabrik kami," sambung Grant.
Midstream
Bergerak ke tengah alias proses produksi, Ajinomoto punya sejumlah target dampak lingkungan yang ingin dicapai. Salah satunya mengurangi gas rumah kaca dari dua pabrik mereka di Indonesia.
"Mulai dari 2018, kami lakukan efisiensi sehingga sudah banyak penurunan yang terjadi... Semua ini kami lakukan agar bisa mencapai target mengurangi gas rumah kaca yang kami hasilkan dari proses produksi hingga 50 persen pada 2030," ujarnya.
Langkah yang diambil adalah dengan memanfaatkan energi terbarukan lewat aplikasi panel surya. Mesin di pabrik juga diganti dengan yang lebih efisien. Mereka juga menggunakan solar plating untuk memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber penerangan agar penggunaan listrik berkurang. Begitu pula dengan audit energi.
"Di masa depan, kami akan pakai biomass boiler, merupakan teknologi baru yang menghasilkan listri cukup kuat, sama seperti batubara, namun emisi CO2-nya jauh lebih sedikit," ia menerangkan.
Efisiensi juga dilakukan di pemanfaatan air tanah. Grant menyebut sejak 2005, perusahaannya sudah menurunkan konsumsi air bersih dengan berbagai cara, termasuk memanen air hujan untuk keperluan produksi dalam kerangka manajemen air.
"Kami menargetkan bisa mengurangi penggunaan air baku sebanyak 80 persen antara 2005 sampai 2030," imbuhnya.
Advertisement
Sampah Makanan
Masih dari titik produksi, Ajinomoto juga menyentuh soal sampah makanan, khususnya yang masuk kategori food loss. Setiap tahunnya dua pabrik Ajinomoto di Indonesia menghasilkan 771 ton dead stock. Hal itu didefinisikan sebagai bahan baku yang tidak layak dimasukkan ke dalam proses produksi.
"Kan kami ada standar baku mutu karena kami harus deliver high quality product. Ketika ada suplier, sapi atau apa, produknya tidak mencapai baku mutu tersebut, itu jadi salah satu dead stock," tutur Grant.
Sampah makanan juga dihasilkan oleh kantin pabrik yang jumlahnya tak didefinisikan pasti. Kedua sumber sampah makanan itu kemudian diolah menjadi pakan ternak. Dengan konsep biocycle tersebut, pakan ternak itu disalurkan kepada peternak untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Dari sisi hilir, produsen menyentuh konsumen dengan mengatasi persoalan sampah plastik. Salah satunya mengubah kemasan plastik menjadi kemasan kertas yang dinilai lebih ramah lingkungan yang diklaim mengurangi potensi sampah plastik hingga 30 persen. Tapi, pihaknya tak bisa menerapkan hal itu ke seluruh produk, melainkan baru satu produk saja.
Sampah Plastik
Mayoritas produk saat ini menggunakan kemasan plastik ataupun multilayer alias sachet. Pihaknya menyebut kedua jenis kemasan masih dipakai karena pertimbangan keamanan pangan dan higienitas yang harus dijaga. Apalagi, produk mereka masuk kategori makanan.
Sejauh ini, mereka masih belum menemukan kemasan pengganti yang lebih ramah tanpa mengabaikan kedua faktor itu. "Masih dalam tahap riset," kata dia.
Untuk itu, pihaknya berusaha menggunakan cara lain untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Salah satunya dengan menghilangkan inner plastic di kemasan.
"Di dalam kardus, ada inner plastic, plastik bening baru kemasan luar. Inner plastic kami hilangkan, itu efeknya cukup banyak," katanya.
Sementara, terkait sampah kemasan sachet yang dihasilkan usai dikonsumsi, pihaknya mengaku masih menggodok langkah pengumpulan dan pendaurulangan agar tak berakhir di laut. Terlebih, mereka menargetkan bisa mewujudkan nol sampah plastik pada 2030. "Jika sudah waktunya, pasti kami ceritakan ke teman-teman media. Saya harap dalam waktu dekat ini sudah bisa diceritakan," imbuh dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan Indonesia menargetkan untuk mengurangi sampah plastik di laut hingga 70 persen sampai dengan akhir 2025. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang penanggung jawab pelaksanaan gerakan nasional bersih pantai dan laut.
Advertisement