Liputan6.com, Jakarta International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memprediksi inflasi Indonesia akan meningkat di 2023. IMF memperkirakaan angka inflasi Indonesia di kisaran 5,5 persen pada 2023. Sedangkan untuk 2022, IMF memperkirakan inflasi Indonesia mencapai 4,6 persen.
Hal itu tertuang dalam laporan terbaru IMF bertema World Economic Outlook: Countering the Cost-of-Living Crisis, dikutip Kamis (13/10/2022).
Advertisement
Angka inflasi Indonesia di tahun ini dan tahun depan ini dinilai lebih terkendali dibanding inflasi global yang diramal lebih tinggi yakni 8,8 persen di 2022. Sedangkan tahun depan, IMF memperkirakan inflasi global diproyeksi menurun di kisaran 6,5 persen.
Tak hanya Indonesia, IMF juga meramal laju inflasi di negara berkembang akan terus meningkat di kisaran 9,9 persen pada 2022, dan 8,3 persen di tahun 2023.
"Untuk pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang, inflasi diperkirakan meningkat dari 5,9 persen pada 2021 menjadi 9,9 persen pada 2022," tulis laporan IMF.
Ternyata tak hanya negara berkembang yang diramal inflasinya, IMF juga memproyeksi terjadi lonjakan inflasi di negara-negara maju di kisaran 7,2 persen pada 2022 dan 4,4 persen di tahun 2023. Proyeksi tersebut naik sebesar 0,6 poin persentase dan 1,1 poin persentase pada 2022 dan 2023 dari proyeksi awal Juli 2022.
Misalnya, IMF memperkirakan inflasi Amerika Serikat mencapai 8,1 persen dan Zona Euro sebesar 8,3 persen pada 2022. Namun, IMF menilai laju inflasi di negara berkembang lebih tinggi dari global, hal ritu disebebkan perlambatan ekonomi di China, maka membuat pasokan pangan terbatas.
Di sisi lain, adanya berbagai kebijakan moneter negara maju turut mempengaruhi melonjaknya inflasi tahun ini. Maka dari itu, IMF menyarankan agar bank Sentral khususnya di negara berkembang lebih berhati-hati dalam menangani inflasi.
Disarankan, kebijakan moneter dalam hal suku bunga jangan terlalu ketat atau terlalu longgar. Jika ada kesalahan sedikit saja terhadap kebijakan moneter, mampu mendorong laju inflasi menjadi sulit dikendalikan.
"Kebijakan yang tidak cukup ketat berisiko membuat inflasi menjadi mengakar, kebijakan yang lebih hawkish (longgar) pada suku bunga memerlukan biaya yang signifikan. Di sisi lain, kebijakan yang sangat ketat berisiko membuat ekonomi jatuh ke dalam resesi yang berkepanjangan. Mengingat proyeksi yang tidak pasti, beberapa bulan mendatang kemungkinan akan menguji keberanian bank sentral dalam meredam inflasi," tulis keterangan IMF.
Jokowi Kecewa Pemda Tak Punya Inisiatif Kendalikan Inflasi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali mengingatkan kepada seluruh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah (pemda) untuk mengendalikan angka inflasi di tengah berbagai tantangan yang ada saat ini. Ia pun kecewa melihat harga bawang merah yang sempat menyentuh angka Rp 60 ribu per kilogram (kg) beberapa waktu lalu.
Jokowi melihat, banyak pemerintah daerah yang kurang inisiatif dalam memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk meredam harga bawang merah. Padahal beberapa menteri sudah memberikan landasan hukum agar pemda bisa menggunakan dana APBD untuk mengendalikan inflasi.
Pemda seharusnya dapat berinisiatif menggunakan dana APBD untuk mensubsidi biaya transportasi angkutan sembako terutama bawang merah agar masyarakat mendapatkan harga yang terjangkau.
"Misalnya ada kenaikan bawang merah sebuah provinsi, sebutlah Lampung. Pemda bisa beli langsung di Brebes. Atau menutup ongkos transportasi dari Brebes ke Lampung. Itu bisa dibebankan ke APBD," kata Jokowi dalam acara Investor Daily Summit 2022 di Jakarta Convention Center, Selasa (11/10/2022).
Pun, biaya subsidi untuk ongkos transportasi bawang merah dari Brebes sampai Lampung tergolong murah. Jokowi mencatat, hanya berkisar Rp3,5 juta untuk satu kendaraan truk.
"Setelah kita hitung-hitung juga biayanya sangat murah. Ongkos berapa sih dari Brebes ke Lampung, saya cek, 1 truk Rp 3,5 juta. Padahal APBD nya bermilyar-milyar. Dan ga mungkin kan setiap hari kita beli bawang merah," bebernya.
Advertisement
Inflasi September 2022 Tembus 5,95 Persen, Kemenkeu: Lebih Rendah dari Perkiraan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan inflasi September 2022 yang mencapai 5,95 persen (yoy) dinilai lebih rendah dibandingkan perkiraan Kemenkeu sebelumnya pasca penyesuaian harga BBM domestik.
Meskipun demikian, Pemerintah akan terus memonitor pergerakan inflasi pasca penyesuaian harga BBM domestik sehingga terus dapat terkendali pada level rendah.
Secara bulanan (mtm), bulan September mencatatkan inflasi sebesar 1,17 persen yang didorong terutama oleh kenaikan harga BBM. Inflasi pangan bergejolak (volatile food) sedikit meningkat ke angka 9,02 persen (yoy) (Agustus: 8,93 persen).
Hal ini didorong oleh masih melimpahnya stok pangan hortikultura, minyak goreng, dan ikan sehingga mampu menahan inflasi naik lebih tinggi.
Akan tetapi, harga beras sedikit mengalami peningkatan seiring berlangsungnya musim tanam. Pada sisi lain, deflasi pada bawang merah dan cabai merah berkontribusi pada terjaganya inflasi volatile food.
“Pemerintah melakukan berbagai langkah mitigasi untuk menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi komoditas pangan agar inflasi pangan tetap terkendali," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (5/10/2022).
"Hal ini terbukti memberikan hasil yang baik sehingga penggunaan berbagai anggaran seperti anggaran ketahanan pangan dan anggaran infrastruktur untuk memperlancar penyediaan pangan yang mudah dan terjangkau akan terus diperkuat. Dana Isentif Daerah (DID) yang diberikan kepada pemerintah daerah juga terbukti efektif mendorong daerah untuk lebih bekerja keras lagi dalam pengendalian inflasi di wilayahnya,” jelas dia.
Inflasi Inti
Inflasi inti (core inflation) pada September 2022 meningkat pada level yang moderat sebesar 3,21 persen (Agustus: 3,04 persen, yoy). Kenaikan inflasi inti terjadi pada hampir seluruh kelompok barang dan jasa, seperti sandang, layanan perumahan, pendidikan, rekreasi, dan penyediaan makanan dan minuman/restoran.
“Kenaikan inflasi inti mencerminkan peningkatan permintaan domestik secara keseluruhan sejalan dengan membaiknya kondisi pandemi,” lanjut Febrio.
Inflasi harga diatur pemerintah (administered price) pada September 2022 meningkat menjadi 13,28 persen (Agustus: 6,84 persen) didorong oleh penyesuaian harga BBM (bensin dan solar).
Sebagai rambatannya, terjadi kenaikan pada tarif angkutan umum, baik transportasi daring, bus Antar Kota Antar Provinsi/AKAP, maupun Angkutan Antarkota Dalam Provinsi (AKDP).
“Sumbangan inflasi dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) lebih kecil dari perkiraan Pemerintah. Potensi rambatan kenaikan harga juga sudah diantisipasi dengan penyaluran bantuan sosial tambahan, baik berupa bantuan langsung tunai maupun bantuan subsidi upah,” lanjut Febrio.
Advertisement