Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Prof. Ali Ghufron Mukti menyampaikan jumlah cakupan kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 30 September 2022.
Menurutnya, cakupan JKN sudah mencapai 244.600.449 jiwa atau 88,8 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) pada semester I 2022 adalah sebanyak 275.361.267.
Advertisement
Dengan demikian, maka masih ada 11,2 persen penduduk yang belum menjadi anggota dari program JKN.
Ghufron pun mengatakan, ada dua alasan mengapa masih ada penduduk Indonesia yang belum mendaftar.
“Alasan kenapa orang belum mendaftar BPJS Kesehatan karena 2 alasan yakni kemampuan dan kemauan,” ujar Ghufron saat ditemui di Bali, Kamis (13/10/2022).
Terkait alasan kemampuan, masih banyak masyarakat yang belum mampu untuk membayar iuran per bulan yang minimalnya sekitar Rp42.000 per orang. Sementara, program JKN mandiri harus mendaftarkan satu keluarga di mana dalam satu keluarga bisa terdiri dari dua orang atau lebih.
Sedangkan, terkait alasan kemauan, ini karena masyarakatnya memang belum mau saja untuk mendaftar.
Padahal, banyak manfaat yang bisa didapat jika masyarakat terlindung oleh jaminan kesehatan. Ini termasuk penanggungan tarif biaya pelayanan kesehatan yang terus mengalami kenaikan.
Penanggungan biaya rumah sakit dapat meringankan beban ekonomi. Pasalnya, jatuh sakit berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial keluarga.
Jaminan kesehatan juga bisa meng-cover berbagai penyakit di era pergeseran pola penyakit dari infeksi ringan ke penyakit degeneratif kronis.
Penanganan penyakit yang ditanggung jaminan kesehatan juga dibantu perkembangan teknologi kedokteran yang semakin maju.
Rencana Menanggung Biaya Skrining Penyakit
Selain menanggung biaya penyakit yang sudah terjadi, BPJS Kesehatan juga sudah memiliki rencana untuk menanggung biaya pencegahan penyakit yang dilakukan dengan skrining kesehatan.
Belum lama ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, skrining penyakit akan ditanggung BPJS Kesehatan pada 2023. Biaya skrining kesehatan yang akan ditanggung termasuk skrining gula darah, tekanan darah, dan darah tinggi.
"Mulai tahun depan, skrining akan di-cover oleh BPJS. Jangan BPJS kerjanya hanya proaktif, harus preventif, semua skrining tadi, seperti gula, hipertensi, kolesterol, akan dicover BPJS," kata Budi, dalam kesempatan peringatan Hari Stroke Dunia 2022 tingkat Provinsi Banten di Maxxbox, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Selasa (11/10/2022).
Terkait hal ini, Ghufron Mukti memberi tanggapan. Pihaknya sangat mendukung pernyataan Menkes.
"Kami dengan senang hati men-support apa yang yang disampaikan Pak Menkes," ujar Ali dalam Konferensi Pers di RSUD Bali Mandara, Bali, Rabu (13/10/2022).
Ia juga memastikan, pihaknya sudah menganggarkan dana sebesar Rp8 triliun khusus untuk skrining.
"Yang jelas tahun 2023 kami anggarkan sebanyak Rp8 triliun untuk skrining dan akibat skrining," katanya.
Ghufron juga menjelaskan, akibat skrining yang dimaksud adalah temuan penyakit yang didapat setelah melakukan skrining.
"Itu kalau orang terdeteksi karena diskrining kan bukan dibiarin, harus dilayani."
Advertisement
Mengapa 8 Triliun?
Prof Ghufron juga menjabarkan alasan mengapa jumlah anggarannya senilai Rp8 triliun. Menurutnya, angka Rp8 triliun ditetapkan setelah melakukan berbagai penghitungan.
Rp8 triliun juga ditetapkan lantaran banyak masyarakat Indonesia yang sudah sakit sebelum skrining.
"Kenapa 8 T? Karena masyarakat Indonesia banyak yang sudah sakit," ujar Mantan Wakil Menteri Kesehatan periode 2011-2014 itu.
Ghufron mencontohkan, dari skrining yang dilakukan maka bisa ditemukan banyak kasus seperti hipertensi atau darah tinggi.
"Kalau skrining berarti case finding, berarti kasus ketemu. Kalau kasusnya ketemu, perlu ditangani."
"Penanganan ini perlu biaya. Jadi dihitung, data yang kasus yang ada berapa dan setelah skrining berapa dan yang perlu ditangani ada berapa."
Lantas, dari mana sumber dana untuk memenuhi target Rp8T?
Menurut Ghufron, angka ini menunggu persetujuan dari pihak lain seperti Kementerian Keuangan. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa BPJS sekarang sudah agak sehat dari sisi finansial. Hal ini ditandai dengan pendapatan BPJS Kesehatan yang naik pada 2021 setelah sebelumnya turun akibat pandemi COVID-19.
Digitalisasi Layanan Kesehatan
Dalam kesempatan yang sama, Prof Ghufron juga menyampaikan soal penerapan digitalisasi layanan kesehatan khususnya yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
Menurutnya, digitalisasi ini lahir dari kolaborasi yang semakin intensif antara BPJS Kesehatan dan berbagai stakeholder.
“Kolaborasi ini diharapkan memantapkan kerja sama dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta melalui pengembangan dan inovasi digital.”
BPJS Kesehatan bersinergi dengan Kementerian Kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan seperti Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) untuk mendorong penerapan digitalisasi di fasilitas kesehatan.
“Bagi faskes yang belum siap dalam penerapan digitalisasi, kami siap membantu dan mempersilahkan faskes untuk memanfaatkan sistem yang sudah dimiliki BPJS Kesehatan.”
“Silakan menggunakan sistem yang sudah kita miliki, misalnya sistem antrean online. kami sudah siapkan untuk fasilitas kesehatan baik Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun rumah sakit, gratis. Kami juga siap melakukan integrasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM RS).”
Ghufron menambahkan, penerapan digitalisasi layanan bisa menjadi nilai tambah baik bagi rumah sakit maupun BPJS Kesehatan.
Advertisement