Liputan6.com, Jakarta Menyaksikan hubungan mengandung kekerasan mungkin akan membuat Anda berpikir alasan mengapa korban tidak meninggalkan pelaku. Saat Anda bertindak bukan sebagai korban, akan mudah untuk mempertanyakan 'Kenapa masih bertahan dalam hubungan yang tak sehat?'.
Namun, tak sedikit korban yang pernah berada dalam hubungan toksik mengaku kesulitan untuk keluar akibat berbagai faktor. Ternyata, meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan memang bukan perkara mudah.
Advertisement
Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan, ada dua alasan mengapa korban kekerasan sulit untuk meninggalkan hubungan. Keduanya adalah pola pikir tertentu dan logika yang tidak dalam kondisi jernih.
"Biasanya pola pikir enggak tega dan takut kehilangan yang membuat mereka (korban) sulit lepas (dari pelaku kekerasan). Sehingga logika yang jernih tidak dipergunakan kembali," ujar Efnie melalui keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Jumat, (14/10/2022).
Sehingga menurut Efnie, apabila seseorang ingin keluar dari hubungan yang tidak sehat dan diliputi oleh tindak kekerasan, maka mengubah pola pikir menjadi cara yang utama.
"Jika pola pikir ini tidak diubah, maka meskipun sudah menerima perlakuan kekerasan berkali-kali, sang korban akan memaafkan dan tidak mengakhiri hubungan," kata Efnie.
Menilik data himpunan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Indonesia pada 2022, terdapat 19.476 korban kekerasan, yang 17.834 diantaranya adalah perempuan.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) KemenPPPA juga menemukan bahwa perempuan 2,48 kali lebih besar mendapatkan tindak kekerasan dari pria yang berselingkuh.
Cara Keluar dari Hubungan Tidak Sehat
Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa bila korban memiliki keinginan untuk berpisah, maka sebaiknya berikan jeda lebih dulu pada pelaku usai tindak kekerasan berlangsung.
Hubungan dapat diakhiri dalam kesempatan berbeda untuk mencegah tindak kekerasan lanjutan di waktu yang sama.
Serta, untuk mencegah pula adanya rayuan maut dari pelaku kekerasan agar tidak mengulangi perbuatannya, yang seringkali dapat membuat hati korban luluh.
"Jika ingin mengakhiri sebaiknya tidak dilakukan langsung usai kejadian, karena sang pelaku biasanya akan menolak dan terkadang berjanji tidak mengulangi, meskipun janji tersebut tidak selalu ditepati," kata Efnie.
"Berikan jeda terlebih dahulu dan setelah itu atur kembali jadwal bertemu untuk membicarakan perpisahan," tambahnya.
Selain itu, saat hendak membicarakan perpisahan dengan pelaku kekerasan, pastikan mental korban telah siap lebih dulu untuk mengutarakannya. Hal tersebut lantaran korban harus sepenuhnya konsisten dengan keputusan tersebut.
"Agar bisa betul-betul konsisten dan tidak terpengaruh oleh rayuan kembali. Mengapa? Karena sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.
Advertisement
Pelaku Kekerasan Bisa Sembuh, Asal...
Menurut Efnie, perilaku kekerasan bukanlah hal yang dapat sembuh dengan sendirinya. Sehingga jika kekerasan dalam hubungan terjadi, maka pelaku disarankan untuk mendapatkan psikoterapi untuk mengubah pola pikir.
"Yang bersangkutan (pelaku) butuh mendapatkan psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah pola berpikir tentang kekerasan. Termasuk membentuk habit baru yang lebih positif. Hal ini sangat penting, karena melakukan perilaku kekerasan tidak akan pulih dengan sendirinya," kata Efnie.
Menurut Efnie, pelaku kekerasan sebenarnya akan sulit untuk pulih jika tidak melakukan terapi untuk perubahan perilaku tersebut.
"Sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi, sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.
Di sisi lain, korban kekerasan juga perlu untuk mendapatkan penanganan yang tepat dari berbagai sisi termasuk profesional dan orang-orang terdekatnya.
"Kejadian ini sangat traumatis bagi korban, maka penanganan oleh profesional (dokter + psikolog) wajib dilakukan agar korban bisa dipulihkan secara fisik dan mental serta meneruskan perjalanan hidupnya," kata Efnie.
"Mereka (orang-orang terdekat korban) harus menjadi supporting group dengan cara hadir secara fisik, mendampingi, menjadi pendengar yang baik, dan menenangkan."
Penyebab Seseorang Bisa Melakukan Kekerasan
Jika berkaca pada kasus kekerasan, tak sedikit yang mewajarkan tindak kekerasan sebagai suatu kebetulan karena seseorang sedang diliputi oleh emosi. Padahal kenyataannya, emosi apalagi kebetulan ternyata bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang bisa melakukan tindak kekerasan.
Efnie mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan bukanlah sebuah hal yang dapat terjadi secara kebetulan. Hal tersebut dikarenakan tendensi untuk melakukan kekerasan sebenarnya sudah dapat terbentuk sejak seseorang berada pada masa kanak-kanak.
"Biasanya, sang pelaku memang sudah memiliki kecenderungan untuk melakukan agresi pada orang lain. Hal ini (bisa) terbentuk sejak dari kecil. Beberapa hal yang bisa membentuk seseorang atau watak menjadi agresi diantaranya sejak kecil ia berada dalam lingkungan yang memberikan contoh demikian," kata Efnie.
"Misalnya, ada kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal memberikan contoh kekerasan, efek dari menonton film yg memiliki adegan kekerasan, game yang mengandung unsur kekerasan, dan lain-lain," pungkasnya.
Advertisement