Liputan6.com, Aceh - Pada 1907, ombak besar menghantam pesisir-pesisir di Pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi tragedi sekaligus pelajaran bagi masyarakat Simeulue.
Pada tragedi tersebut, ribuan nyawa melayang serta bangunan dan harta benda lenyap. Jejak bencana tersebut masih terlihat di sebuah kuburan yang terletak di pelatatan Masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat.
Namun, seperti yang dikatakan sebelumnya, bencana tersebut juga memberikan pelajaran berharga untuk masyarakat Simeulue. Dari sana muncul istilah 'smong' yang dijadikan sebagai pemberian tanda atau mitigasi bencana.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari dishub.acehprov.go.id, smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa asli Simeulue, yakni bahasa Devayan. Secara historis, smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Kisah smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi merupakan budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisi nasihat serta petuah kehidupan, salah satunya terkait smong.
Kearifan lokal ini disampaikan kepada generasi muda, termasuk anak-anak, dalam berbagai kesempatan, seperti saat memanen cengkeh, disampaikan di surau-surau saat mengaji setelah salat magrib, hingga menjadi cerita pengantar tidur anak-anak di malam hari. Cerita turun-temurun yang hingga kini masih dipercayai ini membawa smong lahir menjadi kearifan lokal.
Para tetua meyakini suatu saat smong akan datang lagi, meskipun mereka berharap kejadian serupa tak akan pernah terulang. Namun, pada 2004, bencana tsunami menerpa Aceh.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kebenaran Smong
Tragedi pada 2004 tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Simeulue untuk membuktikan kebenaran smong. Benar saja, tsunami yang diawali dengan gempa hebat dan diikuti air laut yang surut dan tiba-tiba meluap itu mampu dihindari oleh masyarakat Simeulue.
Warga Pulau Simeulue yang tinggal di Banda Aceh berteriak 'smong' dan berlari ke bukit menjauhi pantai. Nyatanya, teriakan smong yang sudah dipelajari secara turun-temurun selama bertahun-tahun tersebut mampu menyelamatkan masyarakat Simeulue dari bencana tsunami.
Sedikitnya, terdapat sekitar 3 sampai 6 orang meninggal dunia. Dari sinilah, smong yang sebelumnya hanya dikenal oleh masyarakat Simeulue sebagai kearifan lokal mulai dibicarakan di berbagai wilayah.
Smong mulai didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari oleh dunia, terutama Indonesia. Smong dipelajari sebagai mitigasi bencana tsunami.
Tak hanya itu, smong pun disenandungkan melalui lagu dan puisi. Muhammad Riswan, atau yang lebih tenar disapa Moris, menciptakan sebuah lagu tentang smong.
Ia merupakan salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue. Berikut lirik lagu karya Moris tentang smong:
Enggel mon sao surito…Inang maso semonan…Manoknop sao fano…Uwi lah da sesewan…(Dengarlah sebuah cerita)(Pada zaman dahulu)(Tenggelam satu desa)(Begitulah mereka ceritakan) Unen ne alek linon…Fesang bakat ne mali…Manoknop sao hampong…Tibo-tibo mawi…(Diawali oleh gempa)(Disusul ombak yang besar sekali)(Tenggelam seluruh negeri)(Tiba-tiba saja)
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement