Ramai Istilah Cancel Culture Usai Lesti Kejora Cabut Laporan KDRT, Apa Itu?

Banyaknya kasus yang dilakukan oleh beberapa public figure, menuai opini masyarakat mengenai budaya 'cancel culture'

oleh Sefan Angeline Reba diperbarui 15 Okt 2022, 07:01 WIB
Ilustrasi Cancel Culture (sumber: Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Selain digunakan untuk mencari informasi, media sosial kerap menjadi wadah setiap orang untuk beropini sehingga tak ada batasan antara ranah pribadi dan ranah publik.

Akhir-akhir ini di media sosial ramai lagi istilah 'cancel culture' yang dapat dikatakan sebagai bentuk boikot terhadap seseorang yang melakukan kesalahan. Dilansir dari laman The Whit Online pada Jumat (14/10/2022), cancel culture adalah cara untuk "menghukum" seseorang atas tindakan yang mereka lakukan ketika tindakan tersebut dianggap dapat menyebabkan lebih banyak keburukan daripada kebaikan di media sosial.

Baru-baru ini istilah ini kembali mencuat usai ramainya kasus KDRT yang dialami Lesti Kejora. Terkait dengan kasus Lesti Kejora yang mencabut laporan KDRT terhadap Rizky Billar, ternyata pedangdut kelahiran 1999 ini mendapatkan perhatian sehingga menuai pro dan kontra dari warganet. Tak sedikit warganet yang lantas kecewa dengan apa yang dilakukan Lesti tersebut.

“Please lah cancel culture. Buat netizen kalo ada artis yang kayak mereka mending banned aja, Rizky Billar di-banned karena KDRT, Lesti Kejora banned juga dong biar gak jadi contoh kalo KDRT itu bisa dimaafkan dengan cabut laporan, udah bikin gempar netizen.. eh di prank,” tulis salah satu akun warganet di platform Twitter.

Lantas bagaimana awal munculnya budaya cancel culture? Apakah seorang public figure yang bersalah harus mendapat hukuman seperti itu?


Budaya Cancel Culture

Psikolog ungkap dampak KDRT bagi tumbuh kembang anak. (pexels/mohamed abdelghaffar).

Dilansir dari laman Katiecouric.com, istilah cancel culture berasal dari film New Jack City tahun 1991. Kemudian digunakan secara luas oleh para ahli dan komedian di platform Twitter pada pertengahan 2010-an sebagai bentuk ungkapan serius maupun sarkasme terhadap komentar atau tindakan orang lain.

Diketahui bahwa istilah cancel culture kembali memuncak pada tahun 2020, tepatnya setelah mantan Presiden Donald Trump mengecam fenomena tersebut.

Sebagian orang menganggap budaya ini sebagai alat penting untuk akuntabilitas dan keadilan sosial. Masalah utama yang muncul dalam budaya cancel culture ini adalah masyarakat khususnya warganet yang terus memegang kendali kepada public figure.

Public figure mempunyai standar yang lebih tinggi daripada orang biasa, lantaran seluruh tindakan mereka baik dari perkataan, tingkah laku, hingga gaya berpakaian harus berdampak baik dan sesuai ekspetasi masyarakat.

Itulah yang menjadikan acuan ketika ada public figure yang melakukan kesalahan, publik langsung menyoroti akun media sosial mereka dengan berbagai macam komentar.


Mengganggu Kesehatan Mental?

Ayobantu mendukung tiga pesepeda melakukan perjalanan sejauh 230 km dengan ketinggian 5.753 meter untuk suarakan isu kesehatan mental. (unsplash/emily underworld).

Lantas mengapa harus peduli dengan budaya ini? Karena fenomena ini memiliki dampak yang signifikan. Tidak hanya pada public figure, melainkan ekspetasi sebagai masyarakat terhadap norma sosial.

Public figure dapat dikatakan sebagai individu yang mampu memberikan pengaruh pada orang banyak, ada baiknya jika mereka melakukan suatu tindakan kriminal untuk menutup lagi akses yang mereka punya dalam media.

Menurut Lily Silverton selaku Mental Health and Wellbeing Coach, meskipun pengucilan bukanlah hal baru, media sosial telah menciptakan ‘bentuk’ peradilan yang sangat mematikan hingga merendahkan kesehatan mental seseorang.

Akibatnya? Kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada karier public figure. Banyak orang dengan cepat melupakan setiap hal baik yang telah dilakukan selebritas karena satu insiden buruk.

Itulah yang disebut sebagai konsekuensi seorang public figure. Meskipun konsekuensi cancel culture mungkin terasa membinasakan, banyak dari mereka setelah mengalami hal tersebut, justru berkembang secara profesional.


Cancel Culture Tak Berlaku di Indonesia?

Selebgram Rachel Vennya saat tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (21/10/2021). Rachel memenuhi panggilan Polda Metro Jaya untuk dimintai klarifikasi terkait kasus dugaan kaburnya dari tempat karantina usai pulang dari luar negeri. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar yang sedang ramai dikecam publik, adapun kasus lain dari seorang public figure tanah air hingga mengganggu kesehatan mentalnya.

Diketaui, kasus Rachel Vennya yang merupakan selebgram ternama sempat mengalami hal serupa karena kasusnya yang kabur dari karantina kemudian tidak ditahan karena diduga perilakunya yang ‘sopan’ saat persidangan pada Desember 2021 lalu.

Hal tersebut membuat warganet membanjiri akun media sosial mantan istri Niko Al-Hakim itu dengan komentarnya. Mereka mengaku tidak puas terhadap hasil persidangan tersebut, hingga ada yang membuat petisi guna untuk mendapatkan hukuman yang layak menurut masyarakat.

Dikutip dari beberapa cuitan warganet di Twitter, banyak yang beropini bahwa budaya ini belum berlaku di Indonesia. Mengapa demikian? Karena masih banyak kasus dari public figure yang masih berkeliaran di media bahkan dijadikan konten demi kepentingan pribadi.

“Coba aja cancel culture-nya Korea agak diterapin di Indonesia, itu si Rachel Vennya udah ilang dari peradaban sejak kemarin-kemarin,” tulis salah satu akun warganet di Twitter pada (20/10/2021)

“Indonesia kayanya belum bisa nerapin cancel culture ya. Idol Korea yang beneran ada karyanya aja bisa lenyap kalau udah kesalahan fatal, ini si Rachel Vennya muncul lagi like nothing happen,” salah satu akun menambahkan.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya