Liputan6.com, Jakarta - Kasus KDRT yang menimpa Rizky Billar dan Lesti Kejora masih terus disorot publik Indonesia. Awalnya, Lesti melaporkan suaminya ke polisi, kemudian Billar jadi tersangka.
Sempat pula viral video Billar melempar bola biliar ke arah istrinya.
Namun kini Lesti justru memaafkan sang suami yang sudah berstatus tersangka. Ia mencabut laporannya di polisi.
"Alasannya anak saya. Karena mau bagaimanapun suami saya, bapak dari anak saya," kata Lesti didampingi tim penasihat hukumnya di Mapolres Metro Jaksel, Jumat (14/10/2022).
Baca Juga
Advertisement
Media sosial lantas bertanya-tanya. Ada netizen yang heran kenapa Lesti Kejora memaafkan meski sudah ada tindak kekerasan.
Sejumlah netizen bahkan menyebut kasus ini hanya konten. Namun, ada juga yang memahami keputusan Lesti karena berpisah dari pasangan memang tidak mudah meski ada latar belakang KDRT.
Ucapan para netizen yang memahami keputusan Lesti ternyata ada benarnya. Situs perlindungan korban KDRT menyebut pergi dari hubungan KDRT tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, korban pun berharap pelaku dapat berubah.
Berikut lima faktor yang membuat seseorang sulit keluar dari hubungan KDRT, seperti dirangkum situs Women Against Abuse, Jumat (14/10/2022):
1. Anak-Anak
Banyak dari survivor kasus KDRT merasa khawatir apakah berpisah merupakan keputusan tepat, sebab mereka memikirkan anak. Ini terutama terjadi jika anaknya sebenarnya tak ikut jadi korban KDRT.
Sejumlah kekhawatiran adalah jika pasangannya justru mendapat hak asuh. Ada pula yang berpikir tentang masalah keuangan. Selain itu, ada korban yang ingin anaknya dibesarkan dua orang tua.
Harapan
2. Harapan Perubahan
Siklus kekerasan tidak terjadi begitu saja. Women Against Abuse menjelaskan ada tiga tahap:
- Fase bulan madu (ketika segalanya tampak cantik)
- Ketegangan
- Terjadinya kekerasan
Siklus tersebut bisa terjadi secara berulang. Setelah kekerasan terjadi, pelaku akan menyesal, lalu kembali ke fase bulan madu, kemudian kekerasan kembali terjadi. Harapan terjadi "perubahan" mungkin hanya ada di awal saja.
Di novel Big Little Lies, tokoh Celeste (diperankan Nicole Kidman di adaptasi TV) menjadi korban KDRT oleh suaminya. Suaminya selalu menyesal usai menyerang Celeste, namun siklus kekerasan terus berulang.
3. Berpisah Bisa Berbahaya
Banyak orang merasa bahwa tindakan pasangan mereka akan semakin keras dan berbahaya ketika korban ingin berpisah.
Pelaku KDRT bisa saja memberikan ancaman maut kepada korban, atau menyakiti anak, anggota keluarga, bahkan hewan peliharaan jika korban ingin berpisah.
4. Isolasi
Keluarga dan sahabat survivor KDRT mungkin tidak tahu tentang kekerasan yang terjadi. Dan bisa saja pihak keluarga dan sahabat justru tidak mendukung perpisahan.
Selain itu, survivor mungkin saja tidak bisa mengadukan kasus kekerasan pada siapapun. Isolasi adalah kunci dari kekerasan pasangan.
5. Finansial
Survivor bisa saja tak paham caranya berpisah, sebab tidak punya pendapatan sendiri atau tak punya tempat tinggal.
Advertisement
Sebuah Proses
Lebih lanjut, situs Women Against Abuse menjelaskan bahwa belum tentu orang luar bisa memahami korban KDRT.
Ahli agama atau konselor bisa saja justru mendukung agar kedua pasangan itu kembali rujuk supaya "pernikahannya selamat" ketimbang mencegah kekerasan.
Polisi juga perlu pemahaman bahwa KDRT bukan sekadar "cekcok rumah tangga", melainkan kasus penyerangan. Sebagian survivor juga tidak yakin jika cerai adalah jalan yang tepat.
Atau bisa saja mereka malah "disalahkan" karena harusnya membuat pernikahan langgeng. Pada beberapa kultur, cerai juga dianggap hal yang tidak elegan.
Sama seperti proses menjalin hubungan, berpisah dari pasangan juga merupakan sebuah proses. Women Against Abuse menegaskan bahwa perpisahan adalah sebuah proses. Para survivor KDRT bisa saja rujuk, bahkan lebih dari sekali, sebelum bisa pisah permanen dengan pasangan mereka.
Pakar Hukum: Perdamaian Harus Ada Ukuran yang Jelas
Kembali ke kasus KDRT Leslar, pakar hukum Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Lesti Kejora dapat diselesaikan secara damai tanpa melalui peradilan pidana.
"Memang begitu sifat Undang-Undang KDRT itu. Kalau pun ada delik, kalau pun ada pengaturan mengenai kejahatannya, itu bersifat delik aduan," kata Fickar saat dihubungi Liputan6.com pada Jumat (14/10).
"Yaitu delik yang kalau diadukan dia diperiksa baik di penyidikan, penuntutan, maupun sampai di pengadilan, kalau tidak diadukan ya tidak apa-apa," dia menambahkan.
Meski demikian, Fickar juga mengatakan bahwa penegak hukum harus mengetahui ukuran yang jelas sebelum mencabut laporan KDRT tersebut.
Ukuran yang dimaksudkan adalah apakah ada tindak pidana umum dalam laporan tersebut, seperti mengakibatkan orang luka parah atau mengakibatkan orang tidak bisa mencari penghasilan ekonominya.
"Menurut saya penegak hukum dalam hal ini kepolisian maupun kejaksaan atau hakim, ketika ada perdamaian atau ada pencabutan maka harus ada ukuran yang jelas," ujarnya.
"Maksud saya kalau kekerasan itu tidak mengakibatkan orang luka parah, yang kedua kalau tidak mengakibatkan orang tidak bisa mencari penghasilan ekonominya, maka pencabutan menurut saya juga harus dipertimbangkan," kata Fickar.
Lebih lanjut dijelaskan apabila ada tindakan kekerasan yang mengakibatkan orang terluka dan tidak bisa mencari uang, polisi berhak mengalihkan kasus kekerasan dalam rumah tangga ke tindak pidana umum.
"Bahkan menurut saya proses pidahannya harus ditransfer atau dialihkan menjadi tindak pidana umum. Nanti orang semaunya mukulin orang, meskipun itu istrinya sendiri," katanya.
Jadi, lanjut Fickar, pasal di dalam UU KDRT yaitu Pasal 44 dan 45 harus diterjemahkan begitu meski delik aduan boleh dicabut laporannya.
"Sepanjang kekerasan itu tidak mengakibatkan luka berat dan tidak mengakibatkan korbannya tidak bisa mencari penghasilan ekonominya, nah, itu batasannya," Fickar menekankan.
Advertisement