Liputan6.com, Pekanbaru - Air mata seketika meluncur dari Zulkifli. Pria bergelar Datuk Kamaro Talang Darat Japura dari Kabupaten Indragiri Hulu itu, menangis mengingat nasib ratusan warga adat Desa Lubuk Batu Tinggal yang tidak bisa lagi menggarap lahan dengan tenang.
Ribuan hektare tanah ulayat yang dikelola sejak turun temurun tersebut diklaim PT Rimba Peranap Indah (RPI) masuk konsesinya. Perusahaan memasang plang dan dijaga oleh ratusan sekuriti senjata aparat negara berlaras panjang.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu Kecamatan Lubuk Batu Jaya, pria kelahiran 1972 ini tak ingin ada benturan fisik. Hitung-hitungannya pasti kalah bahkan bisa berujung maut karena yang dihadapi moncong senjata.
"Kami ke lahan cuma bawa parang, gak mungkin kami lawan," jelas Zulkifli, Jumat siang, 14 Oktober 2022.
Zulkifli menjelaskan, ada 3.500 hektare lahan ulayat masyarakat adat diklaim perusahaan masuk konsesi. Dari awal perusahaan masuk pada 1997, benih-benih konflik lahan mulai terjadi.
Sejatinya, perusahaan mendapatkan izin konsesi sejak tahun 1996. Zulkifli menilai pemberian izin tidak sesuai aturan karena tidak ada pengukuran, penetapan tapal batas dan sosialisasi kepada masyarakat adat.
"Padahal sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang kami sudah berladang di lokasi, harusnya lahan masyarakat itu dikeluarkan dari izin konsesi," jelas Zulkifli.
Sewaktu masuk 1997, perusahaan membawa alat berat. Ladang masyarakat tertanam pohon karet hingga sawit diratakan dengan tanah, begitu juga bangunan.
"Padahal di sana ada kuburan, itu sebagai tanda sudah ada masyarakat adat di sana," ucap Zulkifli.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Konflik Menahun
Setiap tahun, masyarakat melakukan perlawanan. Hanya saja selalu kalah dan mundur karena pembersihan lahan acap kali bersinggungan dengan aparat bersenjata lengkap.
Tahun 2001 sempat ada mufakat dengan masyarakat. Lahan itu masuk status quo, baik itu warga adat dan perusahaan sepakat tidak mengelola.
Namun, diduga kesepakatan itu dilanggar. Secara diam-diam perusahaan mengolah sehingga membuat masyarakat kembali membuka lahan di tanah ulayat itu.
Dalam perjalanannya, karet dan sawit tanaman warga adat ada yang diracun. Zulkifli tidak mau menuding siapa yang melakukan meskipun dia tahu pihak mana yang melakukan.
Sebagai bentuk perlawanan, masyarakat mendirikan posko bersama LAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah bangunan itu dirusak pihak tak bertanggungjawab.
"Perusahaan kemudian mendirikan portal, kami tidak boleh lewat, padahal itu satu-satunya akses ke tanah kami. Portal itu dijaga ratusan sekuriti dan aparat bersenjata laras panjang," jelas Zulkifli.
Sejak portal itu dibuat, masyarakat adat kehilangan mata pencaharian. Setiap perlawanan selalu berujung kriminalisasi karena sejumlah warga ditangkap.
"Kami punya anak-anak, butuh hidup, ke mana lagi mau mengadu, Pak Jokowi tolonglah kami," imbuh Zulkifli.
Advertisement
Penjelasan LAM
Sementara itu, Ketua LAM Indragiri Hulu Datuk Seri Marwan menjelaskan, masyarakat adat di Desa Lubuk Batu Tinggal biasa disebut dengan Masyarakat Adat Talang. Posisinya sama dengan masyarakat adat lainnya di Riau, seperti Sakai.
Masyarakat Talang punya tanah ulayat secara turun temurun. Diolah sebelum Indonesia merdeka atau jauh sebelum sejumlah perusahaan masuk ke Kabupaten Indragiri Hulu.
Persoalannya, pengakuan tanah ulayat di Indonesia jauh dari harapan meskipun pemerintah selama ini selalu mengakui keberadaan masyarakat adat.
"SK tanah ulayat di sana memang belum ada tapi yang perlu menjadi catatan, masyarakat adat ada di sana," ucap Marwan.
Menurutnya, solusi bisa dicari karena banyak celah. Perusahaan dan pemerintah harus bijak memperhatikan keberadaan masyarakat adat.
"Ada poin enclave, jika ada masyarakat, maka perusahaan meninggalkan ruangan yang sudah ada masyarakatnya," jelas Marwan.
Marwan mengimbau masyarakat tidak terprovokasi. Pasalnya perjuangan sesuai koridor telah dilakukan dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga kementerian. Konflik lahan ini juga sudah mendapat perhatian dari Menteri Siti Nurbaya.
"Bu Menteri sudah turun, sedang proses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai dengan Undang- Undang Cipta Kerja," ujar Marwan.
Bantahan Perusahaan
Terpisah, pihak PT RPI, Achyar Supiana membantah semua tudingan Zulkifli. Dia menyatakan perusahaan sudah bermitra dengan masyarakat di sekitar lokasi.
Berikut pernyataan PT RPI yang diterima Liputan6.com
1. Saat ini PT RPI sedang proses kerjasama atau perhutanan sosial melalui pola kemitraan dengan 15 kelompok tani dengan luas 750.5 hektare, lalu KUD Tani Bahagia 460 hektare dan Kelurahan Tani Mekar Sari 1 & 2 dengan luas 790 hektare, sementara kelompok lainnya, mereka menyerobot dan merusak tanaman RPI dengan modus HIBAH ULAYAT (padahal jual beli kawasan hutan atas masyarakat pendatang).
2. Sosialisasi ke masyarakat sudah dilakukan berulang kali sejak 2018 baik oleh Tim BPHP, Tim Dinas LHK, Gakkum Provinsi Riau, BPKH, Pemda INHU (Kesbang Pol dan Tapem) serta unsur kecamatan.
3. Justru saat ini kami minta penegakan hukum atas perusakan tanaman akasia lebih kurang 100 hektare dan penyerobotan lahan yang dilakukan secara massa dan kontinu.
4. Mereka menyerobot, merusak akasia dan mendirikan posko di tengah-tengah lokasi RKT dengan membawa massa.
5. Tidak ada masyarakat adat, kalau pendatang ya. Portal sejak RPI ada susah didirikan guna memantau perambahan, karhutla dan perusakan terhadap tanaman/aset.
6. Justru mereka yang mengerahkan massa untuk menakuti sekuriti perusahaan.
Advertisement