Belajar dari Kasus Obat Batuk India di Gambia, 2 Hal Ini Penting Diperhatikan

Ada dua hal pembelajaran penting dari kasus obat batuk India yang bermasalah di Gambia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 15 Okt 2022, 10:00 WIB
Obat batuk Credits: pexels.com by Tima Miroshnichenko

Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan sirup obat batuk yang diproduksi perusahaan farmasi asal India berujung pada kematian 69 anak di Gambia, Afrika Barat. Imbas yang terjadi, pihak berwenang India telah menghentikan produksi sirup obat batuk di pabrik Maiden Pharmaceuticals Ltd.

Menurut Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Inge Sanitasia Kusuma, ada dua hal pembelajaran penting dari kasus obat batuk India yang bermasalah di Gambia.

Dua hal yang dimaksud adalah efikasi dan keamanan (safety) obat. Setiap obat yang diedarkan dan digunakan oleh masyarakat harus memenuhi ketentuan efikasi dan keamanan. Pengawasan dari badan otoritas obat di negara masing-masing juga dibutuhkan.

"Obat apapun sebenarnya, ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yakni efikasi dan safety (keamanan). Saya tidak tahu sejauh mana unsur safety-nya (yang obat batuk India) dan apakah keamanannya sudah diuji atau tidak," ujar Inge saat ditemui Health Liputan6.com usai acara 'Turbocharging Indonesia’s Medical Biotech Education' di Ayana MidPlaza Jakarta pda Jumat, 14 Oktober 2022.

"Saya enggak tahu institusi (otoritas obat) di Gambia bagaimana. Seharusnya sih obat apapun yang berizin edar sudah melakukan izin efikasi dan izin safety juga."

Efikasi merujuk pada khasiat atau kemanjuran suatu vaksin maupun obat. Sisi keamanan berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait obat.

Keamanan obat patut diperhatikan, terlebih ada jenis obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medications). Obat ini sering menyebabkan komplikasi, efek samping atau bahaya sekaligus berisiko tinggi sehingga berdampak terhadap kondisi yang tidak diinginkan (adverse outcome).


Harus Ada Laporan Surveilans

Ilustrasi Obat/ Sumber: Pixabay

Dari sisi pengawasan obat, Inge Sanitasia Kusuma mengungkapkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia termasuk ketat. BPOM RI selalu mengawal dan mengawasi peredaran obat di Indonesia.

"Kalau obat di Indonesia sendiri pastinya sudah diuji, biasanya langsung ke pengawasan BPOM RI. BPOM RI ini salah satu institusi atau regulatory yang paling strict (ketat) di regional Asia Tenggara. Mereka sangat hati-hati dalam memberikan approval (persetujuan)," ungkapnya.

"Saya enggak tahu juga regulator obat di Gambia, apakah mereka seketat BPOM RI. Kalau BPOM RI sangat terstruktur, metodologinya sangat baik."

Dalam peredaran obat, lanjut Inge, harus ada laporan surveilans. Surveilans bertujuan melihat efikasi terutama keamanannya.

"Di Indonesia sendiri, perusahaan farmasi wajib memberikan laporan keamanan atau safety secara periodik ke BPOM RI. Harusnya bisa dilihat dari situ, kalau misalnya tiba-tiba jenis obat, efek sampingnya naik, harusnya bisa ditrack (ditelusuri)," katanya.

"Ada kemungkinan obat apapun ya ada efek sampingnya. Apalagi obat-obat keras seperti parasetamol dan aspirin."


Tidak Lakukan Uji Kualitas

ilustrasi lab/credit @pixabay/jarmoluk

Adapun penghentian produksi sirup obat batuk di pabrik Maiden Pharmaceuticals, India dilakukan menyusul laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahwa obat tersebut mungkin terkait dengan kematian puluhan anak di Gambia.

Menteri Kesehatan di Negara bagian Haryana, Anil Vij mengatakan, pihak berwenang memeriksa pabrik Maiden yang berlokasi di dekat Kota Sonipat. Temuan terdapat 12 pelanggaran praktik yang tidak sesuai prosedur.

Pekan lalu, WHO menyatakan, analisis laboratorium dari empat produk obat batuk Maiden, yaitu Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup terkandung dietilen glikol dan etilen glikol.

Kandungan tersebut dapat menjadi racun dan timbal sehingga mengakibatkan cedera ginjal akut.

Polisi Gambia, dalam laporan penyelidikan awal pada Selasa (11/10/2022) menegaskan, kematian 69 anak-anak diakibatkan cedera ginjal akut yang terkait dengan sirup obat batuk yang dibuat di India.

Obat-obatan batuk di India diimpor melalui perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Peristiwa ini menjadi salah satu insiden terburuk yang melibatkan obat-obatan dari India, yang sering dijuluki sebagai 'apotek dunia.'

Bahkan sebuah laporan menyebut, Maiden Pharmaceuticals tidak melakukan pengujian kualitas propilen glikol, dietilen glikol dan etilena glikol, sementara pasokan propilen glikol tertentu yang digunakan dalam produksi obat tersebut tidak memiliki tanggal pembuatan dan kedaluwarsa.


Sampel Diuji di Laboratorium

Lab. Foto: Unsplash/ Louis Reed

Dietilen glikol dan etilena glikol digunakan dalam cairan antibeku dan cairan rem. Namun, kedua bahan juga digunakan sebagai alternatif yang lebih murah di beberapa produk farmasi untuk menggantikan gliserin, pelarut atau zat pengental dalam banyak sirup obat batuk.

Eksekutif Maiden Pharmaceuticals, Naresh Kumar Goyal menolak berkomentar. Ia mengatakan, bahwa perusahaan itu berusaha mencari tahu dari pembelinya apa yang terjadi di Gambia.

Dalam keterangan situs resmi Maiden Pharmaceuticals, kapasitas produksi perusahaan tahunan mencapai 2,2 juta botol sirup, 600 juta kapsul, 18 juta suntikan, 300.000 tabung salep dan 1,2 miliar tablet yang dihasilkan di tiga pabrik.

Mereka menjual produknya di dalam negeri dan mengekspor ke negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Pernyataan Kementerian Kesehatan India pekan lalu, sampel dari keempat produk sirup obat batuk Maiden Pharmaceuticals yang telah diekspor ke Gambia telah dikirim untuk diuji di laboratorium federal. Hasil uji laboratorium itu akan menjadi dasar tindakan lebih lanjut serta memberikan kejelasan tentang masukan yang diterima/untuk diterima dari WHO.

Infografis: Deretan Negara yang Legalkan Ganja Sebagai Obat Medis (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya