Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Namun, menurut Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti ini bukan akhir dari perjuangan menentukan pendidikan lebih baik.
Baca Juga
Advertisement
Hemat Sayuti, RUU Sisdiknas ini, hanyalah sebagian kecil agenda penataan ekosistem pendidikan yang belum tuntas. Kegagalan RUU Sisdiknas untuk masuk ke Prolegnas, paling tidak, menjadi etalase atas tiga masalah kebijakan pendidikan di Indonesia.
Mengutip muhammadiyah.or.id, Sabtu (15/10/2022), Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menuturkan ada tiga masalah kebijakan pendidikan.
Sayuti menyebut masalah pertama yaitu adanya alam pikiran bahwa pemerintah sebagai pihak yang paling tahu masalah pendidikan. Menurutnya, bahwa amat sedikit bukti yang bisa menguatkan alam pikiran tersebut.
Dia menyebut, hampir tidak ada riset yang patut dan layak untuk menjadi evidence based policy (kebijakan berbasis bukti) yang memenuhi kriteria robust (kokoh) atau meyakinkan secara empirik.
"Silakan cermati, hasil riset pemerintah atau yang di sub-orderkan ke pihak ketiga,”ungkapnya.
Selain itu, dalam beberapa paparan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah mengenai pengambilan kebijakan seringkali mengutip atau menggunakan data-data dari penelitian asing. Kenyataan tersebut dia temukan ketika mengikuti presentasi dari Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Roadmap Pendidikan dan Pelibatan Organisasi Masyarakat
Oleh karena itu, menjadikan pertanyaan pokok terkait dengan RUU Sisdiknas tentang alasan paling mendasar, filosofis, empiris, yang membuat UU Sisdiknas harus diganti tidak terjawab. Sebab tidak ada fakta empiris yang disediakan oleh pengusul RUU Sisdiknas ini sebagai pengganti UU Sisdiknas yang sudah ada.
Masalah kedua terkait kebijakan pendidikan di Indonesia adalah nihilnya roadmap pendidikan. Hal itu dapat dilihat setiap ada pergantian menteri akan membawa sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri. Menurutnya, Masalah RUU Sisdiknas yang gagal di Prolegnas mewarisi masalah yang sama.
Masalah ketiga adalah rendahnya pelibatan pemangku kepentingan. Akan sangat baik apabila menteri dan pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan belajar sejarah. Muhammadiyah, Taman Siswa dan Nahdlatul Ulama, untuk menyebut sedikit di antaranya, puluhan tahun lebih dahulu mengelola pendidikan di Indonesia, dibandingkan dengan pemerintah.
“Kontribusi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan pada beberapa jenjang malah lebih sedikit dari pihak swasta, misalnya untuk pendidikan tinggi dan sekolah menengah kejuruan,” ungkapnya.
Seperti diketahui protes RUU Sisdiknas terus mengalir dari berbagai kalangan, terutama kalangan organisasi Islam dan pesantren. RUU tersebut dinilai mendiskriminasi lembaga pendidikan yang berbasis agama.
Advertisement