Liputan6.com, Jakarta - Pemegang saham di pasar modal bisa mengalami penurunan persentase kepemilikan saham atau disebut mengalami dilusi.
Dilusi terjadi ketika sebuah perusahaan menerbitkan saham baru yang mengakibatkan penurunan persentase kepemilikan pemegang saham yang ada pada perusahaan tersebut.
Advertisement
Melansir investopedia, Minggu (16/10/2022), dilusi saham juga dapat terjadi ketika pemegang opsi saham, seperti karyawan perusahaan, atau pemegang opsional lainnya menggunakan opsi mereka. Ketika jumlah saham beredar meningkat, setiap pemegang saham yang ada memiliki persentase perusahaan yang lebih kecil, atau terdilusi. Sehingga setiap saham menjadi kurang berharga.
Ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO), mereka mengesahkan jumlah saham awal yang akan ditawarkan pada publik. Jumlah saham yang beredar ini biasanya disebut sebagai "float”.
Jika perusahaan menerbitkan saham tambahan di kemudian hari, artinya mereka meningkatkan jumlah saham beredar. Penerbitan saham baru oleh perusahaan yang sudah tercatat di bursa biasanya dilakukan dalam rangka penambahan modal.
Dalam hal penambahan modal dilakukan dengan hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue, pemegang saham eksisting dapat berpartisipasi untuk mempertahankan persentase kepemilikannya. Sehingga jumlah saham yang dimiliki setelah mengeksekusi rights issue juga akan berubah lebih banyak mengikuti float terbaru.
Sebaliknya, jika pemegang saham tidak melaksanakan haknya untuk membeli saham baru yang diterbitkan perusahaan, dari sisi persentase mengalami dilusi atau mengecil karena jumlah saham yang dimiliki menjadi jauh lebih kecil dibandingkan jumlah saham yang beredar setelah penambahan modal.
Sementara jika penerbitan saham baru dilakukan dalam rangka penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu atau private placement, dilusi menjadi keniscayaan. Lantaran hak pembelian saham baru yang diterbitkan hanya diberikan pada pihak-pihak tertentu, sehingga investor lain tidak memiliki kesempatan untuk mengoleksi saham perusahaan guna mempertahankan presentasi kepemilikan.
Trivia Saham: Apakah Itu Diversifikasi Investasi?
Sebelumnya, investor atau pelaku pasar modal pasti acap mendengar istilah diversifikasi investasi. Populernya, diversifikasi investasi kerap diumpamakan dalam analogi telur dan keranjang.
Di mana sebaiknya tidak menyimpan telur dalam keranjang yang sama. Cara ini dimaksudkan agar jika ada telur dalam salah satu keranjang bermasalah atau pecah, masih ada telur di keranjang lain.
Secara garis besar, diversifikasi adalah strategi manajemen risiko yang memadukan berbagai macam investasi dalam portofolio. Melansir Investopedia, Minggu (18/9/2022), portofolio yang terdiversifikasi berisi campuran jenis aset dan sarana investasi yang berbeda dalam upaya membatasi eksposur terhadap aset atau risiko tunggal.
Berikut Liputan6.com merangkum pilihan diversifikasi investasi yang bisa dicoba:
- Diversifikasi Lintas Sektor dan Industri
Selama pandemi hingga transisi menuju endemi, terdapat perubahan signifikan pada kinerja emiten. Saat pandemi berlangsung, investor bisa saja mencermati saham sektor kesehatan dan rumah sakit yang moncer.
Namun, untuk memninimalkan penurunan imbal hasil saat pandemi mulai surut, investor dapat mempertimbangkan sektor lain yang berumur relatif panjang dan cenderung tahan terhadap situasi apapun, misalnya konsumer.
Contoh lainnya, saham sektor komoditas khususnya batu bara yang tampak perkasa pada tahun ini. Namun, bersamaan dengan itu, masyarakat dunia gencar menyuarakan energi hijau. Sehingga untuk melindungi kerugian pada investasi batu bara di masa mendatang, investor dapat mempertimbangkan untuk investasi pada emiten berbasis ESG.
Advertisement
Diversifikasi Antar Perusahaan
- Diversifikasi Antar Perusahaan
Lebih spesifik, meski tren kinerja emiten dalam satu sektor umumnya senada, namun tak menutup kemungkinan ada kondisi di mana hanya satu atau dua perusahaan mencatatkan kinerja berbeda. Penyebabnya beragam. Bisa jadi karena ada perubahan manajemen, sehingga kebijakan dan tata kelola perusahaan turut berubah. Akibatnya, berimbas pada kinerja perusahaan.
Padahal, investor percaya pada prospek sektor tersebut, misalnya pada perusahaan teknologi. Investor bisa saja berinvestasi pada emiten yang produknya digunakan sehari-hari oleh investor. Namun jika investor percaya pada masa depan sektor teknologi, maka bisa melirik emiten lain pada sektor yang sama.
- Diversifikasi Lintas Kelas Aset
Selama ini, investasi umumnya diasosiasikan hanya pada aset saham, padahal ada banyak instrumen lain yang tak kalah menarik dari sisi imbal hasil. Namun instrumen berbeda memiliki cara kerja yang berbeda pula berdasarkan kondisi makroekonomi yang luas.
Misalnya, jika Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga, pasar ekuitas mungkin masih berkinerja baik karena kekuatan ekonomi yang relatif terjaga. Namun, kenaikan suku bunga justru menurunkan harga obligasi. Oleh karena itu, investor sering mempertimbangkan untuk membagi portofolio mereka menjadi beberapa kelas aset yang berbeda untuk melindungi dari risiko keuangan yang meluas.
Diversifikasi Lintas Kelas Negara
Teori portofolio yang lebih modern menyarankan untuk menarik aset alternatif, kelas aset yang muncul yang melampaui investasi pada saham dan obligasi.
Dengan munculnya teknologi digital dan aksesibilitas, investor kini dapat memasukkan uang ke dalam real estat, cryptocurrency, komoditas, logam mulia, dan aset lainnya dengan mudah.
- Diversifikasi Lintas Negara
Risiko politik, geopolitik, dan internasional memiliki dampak di seluruh dunia, terutama mengenai kebijakan negara-negara yang lebih besar. Namun, perbedaan regulasi atau kebijakan moneter di negara lain berpotensi memberikan peluang dan risiko yang berbeda.
Misalnya, bayangkan bagaimana perubahan legislatif terhadap tarif pajak perusahaan AS dapat berdampak negatif pada semua entitas di Amerika Serikat. Contoh lain, pasar emerging market seperti Indonesia yang masih cukup resilien meski diterpa krisis pandemi hingga ancaman resesi global.
Advertisement
Selanjutnya
Untuk alasan itu, investor bisa mempertimbangkan untuk memperluas portofolio pada perusahaan di banyak negara. Termasuk mempertimbangkan kondisi negara tempat perusahaan beroperasi atau berproduksi.
- Diversifikasi Lintas Kerangka Waktu
Saat mempertimbangkan investasi, pikirkan tentang kerangka waktu di mana mereka beroperasi. Misalnya, obligasi jangka panjang seringkali memiliki tingkat pengembalian yang lebih tinggi karena risiko bawaan yang lebih tinggi, sementara investasi jangka pendek lebih likuid dan menghasilkan imbal hasil lebih sedikit.
Investor bisa menyesuaikan instrumen investasi sesuai kebutuhan berdasarkan waktu. Misalnya, seperti untuk dana pensiun, dana menikah, pembelian rumah, atau untuk jalan-jalan.
Selain di pasar modal, kepemilikan aset berupa real estat dapat dikunci ke dalam perjanjian jangka panjang. Secara umum, aset dengan jangka waktu yang lebih lama membawa lebih banyak risiko, tetapi sebanding dengan pengembalian yang lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko itu.