Liputan6.com, Jakarta - Guna mencegah timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di kemudian hari, psikolog menyarankan untuk mempertimbangkan beberapa hal sebelum menentukan pasangan hidup.
"Ketika kita mau objektif dan peka sebelum menentukan pasangan hidup, ada beberapa hal yang bisa kita amati sejak dini," kata psikolog klinis Anggiastri Hanantyasari Utami, Kamis, 13 Oktober 2022, dilansir Antara.
Advertisement
Anggiastri menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang menjurus pada isu kesehatan mental, bisa dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan ekonomi dengan tidak memberikan nafkah, kekerasan seksual dalam rumah tangga, maupun kekerasan secara psikologis.
Hal pertama yang patut diwaspadai yakni jika calon pasangan kerap kali merendahkan.
"Pertama, seringali merendahkan kita baik secara personal maupun ketika di depan umum," ujar psikolog di LPDK Kemuning Kembar dan Omah Perden ini.
Adapun ciri lainnya adalah calon pasangan tidak mampu mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah berdua dengan baik, bahkan cenderung menghindari atau kabur dari masalah. Kemudian, hal lain yang perlu menjadi perhatian yaitu apakah pasangan sering menggunakan kata-kata kasar ketika menyampaikan keluhannya.
Pasangan yang memaksakan kehendak seperti mengatur apa yang seharusnya dilakukan pasangan tanpa mau mendengar kebutuhannya pun menjadi hal yang perlu diwaspadai.
Anggiastri pun meminta individu untuk berhati-hati jika pasangan merasa berkuasa dan merasa paling benar.
"Ini ditandai dengan sering menyalahkan pasangan atas sikap dan perilaku kasar yang dilakukan dilanjutkan dengan mengatakan bahwa pasangan pantas mendapatkan hal tersebut," jelasnya.
Hal lainnya yang penting untuk diamati juga yaitu apakah pasangan bersikap buruk kepada orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Sebab, sikap dan perilaku seseorang mencerminkan bagaimana dia tumbuh dan berkembang dalam keluarga.
Menurut Anggiastri, cara seseorang memperlakukan orang-orang di sekelilingnya bisa jadi salah satu tanda.
"Bagaimana mereka memperlakukan orang-orang di rumah dan sekelilingnya dapat menjadi salah satu tanda, meskipun tidak mutlak, bagaimana mereka akan memperlakukan pasangannya di kemudian hari," ujar Anggiastri.
Pasutri Perlu Belajar Memahami Satu Sama Lain
Sedangkan bagi pasangan yang sudah menikah, disarankan untuk saling belajar memahami satu sama lain dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Mengelola emosi dalam pernikahan penting dilakukan agar tidak berujung pada kekerasan dengan cara memahami kebutuhan diri, kemudian memahami kebutuhan pasangan dan saling mengkomunikasikannya dengan baik.
Menempatkan kepentingan bersama, kata Anggiastri, secara otomatis masing-masing pasangan akan memikirkan cara terbaik untuk memberikan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan pasangan.
"Perlu diingat bahwa ketika menjadi pasangan suami istri, pasangan merupakan sebuah tim yang kesuksesan tim ini ada di tangan bersama," katanya.
Sebalinya, ketika seitap orang mengedepankan ego dan merasa paling berhak mendapatkan apa yang diinginkan, maka yang terjadi adalah kegagalan komunikasi bahkan konflik.
Advertisement
Diskusi untuk Cari Jalan Keluar
Psikolog klinis dewasa Annisa Prasetyo Ningrum mengatakan, terkadang sulit untuk mengeidentifikasi apakah seseorang berpotensi atau tidak melakukan kekerasan setelah berumahtangga. Sebab, biasanya awal hubungan berjalan baik dan lancar.
Senada dengan yang disampaikan Anggiastri, Annisa juga menyebut beberapa sinyal seseorang berpotensi melakukan kekerasan di kemudian hari seperti bersikap kasar atau membuat orang lain merasa takut atau terintimidasi, mudah merendahkan atau mempermalukan, memaksakan kehendak, dan merasa di pihak paling benar.
Annisa mengatakan, pertanda lainnya bisa bervariasi, namun biasanya kesamaan yang dimiliki oleh kebanyakan hubungan dengan kekerasan adalah pelaku melakukan berbagai cara untuk tampak lebih dominan atau memiliki kendali atas pasangannya.
Gunia mencegah kekerasan dalam rumah tangga, Annisa menyarankan agar pasangan dapat mengelola emosi.
"Luangkan waktu untuk me time agar kondisi emosi lebih stabil dan bisa me-refresh mood," ujarnya.
Berikan penjelasan kepada pasangan mengenai perasaan dari sudut pandang masing-masing, lalu ungkapkan apa yang diharapkan agar situasi kembali membaik. Diskusi dengan pasangan dilakukan bukan untuk saling mencari pembenaran, tetapi untuk mencari jalan keluar dari masalah.