Tata Kelola Data dan Informasi Kesehatan RI Belum Optimal, Ini 4 Rekomendasi CISDI

Tata kelola data dan informasi kesehatan masih perlu perbaikan. Pengelolaan data selama ini masih bersifat ego-sektoral karena penataannya terpecah antara otoritas lembaga dan kementerian berbeda.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 16 Okt 2022, 16:00 WIB
Tenaga kesehatan melakukan pendataan saat melakukan tes PCR COVID-19 kepada warga di Puskesmas Cipadu, Tangerang, Banten, Selasa (22/2/2022). Kasus COVID-19 di Jawa-Bali perlahan-lahan menurun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tata kelola data dan informasi kesehatan masih perlu perbaikan. Pengelolaan data selama ini masih bersifat ego-sektoral karena penataannya terpecah antara otoritas lembaga dan kementerian berbeda.

Indonesia juga belum secara optimal menerapkan prinsip interoperabilitas atau kesinambungan penggunaan data. Hal ini disampaikan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

“Sektor kesehatan memproduksi banyak sekali data yang jika digabungkan dan dianalisis dapat menjadi insight yang membantu operasional keseharian fasilitas layanan kesehatan dan kantor asuransi kesehatan,” ujar Chief Strategist CISDI Yurdhina Meilissa mengutip keterangan pers, Minggu (16/10/2022).

“Mengombinasikan sumber-sumber informasi kesehatan yang berbeda juga dapat membantu pengambil kebijakan, membuat patokan kinerja, dan menargetkan intervensi sehingga delivery layanan bisa lebih berkualitas dan efisien,” tambahnya.

Yurdhina meyakini data kesehatan yang masih terpisah-pisah menyulitkan berbagai pihak dalam mengolah data yang ada. Selama ini, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi rujukan bagi banyak program bantuan sosial di Indonesia. Ini bergantung pada database kependudukan, sistem pencatatan sipil, dan statistik vital (Civil Registration and Vital Statistic/CVRS).

“Namun, DTKS yang jarang di-update dan sistem identifikasi dan otentikasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tidak terintegrasi secara memadai dengan sistem verifikasi NIK mengakibatkan tingginya risiko duplikasi entry pada data kepesertaan program JKN.”

“Ada pula risiko penyalahgunaan identitas untuk mendapatkan akses terhadap paket manfaat. Cakupan kepemilikan NIK dan KTP yang rendah juga menjadi penyebab eksklusi kelompok rentan,” kata Yurdhina.


Belum Punya Instansi Pusat Pembina Data

Di samping interoperabilitas data yang belum optimal, hingga saat ini Indonesia belum memiliki instansi pusat yang berwenang melakukan pembinaan dan standarisasi terkait data atau dikenal dengan pembina data.

Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum menetapkan pembina data untuk data sektor kesehatan dalam Perpres Satu Data Indonesia.

Penetapan pembina data untuk sektor kesehatan ini penting agar dapat menjadi acuan seluruh instansi, baik pusat maupun daerah, dalam proses bagi dan pakai data kesehatan serta integrasi data kesehatan.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kesenjangan data kesehatan. Ambisi pemerintah melaksanakan transformasi digital sektor kesehatan belum dibarengi pemerataan infrastruktur dan Sumber Daya Masyarakat (SDM) kesehatan yang memadai.

Di tingkat layanan primer, sebagai contoh, temuan Riset Fasilitas Kesehatan 2019 menyebut terdapat 21,3 persen atau 2.097 puskesmas yang belum terfasilitasi akses internet. Ditambah lagi hanya terdapat 2,19 persen puskesmas di Indonesia yang memiliki nakes khusus bidang informatika kesehatan (Infokes).


Pemerataan Infrastruktur dan SDM Kesehatan

Pemerataan infrastruktur dan SDM kesehatan tersebut perlu diperhatikan sesuai Permenkes 24/2022 tentang Rekam Medis. Peraturan ini menetapkan kewajiban layanan kesehatan mengimplementasikan Rekam Medis Elektronik dengan masa transisi hingga 31 Desember 2023.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Bambang Wibowo juga membahas soal rekam medis.

Menurutnya, belum semua rumah sakit di Indonesia menerapkan teknologi informasi. Hal ini diungkap dalam survei maturitas teknologi informasi yang dilakukan PERSI.

Survei ini dilakukan dengan sampel sebanyak 500 rumah sakit. Hasilnya, masih ada 8 persen rumah sakit yang belum menerapkan teknologi informasi.

“Masih ada 8 persen RS masih belum menerapkan teknologi informasi. Selain itu baru 12 persen dari sampel 500 RS yang memiliki rekam medik elektronik,” kata Bambang dalam konferensi pers di RSUD Bali Mandara, Bali, Rabu (12/10/2022).

Dengan begitu, kondisi rumah sakit di lapangan saat ini masih bervariasi. Ada rumah sakit yang sangat maju ada pula yang masih kurang.


Rekomendasi CISDI

Sementara menurut Riset Fasilitas Kesehatan 2019, dari sisi kapasitas layanan kesehatan, sebanyak 38,1 persen atau 3.745 puskesmas belum memiliki Sistem Pencatatan Manajemen Puskesmas (SIMPUS).

Akibatnya informasi disalin secara manual beberapa kali dengan potensi error yang tinggi,” ungkap Yurdhina kembali.

Berdasarkan catatan tersebut, CISDI memberikan beberapa rekomendasi:

- Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Panitia Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meninjau peraturan perundangan terkait tata kelola data dan informasi kesehatan agar ada harmonisasi peraturan.

- Kementerian Komunikasi dan Informatika mengesahkan peraturan mengenai Standar Interoperabilitas Data yang menjadi acuan bagi Pembina Data di sektor yang lebih spesifik.

- Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan Kementerian Kesehatan sebagai Pembina Data sektor kesehatan kepada Presiden.

- Kementerian Kesehatan meningkatkan kesiapan infrastruktur pendukung dan kapasitas sumber daya manusia kesehatan melalui alokasi anggaran dan pendekatan sosialisasi yang baik mengenai tata kelola data dan transformasi digital kesehatan.

 

Infografis Indonesia Kemungkinan Lepas Status Pandemi Covid-19 Awal 2023. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya