Buntut Tragedi Kanjuruhan, Bisa Bikin Korban Trauma Tak Ingin Lagi Nonton Bola

Beberapa korban dalam Tragedi Kanjuruhan mengaku trauma dan tak ingin lagi nonton bola di stadion.

oleh Diviya Agatha diperbarui 18 Okt 2022, 15:00 WIB
Lilin dan tulisan yang diletakkan di Stadion Kanjuruhan untuk mengenang tragedi menyesakkan pada 1 Oktober 2022. Foto diambil pada Senin (11/10/2022). (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari dua pekan berlalu, duka bagi korban maupun keluarga korban yang ditinggalkan dari Tragedi Kanjuruhan masih lekat dalam ingatan. Sebanyak 131 orang meninggal dunia dan 400 orang luka-luka pada tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia tersebut.

Elimiati, salah satu penonton pertandingan malam itu menceritakan bahwa suami dan anaknya masuk dalam daftar 131 orang meninggal dunia di Tragedi Kanjuruhan. Saat kejadian, Elimiati sempat terpisah dengan mendiang suami dan anaknya yang berusia 3 tahun.

"Ternyata posisi anak saya ketemu dalam keadaan meninggal dunia, berada di kamar mayat RSUD Kanjuruhan. Jenazah suami saya di RS Saiful Anwar," ujar Elimiati mengutip kanal Surabaya Liputan6.com, Selasa (18/10/2022).

Tragedi Kanjuruhan tak lantas membuat Elimiati membenci Arema. Namun, dirinya mengaku trauma dan tak lagi mau menonton pertandingan sepak bola di stadion.

"Trauma, ingat anak dan ingat suami. Saya tidak akan lagi masuk stadion. Saya harap ini diusut tuntas, ada keadilan untuk kami semua," kata Elimiati.

Kisah lainnya diangkat oleh pengguna Twitter Tobias Ginanjar melalui akun @toptobs. Cuitan miliknya mengangkat cerita Aremania yang memutuskan untuk tidak akan lagi hadir ke stadion setelah beberapa temannya meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan.

"Di salah satu jembatan penyeberangan di Malang terlihat banyak disimpan syal-syal dan baju Aremania. Lalu saya tanya ke Aremania yang mengantar saya, ini maksudnya apa mas? Oh, Itu syal dari beberapa korban meninggal dan teman-teman Aremania yang memutuskan untuk tidak hadir lagi ke stadion," tulis Tobias. 


Trauma dan Tidak Lagi Mau Nonton Bola

Mendung kelabu hampir selalu menyelimuti Malang di penghujung sore sepekan setelah tragedi pilu. Menggantung bak kenangan para penyintas kejadian maut usai Arema tumbang pada malam menuju minggu. (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Berkaitan dengan trauma dalam Tragedi Kanjuruhan, Health Liputan6.com mencoba menelusuri dampak psikologis yang terjadi lewat pemaparan dari psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani.

Efnie mengungkapkan bahwa trauma sendiri merupakan respons emosional terhadap peristiwa yang mengerikan. Usai mengalaminya, seseorang akan menyimpan memori tersebut pada bagian otak yang disebut dengan amigdala.

"Memori traumatis tersebut pada umumnya disimpan di amigdala otak, dan memori itu melekat dengan sangat erat. Hal inilah yang membuat seseorang yang trauma akan menghindari peristiwa yang sama ataupun peristiwa yang mirip dengan kejadian traumatis yang dialaminya," kata Efnie pada Health Liputan6.com.

Efnie menjelaskan, trauma yang dialami oleh seseorang bisa sembuh melalui terapi. Waktu yang harus ditempuh untuk menyembuhkannya ternyata tidaklah singkat.

"Jika diberikan terapi, biasanya pada tahap awal dilihat kondisi psikisnya dalam 3 bulan. Ada yang mulai menunjukkan tanda-tanda pulih, namun ada yg belum. Tergantung dari kondisi psikis yang bersangkutan dan ini bersifat sangat individual," ujar Efnie.


Hal yang Sebaiknya Dilakukan Jika Mengalami Trauma

Polisi dan tentara berdiri di tengah asap gas air mata saat kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia dalam tragedi kerusuhan tersebut. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami trauma memang sebaiknya menghindari dulu pemicunya. Dalam hal Tragedi Kanjuruhan, Efnie menyarankan untuk saat ini menghindari kerumunan.

"Sebaiknya hindari terlebih dahulu kerumunan, karena hal ini rentan memicu kembali memori traumatisnya," kata Efnie.

Biasanya, seseorang yang mengalami trauma akan meluapkan emosinya dengan beberapa cara. Seperti menangis semaksimal mungkin atau berteriak. Namun, Efnie sendiri tidak menyarankan peluapan emosi dilakukan dengan cara tersebut.

"Sekadar meluapkan dengan cara-cara biasa seperti berteriak atau menangis semaksimal mungkin tidak selalu disarankan, karena hal ini bisa semakin memancing reaksi emosi negatif tubuh dan memperparah trauma," ujar Efnie.

"Lebih baik ditangani oleh profesional, karena profesional akan tahu cara-cara untuk katarsis (memurnikan emosi negatif) yang lebih tepat."


Trauma Jangan Disembuhkan Seorang Diri

Tim Polda Jatim memberikan trauma healing kepada korban Tragedi Kanjuruhan. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Efnie mengungkapkan bahwa selain meminta bantuan profesional, masih ada hal-hal lain yang bisa dilakukan secara mandiri. Salah satunya dapat dilakukan dengan meminta bantuan dari orang-orang terdekat.

"Sebaiknya tidak (disembuhkan) seorang diri. Tapi didampingi oleh kerabat, sahabat, atau orang-orang yang bisa memberikan dukungan. Salah satunya dengan membantu seseorang yang trauma untuk mengingat kembali memori tersebut, menerimanya, mengikhlaskan, dan memaafkan," ujar Efnie.

Dalam proses tersebut, seseorang perlu untuk didampingi. Hal tersebut dikarenakan perlu adanya sosok yang bisa menguatkan dan menenangkan saat emosi negatif itu keluar.

"Hal ini perlu didampingi, agar saat prosesnya dilakukan terjadi luapan emosi negatif yang berlebihan, ada yang membantu menenami, menguatkan, dan menenangkan," pungkas Efnie.

Infografis Kisah Dramatis dan Kesaksian Pilu Tragedi Kanjuruhan Malang. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya