19 Oktober 1987: Saham Dunia Jeblok Setelah Wall Street Jatuh

Pasar saham dunia Jeblok setelah Wall Street jatuh. Peristiwa yang dikenal sebagai Black Monday ini terjadi tepat 35 tahun silam.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Okt 2022, 06:00 WIB
Dalam file foto 11 Mei 2007 ini, tanda Wall Street dipasang di dekat fasad terbungkus bendera dari Bursa Efek New York. (Richard Drew/AP Photo)

Liputan6.com, New York City - Pasar saham dunia jeblok setelah markas investasi terbesar AS Wall Street mengalami panic selling -- penjualan saham secara berlebihan sebagai reaksi terhadap turunnya harga saham dalam volume tinggi -- pada 19 Oktober 1987.

Dow Jones Industrial Average (Dow 30) -- indeks pasar saham yang melacak 30 besar perusahaan blue-chip milik publik yang diperdagangkan di New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq -- anjlok dengan rekor 508 poin dan mencatat penurunan dengan persentase 22.5%.

Di Wall Street sendiri, harga saham jatuh di seluruh bursa perdagangan, bahkan kerugiannya lebih buruk dari pada "Black Monday" Oktober 1929.

Di London, nilai saham turun 50 miliar poundsterling (Rp 878 triliun) sebagaimana indeks saham Inggris FT-30 turun 183.7 poin menjadi 1629.2.

Penurunan terparah sebelumnya terjadi pada 1 Maret 1974 setelah kemenangan Partai Buruh di Inggris, ketika saham turun 7.1%.

Penurunan Tajam

Indeks FTSE -- organisasi keuangan Inggris yang menyediakan penawaran indeks untuk pasar global -- juga turun lebih dari 300 poin dengan kerugian 63 miliar poundsterling (Rp1105 triliun).

Kekacauan ini dipicu oleh jatuhnya Wall Street pada Jumat, 16 Oktober 1987 dan juga penurunan tajam di Tokyo.

White House AS berusaha menenangkan investor dengan mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden Ronald Reagan tetap yakin ekonomi AS masih sehat.

Dealer menurunkan harga sebagai upaya mencegah penjual di tengah kejadian bersejarah ini.

Penurunan persentase ini adalah yang terbesar kedua setelah penurunan 24.4% pada 12 Desember 1914.

Pimpinan bursa NYSE John Phelan mengatakan, "Ini adalah hal terdekat dengan krisis keuangan yang pernah saya temui. Saya tidak ingin mengalaminya lagi".

Di sisi lain, para pejabat memperingatkan agar tidak membandingkan situasi ini dengan situasi Black Monday 1929.

Aktivitas perdagangan turun karena meningkatnya kekhawatiran atas kenaikan suku bunga dan penurunan dolar. Ini diperparah dengan berita bahwa AS telah membalas serangan Iran dengan memborbardir anjungan minyak di lepas pantai Persian Gulf.

 


Pasca Black Monday 1987

Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Setelah jatuhnya Wall Street pada 1987 yang juga dikenal sebagai Black Monday lainnya, pasar di seluruh dunia hanya bisa melakukan perdagangan secara terbatas karena pada saat itu komputer menangani begitu banyak pesanan sementara teknologi belum secanggih sekarang.

Pada akhir Oktober, pasar saham di Australia jatuh 41.8%, Hongkong 45.8%, dan Inggris 26.4%.

Untungnya, dampak dari jatuhnya Wall Street ini tidak diikuti depresi keuangan dunia, sehingga efeknya tidak semakin parah.

Selama dekade berikutnya, suku bunga turun dan investor dapat menunjukkan kepercayaan diri baru di pasar.

Perdebatan tentang penyebab kekacauan Black Monday 1987 berlanjut selama bertahun-tahun setelahnya. Namun, para ekonom tidak pernah menyebutkan satu faktor pun yang menyebabkan kekacauan itu terjadi.

 


Wall Street Kembali Perkasa Tersengat Rilis Laporan Keuangan Bank

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Sementara itu, bagaimana dengan kondisi Wall Street sekarang?

Bursa saham AS ini menguat tajam pada perdagangan Senin, 17 Oktober 2022. Wall street menghijau didukung laporan laba utama meredakan beberapa ketakutan investor dan saham teknologi yang alami jenuh jual berbalik arah menguat.

Pada penutupan perdagangan Wall Street, indeks Dow Jones melambung 550,99 poin atau 1,86 persen ke posisi 30.185,82. Indeks S&P 500 melompat 2,65 persen ke posisi 3.677,95. Indeks Nasdaq melesat 3,43 persen ke posisi 10.675,80, dan mencatat kinerja terbaik sejak Juli.

Pergerakan wall street ini terjadi seiring saham mendekati posisi terendah pada 2022, dan indeks S&P 500 telah turun empat minggu dari lima minggu terakhir. Pergerakan besar di kedua arah dalam beberapa pekan terakhir telah memberi rasa tidak nyaman di Wall Street meski beberapa percaya pasar akan menguat.

“Masa pergerakan rata-rata 200 minggu adalah dasar dukungan yang serius hingga perusahaannya mengakui atau resesi secara resmi tiba, yang keduanya bisa memakan waktu beberapa bulan lagi dan mengarah ke reli secara teknikal dalam jangka pendek,” ujar Mike Wilson dari Morgan Stanley dalam sebuah catatan kepada klien seperti dikutip dari CNBC, Selasa (18/10/2022).

Di sisi lain, indeks saham Nasdaq yang menguat dipicu kenaikan saham teknologi seperti saham Zoom Video yang naik 6 persen. Selain itu, saham internet China juga membukukan kinerja baik.

Musim laporan keuangan kuartal III 2022 juga sedang berjalan lancar. Investor sedang memantau apakah perusahaan Amerika Serikat akan memiliki revisi penurunan yang signifikan terhadap pandangannya dalam hadapi inflasi yang sangat tinggi dan perlambatan ekonomi.


Bursa Saham Asia Semringah Tertular Wall Street

Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Situasi yang membaik ini juga memberikan kabar baik untuk bursa Asia. Bursa saham Asia Pasifik diperdagangkan lebih tinggi pada Selasa (18/10/2022) setelah reli Wall Street pada Senin, 17 Oktober 2022 waktu setempat.

Indeks Nikkei 225 naik 0,67  persen dan Topix naik 0,59 persen. Yen Jepang menyentuh 149,08 terhadap dolar dan terakhir diperdagangkan di dekat 148,90. Indeks Kospi Korea Selatan naik 0,45 persen dan Kosdaq  bertambah 1,25 persen. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang bertambah 0,72 persen.

Di Australia, S&P/ASX 200 naik 1,37 persen, dan mencatat penguatan di wilayah Asia Pasifik. Reserve Bank of Australia akan merilis notulen rapat untuk pertemuan Oktober.

China akan melaporkan data produk domestik bruto, tetapi telah menunda itu dan banyak rilis ekonomi untuk kuartal III, menurut kalender yang diperbarui yang dalam situs web Biro Statistik Nasional. Langkah yang tidak biasa itu terjadi saat Partai Komunis China mengadakan Kongres Nasional ke-20.

Semalam di Amerika Serikat (AS), indeks utama melonjak menyusul beberapa laporan pendapatan yang lebih baik dari perkiraan.

Selengkapnya klik di sini...

(Reporter: Safinatun Nikmah)

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya