Beda Pendapat Kemenko Polhukam dan Keluarga soal Pembatalan Autopsi Korban Kanjuruhan

Deputi V Kemenko Polhukam menilai kedatangan anggota polisi ke rumah korban tragedi Kanjuruhan hanya melakukan tugas patroli keamanan. Pihak keluarga menilai kehadiran petugas mengintimidasi secara tak langsung

oleh Zainul Arifin diperbarui 20 Okt 2022, 17:03 WIB
keluarga korban tragedi Kanjuruhan bersama tim hukumnya menerima Deputi V Kemenko Polhukam dan penyidik kepolisian membicarakan penyebab pembatalan autopsi jenasah korban Kanjuruhan pada Rabu, 19 Oktober 2022 (Liputan6.com/Zainul Arifin) 

Liputan6.com, Malang - Perwakilan Kemenko Polhukam datang ke rumah keluarga korban tragedi Kanjuruhan yang akan menjalankan autopsi jenasah. Tujuannya, mengklarifikasi penyebab pembatalan rencana autopsi tersebut.

Devi Athok Yulfitri, warga Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Malang, menyatakan bersedia dilakukan ekshumasi dan autopsi jenasah dua putrinya yakni Natasya Deby Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Deby Anggraeni, 13 tahun, yang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan.

Surat pernyataan kesediaan ditandatangani pada 10 Oktober. Setelah itu keluarga korban merasa khawatir karena sering didatangi anggota kepolisian. Selanjutnya ada pernyataan pembatalan pada 17 Oktober kemarin.

Deputi V Kemenko Polhukam, Irjen Pol Armed Wijaya bersama beberapa penyidik kepolisian datang ke rumah Devi Athok Yulfitri pada Rabu, 19 Oktober 2022. Sedari petang sampai malam mereka berbincang dengan keluarga korban yang didampingi tim kuasa hukumnya.

“Ditugaskan Menko Polhukam pak Mahfud MD selaku Ketua TGIPF terkait masalah pembatalan autopsi. Isunya kan ada intervensi oleh anggota Polri, maka kami ke sini untuk mengklarifikasi apakah itu betul,” kata Armed.

Usai pertemuan itu, ia mengklaim tidak benar bila pembatalan autopsi karena ada intervensi dan intimidasi. Pembatalan itu sepenuhnya karena ada keberatan dari pihak keluarga korban yang tak tega bila ada proses autopsi.

“Tidak benar ada intervensi. Keterlibatan anggota polisi datang ke sini bukan intervensi,” katanya.

Armed menyebut anggota Polda Jatim datang ke rumah duka pada 17 Oktober begitu mendengar pihak keluarga akan mencabut dan membatalkan autopsi. Tujuannya, memastikan informasi itu benar atau tidak. Serta membantu pihak keluarga untuk membuat surat.

“Ternyata informasi batal itu benar. Karena pihak keluarga korban tidak paham cara membuat surat pembatalan, anggota menuntun cara membuatnya,” ucapnya.

Ia mengklaim personel kepolisian yang datang ke rumah Devi Athok, keluarga korban tragedi Kanjuruhan tak akan mengintimidasi. Kehadiran itu lebih bersifat patroli keamanan biasa sekaligus bentuk perhatian kepada kelurga korban tragedi Kanjuruhan.

“Kalau ada anggota seperti Kapolsek datang itu biasa untuk patroli atau karena mungkin ini kan salah satu korban sehingga butuh perhatian. Saya kira itu wajar-wajar saja,” urai Armed.


Jaminan Keamanan

Keluarga korban tragedi Kanjuruhan bersama kuasa hukumnya siap mengambil keputusan ulang terkait rencana autopsi jenasah (Liputan6.com/Zainul Arifin)  

Imam Hidayat, Tim Kuasa Hukum keluarga korban Devi Athok, mengatakan kedatangan perwakilan Kemenko Polhukam ke rumah duka bertujuan memastikan pencabutan rencana autopsi murni keinginan pihak keluarga atau karena intimidasi.

“Intimidasi itu ada, mungkin tidak secara kasat mata artinya psikis,” kata Imam.

Devi Athok secara prinsip tidak masalah ada autopsi terhadap jenasah dua putrinya. Semula, pernyataan kesediaan itu disampaikan ke salah satu anggota TGIPF dan seorang advokat lainnya. Pertimbangannya, demi kepentingan penyidikan kasus sampai tuntas maupun untuk pro justitia.

“Tiba-tiba Mabes Polri menggelar konferensi press akan melakukan autopsi terhadap dua jenasah. Mas Devi dan saya pun kaget,” ucap Imam.

Usai pengumuman itu beberapa anggota polisi secara intensif datang ke rumah keluarga korban. Meskipun tidak ada intimidasi secara fisik, kedatangan itu disertai ucapan yang cenderung mempertanyakan rencana autopsi itu.

“Itu membuat takut dan khawatir. Keluarga lalu berunding sepakat membatalkan autopsi itu,” ujar Imam.

Tim kuasa hukum bersama keluarga korban sedang berunding untuk keputusan berikutnya. Tetap melanjutkan atau membatalkan rencana autopsi. Keputusan akan disampaikan ke Kemenko Polhuam dua hari ke depan.

Devi Athok yakin, dua putrinya meninggal dalam tragedi Kanjuruhan akibat gas air mata. Namun upayanya untuk menuntut keadilan lewat autopsi jenasah sebagai pembuktian tak berjalan mulus. Anggota kepolisian berdatangan sembari menyebut tak perlu menempuh proses itu.

“Saya ingin menuntut keadilan untuk anak-anak saya. Kami siap dilakukan autopsi terhadap jenasah, dengan syarat ada jaminan perlindungan dan keamanan untuk kami,” kata Devi Athok.

 

Infografis Tragedi Arema di Stadion Kanjuruhan Malang. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya