Liputan6.com, Jenewa - Banyak negara di dunia mulai melonggarkan protokol kesehatan untuk mencegah COVID-19. Perbatasan pun sudah mulai dibuka, turis asing pun sudah mulai diizinkan untuk pelesir.
Kendati demikian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu 19 Oktober 2022 mengatakan masih terlalu dini untuk mencabut status peringatan tertinggi untuk krisis COVID-19. Mengapa?
Advertisement
Hal itu mengingat situasi pandemi COVID-19 masih menjadi darurat kesehatan global meskipun terdapat sejumlah kemajuan baru-baru ini.
Komite darurat WHO untuk COVID-19 pada minggu lalu bertemu dan menyimpulkan bahwa status pandemi masih berada dalam kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (PHEIC), status yang diumumkan pada Januari 2020.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada Rabu 19 Oktober mengatakan kepada wartawan bahwa ia setuju dengan saran komite itu.
"Komite menekankan perlunya memperkuat pengawasan dan memperluas akses pada tes, perawatan, dan vaksin bagi mereka yang paling berisiko," kata Ghebreyesus, yang berbicara dari markas besar badan kesehatan PBB itu di Jenewa seperti dikutip dari laporan VOA Indonesia, Kamis (20/10/2022).
WHO pertama kali menyatakan wabah COVID-19 sebagai PHEIC pada 30 Januari 2020, ketika terdapat kurang dari 100 kasus COVID-19 tercatat di luar China.
Meskipun deklarasi PHEIC adalah mekanisme yang disepakati secara internasional untuk memicu respons internasional terhadap wabah semacam itu, baru pada bulan Maret, banyak negara mulai menyadari bahaya COVID-19 ketika Tedros menggambarkan situasi yang memburuk sebagai pandemi.
622 Juta Kasus COVID-19 yang Dikonfirmasi Dilaporkan ke WHO
Sejak awal pandemi COVID-19, lebih dari 622 juta kasus COVID-19 yang dikonfirmasi telah dilaporkan ke WHO dan tercatat lebih dari 6,5 juta kematian, meskipun angka-angka itu diyakini terlalu rendah.
Menurut informasi global WHO, 263.000 kasus baru dilaporkan dalam 24 jam terakhir, sementara 856 kematian akibat COVID-19 telah dilaporkan dalam seminggu terakhir.
Tedros, pada Rabu, mengakui bahwa "situasi global jelas telah membaik sejak mulainya pandemi," tetapi dia memperingatkan bahwa "virus terus berubah dan masih terdapat banyak risiko dan ketidakpastian."
Ia memperingatkan "pandemi telah membuat kita semua tercengang sebelumnya dan sangat mungkin hal tersebut terulang kembali."
Advertisement
WHO: 60% Penduduk Dunia Bekerja dan Semua Berhak Punya Lingkungan Kerja Sehat
Sebelumnya, World Health Organization atau WHO mengatakan bahwa hampir 60 persen penduduk dunia bekerja. Semua pekerja berhak atas lingkungan yang aman dan sehat di tempat kerjanya tersebut.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, pekerjaan yang layak mendukung kesehatan mental yang baik perlu menyediakan setidaknya empat hal ini, yaitu:
a. mata pencaharian
b. rasa percaya diri, tujuan dan pencapaian
c. kesempatan untuk hubungan positif dan inklusi dalam komunitas; dan
d. platform untuk rutinitas terstruktur, di antara banyak manfaat lainnya.
Untuk orang dengan kondisi kesehatan mental, pekerjaan yang layak dapat berkontribusi pada pemulihan dan inklusi, meningkatkan kepercayaan diri dan fungsi sosial.
Lingkungan kerja yang aman dan sehat tidak hanya hak fundamental, tetapi juga lebih mungkin untuk meminimalkan ketegangan dan konflik di tempat kerja. Selain itu, juga dapat meningkatkan retensi staf, kinerja dan produktivitas.
Sebaliknya, kurangnya struktur dan dukungan yang efektif di tempat kerja, terutama bagi yang hidup dengan kondisi kesehatan mental, dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menikmati pekerjaannya dan melakukan pekerjaannya dengan baik.
Sehingga nantinya dapat merusak kehadiran orang di tempat kerja dan bahkan menghentikan orang mendapatkan pekerjaan di tempat pertama.
Indonesia Larang Obat Batuk Sirup Terkait Kematian 70 Anak Gambia, WHO Temukan Kadar Berlebih
Sementara itu, Indonesia pada Sabtu 15 Oktober 2022 melarang bahan-bahan pada sirup obat batuk yang terkait dengan kematian 70 anak di Gambia. Upaya ini dilakukan saat langkah penyelidikan atas kerusakan ginjal akut yang menewaskan lebih dari 20 anak di ibu kota Jakarta tahun ini.
Mengutip laporan Channel News Asia, yang dikutip Minggu (16/10/2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM mengatakan sedang menyelidiki kemungkinan bahwa dietilen glikol dan etilen glikol telah mencemari bahan lain yang digunakan sebagai pelarut pada obat batuk.
Gambia dan India sedang menyelidiki kematian akibat cedera ginjal akut di negara Afrika barat yang diduga terkait dengan sirup obat batuk produksi Maiden Pharmaceuticals yang berbasis di New Delhi.
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan telah menemukan tingkat bahan yang "tidak dapat diterima", yang dapat menjadi racun, dalam empat produk Maiden.
"Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, BPOM telah menetapkan persyaratan pada saat pendaftaran bahwa semua produk sirup obat untuk anak-anak dan orang dewasa tidak boleh menggunakan dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG)," kata regulator dalam sebuah penyataan.
BPOM kembali menegaskan bahwa keempat produk yang terkait dengan kematian di Gambia tersebut tidak terdaftar di Indonesia, maupun produk Maiden lainnya.
Advertisement