Punya Cadangan 21 Juta MT, Nikel jadi Solusi Indonesia Lolos dari Resesi Global

Industri nikel disebut sebagai penopang ekonomi Indonesia di tengah ancaman resesi global tahun 2023.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Okt 2022, 12:00 WIB
Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta Industri nikel disebut sebagai penopang ekonomi Indonesia di tengah ancaman resesi global tahun 2023. Hal ini tak lepas dari kontribusi nikel yang saat ini dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik dan juga bahan baku stainless steel dan turunannya.

Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan produksi nikel pada tahun 2021 mencapai angka 1 juta metrik ton atau 37,04 persen di dunia.

Cadangan nikel di Indonesia diperkirakan mencapai 21 juta metrik ton. Maluku Utara adalah salah satu basis tambang nikel di Indonesia yang potensinya terhadap ekonomi Indonesia cukup signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Maluku Utara Januari hingga Agustus 2022 sebesar 3.212,88 juta dolar.

Surplus perdagangan ini dominasi oleh komoditi mineral besi, baja, dan nikel yang tercatat tumbuh 10,34 persen. Dengan potensinya yang besar, maka industri nikel di Indonesia dinilai perlu dikembangkan secara komprehensif.

Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah, khususnya bagi bijih nikel berkadar rendah, adalah dengan proses hidrometalurgi. Proses ini dapat mengolah bijih nikel dengan kadar rendah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

Praktisi Industri Nikel Steven Brown menyatakan, tanpa baterai, maka transisi energi tidak akan terjadi. Teknologi baterai menurutnya berkembang dengan cepat, baik menggunakan nikel atau bukan.

Walaupun nikel bisa digantikan dengan komoditas mineral lain, tetapi hanya nikel yang mampu membuat baterai menjadi optimum.

"Yang jelas nikel ini optimum. Baterai yang optimum punya nikel karena dia high energy, namun downside high cost," kata Steven dikutip Kamis (20/10/2022). 

Maka dari itu, sebutnya, dengan kelebihan yang dimiliki nikel, transisi energi akan bergantung pada nikel. Tanpa nikel, maka transisi energi berpotensi tertunda.

"Jadi bisa lihat transisi energi tergantung pada nikel, tanpa ada nikel, kita mungkin akan ada transisi ke EBT, tapi akan delay," katanya.

 


Hilirisasi Nikel

Smelter nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara (Foto:Liputan6.com/Septian Deny)

Pelaku usaha sektor pertambangan dan hilirisasi nikel memahami urgensi kebutuhan untuk transisi energi. Head of External Relation Harita Nickel, Stevi Thomas menyatakan pihaknya telah menerapkan teknologi energi yang bersih.

"Ini sejalan dengan tiga area prioritas transisi energi yang ditetapkan Presidensi G20 Indonesia, khususnya teknologi," ungkap Stevi.

Sejak tahun 2021 Harita Nickel, melalui PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) yaitu anak usaha PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP) telah menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) dalam mengolah dan memurnikan nikel kadar rendah (limonite).

Dari proses ini dihasilkan intermediate product berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) selanjutnya perlu diolah lebih lanjut agar diperoleh logam nikel dan cobalt murni secara terpisah.

"Teknologi ini memungkinkan kami menyuplai bahan baku untuk mengurangi emisi di dunia," katanya.

PT HPL yang mulai beroperasi pada pertengahan 2021 di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, adalah perusahaan pionir di Indonesia dalam memproduksi bahan baku utama baterai kendaraan listrik (MHP) dan memiliki kapasitas produksi 365 ribu WMT per tahun.

 


48 Proyek Smelter Nikel

Tambang Nikel PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan (dok: Athika Rahma)

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, saat ini ada 48 proyek smelter nikel yang ditargetkan seluruhnya dapat beroperasi pada tahun 2024. Proyek-proyek smelter ini berlokasi di Banten, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.

"Memang saat ini ada, khususnya smelter nikel, ada 48 proyek yang kita harapkan bisa selesai di 2024. Memang sekarang ada kendala yang timbul yang diakibatkan kondisi dan juga kesulitan lain dari industri pertambangan untuk membangun smelter," ujar Arifin.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, Kementerian ESDM terus berupaya menjembatani kebutuhan para investor tersebut untuk dapat merealisasikan proyek smelter yang sudah direncanakan. Hal tersebut juga untuk mewujudkan cita-cita Indonesia di sektor minerba.

"Cita-cita Indonesia, nanti untuk bisa membangun industri hilirisasi dari hulu ke hilir yang memberikan nilai tambah yang tinggi, juga menyerap tenaga kerja, dan hal positif lain yang akan bisa diterima oleh Indonesia," ujar dia.

"Jadi Kementerian ESDM mendukung penuh program hilirisasi yang memang sudah kita canangkan. Mudah-mudahan dalam waktu yang sudah kita targetkan cita-cita ini bisa kita capai," ujarnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya