Liputan6.com, Boston - Sebuah tabloid Inggris memberitakan laboratorium Boston University (Universitas Boston)/ BU menciptakan jenis Virus Corona COVID-19 baru yang lebih mematikan -- dengan tingkat kematian 80%. Pemberitaan tersebut kemudian dikutip oleh beberapa media nasional AS dan menjadi sorotan.
Tapi tuduhan itu sama sekali tidak benar. Menurut peneliti Universitas Boston yang dituduh melakukan tindakan tersebut, dan para ahli pihak ketiga yang kemudian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada WBZ-TV.
Advertisement
Mengutip CBS News, Jumat (21/10/2022), disebutkan bahwa para peneliti di National Emerging Infectious Diseases Laboratories, atau NEIDL, Universitas Boston, telah bekerja meneliti Virus Corona COVID-19 sejak 2020. Saat itu mereka menerima sampel kasus COVID pertama yang tercatat di negara bagian Washington.
Mereka mengerjakan penelitian seputar pengobatan, pencegahan, dan bagaimana COVID-19 menyebar.
Sementara tujuan dari penelitian tahun 2022 ini adalah untuk menentukan mengapa varian Omicron dari COVID-19 tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada jenis virus aslinya. Selain itu juga untuk mengetahui komponen virus apa yang menentukan tingkat keparahannya.
Untuk melakukannya, para peneliti membandingkan Virus Corona COVID-19 asli, Omicron, dan versi keduanya digabungkan: di sinilah informasi yang salah tentang "strain baru" berkembang.
Namun para ahli mengatakan, ini adalah standar.
"Saya pikir ini benar-benar di luar proporsi," jelas Dr. Daniel Kuritzkes, Kepala Penyakit Menular di Brigham and Women's Hospital. Dia tidak berafiliasi dengan studi BU.
"Jenis eksperimen yang dilakukan adalah jenis yang pada dasarnya dilakukan setiap hari dengan COVID, dan sama sekali tidak ada yang aneh tentang ini."
"Jika Anda akan menemukan vaksin, atau Anda akan dapat menemukan semacam tes, dengan hal-hal seperti COVID, itulah jenis pekerjaan yang Anda lakukan," tambah Dr. Arthur Caplan, Direktur Etika Medis di Grossman School of Medicine, New York University.
Apa yang Terjadi Setelah Uji Coba?
Begitu para peneliti di lab BU mengembangkan galur gabungan COVID-19, mereka menyuntikkan sejumlah besar virus itu ke tikus. Tujuannya untuk menentukan seberapa mematikan setiap versi virus. Dan sekali lagi, bagian virus mana yang menyebabkan tingkat keparahan ini.
Dengan strain asli COVID-19, didapati 100% tikus mati.
Dengan Omicron, tidak ada tikus yang mati.
Lalu hasil penyuntikan dengan strain gabungan, sekitar 80% tikus mati.
Dari data itulah sumber laporan berita viral yang kini jadi berita utama mengemuka, menyorot tentang "tingkat pembunuhan 80%."
"Bukannya mereka yang membuat virus monster ini. Itu salah tafsir," jelas Dr. Kuritzkes. Juga, "apa yang kita lihat pada model hewan tidak secara langsung diterjemahkan dengan apa yang terjadi pada manusia," tambahnya.
Advertisement
Bantahan Penciptaan Virus Monster Mematikan
Direktur lab NEIDL merilis pernyataan sebagai tanggapan atas laporan tersebut, menyebutnya salah dan tidak akurat.
"Mereka telah membuat pesan sensasional, mereka salah menggambarkan penelitian dan tujuannya secara keseluruhan," kata Ronald B. Corley, direktur NEIDL dan ketua mikrobiologi Fakultas Kedokteran BU Chobanian & Avedisian, dari laporan sejumlah outlet berita.
Selain itu, tidak ada kekhawatiran bahwa virus yang diuji di laboratorium dapat bocor ke publik, klaim lain diumumkan oleh laporan awal.
"Tidak ada risiko untuk melakukan eksperimen ini di kota Boston, karena dilakukan di bawah tingkat penahanan tertinggi untuk memastikan bahwa tidak ada pelepasan bahan sama sekali dari lab ke lingkungan," jelas Dr. Kuritzkes.
"[Di AS,] kami jauh lebih berhati-hati, jauh lebih berhati-hati daripada pada dasarnya di tempat lain di dunia tentang pekerjaan semacam ini," tambah Dr. Caplan.
Pekerjaan itu dilakukan dengan persetujuan dari Universitas Boston, komite peninjau keamanan hayati, dan Komisi Kesehatan Masyarakat Boston.
Kontroversi Dampak Laporan Penciptaan Virus COVID-19 Baru yang Lebih Mematikan dari Lab AS
Ada satu kontroversi seputar dampak dari laporan ini.
Perwakilan dari National Institute of Allergy and Infectious Diseases/NIAID (Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular) mengatakan mereka berharap BU telah memberi tahu mereka penelitian yang sedang dikerjakannya.
Tetapi menurut juru bicara Boston University (BU), para peneliti tidak perlu melakukannya.
"Kami memenuhi semua kewajiban peraturan dan protokol yang diperlukan. Mengikuti pedoman dan protokol NIAID, kami tidak memiliki kewajiban untuk mengungkapkan penelitian ini karena dua alasan. Eksperimen yang dilaporkan dalam naskah ini dilakukan dengan dana dari Universitas Boston," papar jubir Boston University.
"Pendanaan NIAID diakui karena itu digunakan untuk membantu mengembangkan alat dan platform yang digunakan dalam penelitian ini; mereka tidak mendanai penelitian ini secara langsung," sambung perwakilan universitas.
National Institutes of Health sekarang memeriksa apakah eksperimen tersebut seharusnya memicu tinjauan federal.
Advertisement