Nadiem Makarim Kecewa Baru 60 Kampus Bentuk Satgas PP Kekerasan Seksual

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek (Mendikbudristek) Nadiem Makarim berharap makin banyak pria yang terlibat dalam pencegahan kasus kekerasan seksual, terutama di kampus.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 21 Okt 2022, 21:01 WIB
Mendikbudristek Nadiem Makarim berbicara dalam acara StandUp Melawan Kekerasan Seksual di Kampus, di FISIP UI Depok, secara hybrid, Jumat (21/10/2022). (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut baru 60 kampus yang membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Satgas itu merupakan salah satu kewajiban pihak perguruan tinggi dalam menindaklanjuti Permendikbud Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Masih ada yang belum dan itu sangat mengecewakan sekali. Kok lama sekali?" ucapnya saat berbicara di acara StandUp Melawan Kekerasan Seksual di Kampus, di FISIP UI Depok, secara hybrid, Jumat (21/10/2022).

Peraturan itu, kata Nadiem, merupakan satu paket kebijakan yang menampung berbagai macam mandat, salah satunya adalah pembentukan satgas. Organisasi di dalam kampus itu berwenang untuk menerima laporan, melindungi korban, melaporkan aduan kepada pimpinan perguruan tinggi, serta melaporkan apa yang dikerjakan atau tidak dikerjakan ke Kemendikbudristek.

"Jadi, satgas ini punya channel langsung kementerian. Punya hak untuk merekomendasikan sanksi, yang jika tidak dilakukan, bisa dilaporkan ke kementerian," sambung Nadiem.

Poin tersebut, sambung Nadiem, akan membantu korban memperoleh keadilan. Pasalnya, dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual lolos dari sanksi hukum lantaran beban pembuktian berada di pihak korban.

"Dengan tingginya level pembuktian, kita tahu sangat susah korban bisa mendapatkan keadilan. Karena itu, dalam perguruan tinggi, sanksi bisa terjadi," ucapnya.

Ke depan, pihaknya akan membuat dasbor untuk memantau kampus mengimplementasikan peraturan. Satu indikator yang digunakan apakah pihak kampus bisa melindungi mahasiswa dan civitas akademika lainnya adalah dari laporan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku.

"Mau itu dia mengeluarkan sanksi ringan, sedang, atau berat. Kalau tidak ada sanksi, tidak ada gunanya satgas itu. Itu berarti perguruan tinggi gagal melindungi mahasiswanya, melindungi dosen dan guru-gurunya," ujar Nadiem seraya menyebut perguruan tinggi memiliki persentase tertinggi, yakni 27 persen, terkait jumlah kasus kekerasan seksual di antara semua jenjang pendidikan.

 


Minim Pengetahuan

Para pembicara dalam acara StandUp Melawan Kekerasan Seksual di Kampus, di FISIP UI Depok, secara hybrid, Jumat (21/10/2022). (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Pendiri Narasi TV Najwa Shihab menyebut salah satu penyebab kekerasan seksual terus berulang di lingkungan kampus adalah karena minimnya pengetahuan mahasiswa tentang kekerasan seksual. "Mari secara sadar mengakui bahwa kita masih dalam tahap awal terkait informasi tentang kekerasan seksual," ujarnya.

Faktor berikutnya adalah banyak kampus yang tidak siap dan tiidak menyiapkan diri menghadapi isu-isu kekerasan seksual. Buktinya adalah reaksi kampus yang cenderung menutup-nutupi kasus atas nama baik kampus. Ada pula perilaku menyalahkan korban sehingga mereka merasa salah untuk berbicara. 

"Situasi di kampus unik sehingga butuh pendekatan berbeda," ujarnya. Ia pun mengapreasiasi Permendikbudristek itu bisa mengakomodasi jaminan perlindungan terhadap korban.

Hal itu juga diamini oleh Nadiem. Ia mengatakan bahwa peraturan menteri itu dibuat sebagai salah satu upaya membangkitkan kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan seksual.

"Kebanyakan laki-laki masih bersikap 'masa itu kekerasan seksual sih?' Jadi, itu perlu diedukasi," sambung dia.

 


Gunung Es

Najwa Shihab berbicara dalam acara StandUp Melawan Kekerasan Seksual di Kampus, di FISIP UI Depok, secara hybrid, Jumat (21/10/2022). (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Sementara itu, Anindya Restuviani, Co-Director DEMAND, mengatakan kasus kekerasan seksual, termasuk di kampus, seperti fenomena gunung es. Yang berani melapor hanya sedikit dari sekian banyak kasus yang terjadi, dengan berbagai alasan. Pengesahan UU TPSK dan Permendikbud itu menjadi momen yang membuat korban lebih berani bersuara.

"Korban sekarang berani laporkan kekerasan yang dialami. Bukan berarti pelakunya makin banyak, tapi lebih banyak yang berani untuk melapor," ujarnya.

Anna Margret Lumban Gaol, dosen FISIP UI, menyambung dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu erat sekali dengan persepsi. Ia menekankan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi jika ada relasi kuasa yang tidak setara. 

FISIP UI, kata dia, tidak ragu mendukung kebijakan Mendikbudristek dengan mengeluarkan peraturan dekan terkait pembentukan komite PPKS. Hal itu juga berangkat dari kepekaan dan keseriusan para mahasiswa yang mendorong dan membangun kesadaran tentang penting dan mendesaknya kasus kekerasan seksual di kampus bahwa harus direspons secara kelembagaan.

Nadiem juga menambahkan bahwa definisi kekerasan seksual bisa dipahami bila ada sesuatu yang membuat orang lain tidak nyaman. Kasus tersebut tidak hanya terbatas pada perempuan, tapi juga bisa terjadi pada laki-laki. Bila perempuan saja sulit mengakui, apalagi pada korban laki-laki.

"Kita hidup di masyarakat patriarkal. Dalam masyarakat seperti itu, dampak yang bisa dilakukan laki-laki sangat besar dan tidak perlu terjun kalau tidak mau jadi aktivis. Dalam lingkungan anda sendiri saja, monitor teman-teman anda, ingatkan teman-teman bila berkata sesuatu atau melakukan sesuatu yang bikin enggak nyaman. Kemungkinan itu masuk kategori kekerasan seksual," kata dia.

 


5 D

Suasana acara StandUp Melawan Kekerasan Seksual di Kampus, di FISIP UI Depok, secara hybrid, Jumat (21/10/2022). (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Melanie Masriel, Chief of Corporate Affairs, Engagement & Sustainability L’Oréal Paris, mengutip riset Ipsos 2022, menyebut kekerasan seksual merupakan isu nomor satu untuk perempuan di Indonesia. Delapan dari 10 wanita pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual di hidup mereka. Tapi, 90 persen di antaranya tidak mengetahui cara menghadapinya, baik sebagai korban ataupun yang melihat kejadian itu.

Karena itu, ia bekerja sama dengan DEMAND, sebuah LSM yang fokus dalam kegiatan advokasi dan pendampingan soal kekerasan seksual rutin mengedukasi publik dengan kampanye 5 D. Anindya yang akrab disapa Vivi itu menerangkan 5 D adalah cara untuk menghentikan aksi pelecehan atau kekerasan seksual di ruang publik.

"5D itu adalah dialihkan, dilaporkan, didokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan," katanya.

Ilmu itu perlu dipelajari karena banyak saksi mata memilih tidak melakukan apa-apa saat melihat kejadian itu karena berbagai alasan. Survei mereka menyebut angkanya hanya 25 persen saja. 

"Kadang untuk melakukannya menjadi beda sendiri untuk setop pelecehan tersebut, sulit banget. Butuh banyak keberanian untuk melakukan sesuatu, tapi efeknya bila teman-teman membantu, orang-orang di sekitar teman-teman merasa punya tanggung jawab yang sama," ucap dia.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya