Liputan6.com, Jakarta - Kondisi ekonomi serta politik di Inggris saat ini sedang tidak menentu. Hal ini terbukti sejak mundurnya Perdana Menteri Liz Truss yang baru menjabat selama 45 hari.
Ditambah lagi, situasi dunia internasional juga kurang mendukung untuk mengalami pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
"Inggris memang mengalami masa yang sulit pasca COVID-19, harus menguatkan adaptasinya dengan situasi pasca Brexit jadi mereka mengalami multi crisis," ujar Irma, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga kepada Liputan6.com, Sabtu (22/10/2022).
Namun, sambung Irma, Inggris secara domestik juga mengalami ujian politik, terlebih ketika masa pemerintahan Boris Johnson yang rupanya gagal diselesaikan.
Irma melanjutkan bahwa sebenarnya besar harapan masyarakat Inggris terhadap Liz Truss setelah pemerintahan Johnson, namun kemudian juga gagal dilakukan kemudian.
"Ini adalah proses adaptasi yang ekstrem bagi Inggris, apalagi terutama ketika mereka terpisah dari sekutunya Uni Eropa," sambungnya lagi.
Hal ini diperparah dengan perang Ukraina dan Rusia serta ancaman resesi ekonomi dan banyak persaingan antar negara.
"Inggris harus berjuang dalam kondisi ekonominya karena pasca Brexit, tingkat pertumbuhan ekonominya 11& di tahun 2020, lalu menurun karena COVID-19 di tahun 2021 menjadi 7,5% dan ternyata di tahun 2022 menjadi 3,9%, dan di 2023 diprediksi hanya 1,8%," katanya menjelaskan.
Lebih lanjut lagi, hal itu membuktikan bahwa Inggris tidak lagi memiliki power yang sama seperti dulu.
Sederet Masalah Ekonomi Inggris di Tengah Pengunduran Diri PM Liz Truss
Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengumumkan mengundurkan diri pada Kamis 20 Oktober 2022. PM Inggris Liz Truss baru saja diangkat dan usia jabatannya baru 45 hari.
Saat terpilih, Liz Truss menggantikan Boris Johnson yang mundur pada awal Juli 2022. Dia pun menjadi perdana menteri perempuan ketiga di Inggris setelah Theresa May dan Margaret Thatcher.
Namun, saat pengunduran dirinya, Truss meninggalkan sejumlah masalah ekonomi di Inggris, mulai dari polemik pemangkasan pajak, krisis energi dan pangan, hingga inflasi yang mencapai level tertinggi 40 tahun.
Berikut beberapa masalah ekonomi yang ditinggalkan Liz Truss menyusul pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri Inggris :
1. Polemik pemangkasan pajak
Saat masih bertugas sebagai PM Inggris, Liz Truss sempat mengumumkan pemangkasan pajak sebesar 45 miliar poundsterling dalam upaya memulihkan ekonomi Inggris.
Dalam pemangkasan itu, Inggris direncanakan menghapus pajak penghasilan tertinggi bagi masyarakat berpenghasilan tinggi dan peningkatan pinjaman pemerintah untuk memangkas harga energi bagi jutaan rumah tangga pada musim dingin.
IMF secara terbuka mengkritik rencana pemotongan pajak tersebut, memperingatkan bahwa langkah itu dapat memperburuk krisis biaya hidup.
"Sifat dari kebijakan-kebijakan Inggris kemungkinan akan menambah ketidaksetaraan," kata pihak IMF, dikutip dari BBC.
Kemudian setelah reaksi publik dan turbulensi pasar terkait langkah tersebut, rencana pemangkasan pajak ahirnya dibatalkan.
"Jelas bahwa penghapusan tarif pajak sebesar 45 persen telah menjadi gangguan dari misi utama kami untuk mengatasi tantangan yang dihadapi ekonomi kita," kata Kwarteng dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNBC International.
"Dengan demikian, saya mengumumkan bahwa kami tidak melanjutkan penghapusan tarif pajak 45 persen. Kami mengerti, dan kami telah mendengarkan," tuturnya.
Advertisement
2. Inflasi Inggris Tembus Angka Tertinggi dalam 40 Tahun
Sebelum pengumuman pengunduran diri PM Liz Truss, indeks harga konsumen atau inflasi Inggris kembali naik menjadi 10,1 persen pada September 2022, tertinggi dalam 40 tahun.
Angka tersebut diterbitkan pada Rabu oleh Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris pada Rabu (19/10/202).
Dilansir dari CNBC International, Rabu (19/10/2022) inflasi Inggris sempat berada di angka 9,9 persen di bulan Agustus 2022, turun dari 10,1 persen di bulan Juli, didukung oleh penurunan harga BBM.
ONS mengatakan bahwa kenaikan harga pangan, transportasi dan energi merupakan faktor terbesar terhadap inflasi Inggris saat ini.
Harga pangan di Inggris naik 14,6 persen year-on-year, biaya transportasi juga naik 10,9 persen dibandingkan tahun lalu, sementara harga furnitur dan barang-barang rumah tangga naik 10,8 persen.
3. Inggris Diramal Terlanda Resesi Ekonomi Terburuk di 2023
Analisis revisi dari Goldman Sachs memprediksi Inggris akan memasuki resesi yang lebih dalam dari yang diperkirakan sebelumnya pada tahun 2023 mendatang
Goldman Sachs menaikkan prospek terkait penurunan ekonomi Inggris, dalam analisis yang dirilis pada Minggu, 16 Oktober 2022.
Dilansir dari The Guardian, Goldman Sachs memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut 1 persen tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya untuk kontraksi 0,4 persen.
Bank investasi asal AS itu menyebut, salah satu faktor dari penurunan ini yaitu kenaikan pajak perusahaan menjadi 25 persen pada bulan April 2023, setelah PM Inggris Liz Truss mengaktifkan salah satu komitmen kampanye kepemimpinan Konservatif utamanya.
"Terkumpul dalam momentum pertumbuhan yang lebih lemah, kondisi keuangan yang secara signifikan lebih ketat, dan pajak perusahaan yang tinggi mulai April mendatang, kami menurunkan prospek pertumbuhan Inggris dan sekarang memperkirakan datangnya resesi yang lebih signifikan," tulis laporan terbaru Goldman Sachs.
Selain itu, analis Goldman Sachs juga memperkirakan suku bunga Inggris akan memuncak di angka 4,75 persen, sedikit lebih rendah dari 5 persen yang diperhitungkan sebelumnya.
Adapun sebuah survei lainnya yang dilakukan oleh perusahaan akuntan Deloitte, menemukan bahwa perusahaan Inggris sudah bersiap kenaikan suku bunga akan menyulitkan mereka untuk mengimbangi penurunan dan resesi selama tahun depan.
Jajak pendapat oleh Deloitte juga menemukan bahwa mayoritas direktur keuangan di Inggris sudah memperkirakan pendapatan perusahaan mereka akan turun selama 12 bulan ke depan, dan rencana untuk memotong biaya serta mengendalikan arus kas keluar telah menjadi dua prioritas utama.
Advertisement
4. Krisis Biaya Hidup Membuat Sejumlah Pelajar Sekolah di Inggris Terpaksa Makan Karet
Inggris juga sempat dilaporkan mengalami krisis ekonomi yang memilukan hingga membuat anak-anak kelaparan di sekolah.
Kepala sekolah dan badan amal bantuan makanan mengatakan mereka berjuang untuk mengatasi meningkatnya permintaan dari keluarga yang tidak mampu membeli makanan.
Dikutip dari The Guardian, para kepala sekolah mengatakan bahwa pemerintah membiarkan sekolah-sekolah menghadapi krisis yang semakin meningkat - sebuah pesan yang diperkuat survei baru tentang kemiskinan pangan di sekolah, yang akan diterbitkan bulan depan oleh Chefs in Schools, sebuah badan amal makan sehat yang melatih koki untuk dapur sekolah.
Survei ini mengungkapkan bahwa banyak sekolah di Inggris sudah melihat peningkatan yang memilukan pada anak-anak yang kelaparan, bahkan sebelum musim dingin dan tagihan energi yang besar memaksa lebih banyak keluarga untuk memilih untuk menyalakan pemanas ruangan dan membeli makanan.
Salah satu sekolah di Lewisham, London Tenggara, mengatakan kepada badan amal tentang seorang anak yang "berpura-pura makan dari kotak makan siang yang kosong". Mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan makanan sekolah gratis dan tidak ingin teman-temannya tahu bahwa tidak ada makanan di rumah.
Kelompok bantuan makanan masyarakat juga mengatakan kepada Observer minggu ini bahwa mereka berjuang untuk mengatasi permintaan baru dari keluarga yang tidak dapat memberi makan anak-anak mereka.
"Kami mendengar tentang anak-anak yang sangat lapar sehingga mereka makan karet di sekolah," ujar Naomi Duncan, kepala eksekutif Chefs in Schools.
"Anak-anak datang ke sekolah karena belum makan apa pun sejak makan siang sehari sebelumnya. Pemerintah harus melakukan sesuatu." tambahnya.