Liputan6.com, Jakarta - Banjir jadi salah satu momok di banyak daerah saat musim hujan. Air dari langit yang semestinya jadi cadangan di musim kemarau, tak mampu diserap tanah lantaran banyak faktor.
Untuk itu, dua organisasi, yakni Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB) dan Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE), berkolaborasi meluncurkan proyek Semarang Berdaya. Program itu bertujuan mengurangi risiko banjir sekaligus meningkatkan cadangan air tanah di Semarang.
Baca Juga
Advertisement
Pada tahap awal, program difokuskan di Kelurahan Meteseh, Semarang, yang dihuni sekitar 24.195 orang, lantaran area itu termasuk salah satu yang paling rawan terkena banjir. Pada 2021 saja, banjir menimpa sejumlah perumahan di kawasan tersebut berulang kali hingga membawa kerugian sosial ekonomi kepada lebih dari 100 jiwa di tiap kasus. Pemicunya beragam, seperti alih fungsi lahan, krisis iklim, fenomena geografi, dan perilaku masyarakat.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang Budi Prakoso mengaku sejumlah upaya sudah dilakukan untuk mengatasi masalah banjir tersebut, seperti pembangunan tanggul, polder, pompa, dan bendungan. Tapi, itu dinilai belum cukup.
"Kami masih membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat dan memperluas dampak di Kota Semarang," ujarnya, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Kamis, 20 Oktober 2022.
Dua solusi utama ditawarkan untuk mengatasi masalah banjir di Meteseh, Semarang. Salah satunya adalah penerapan teknologi zero run-off (nol terbuang), yakni instalasi terintegrasi antara PoreBlock (paving block berpori) dan sumur resapan, yang relatif sederhana dan mudah diaplikasikan. Teknologi tersebut sebelumnya sudah pernah diterapkan di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Manfaat Ganda
"PoreBlock buatan kami memiliki laju infiltrasi 100 kali lebih cepat dibandingkan paving block konvensional," ujar Anisa Azizah, perwakilan CCE Semarang, menjelaskan.
Paving block itu lalu diintegrasikan dengan sumur resapan. Kombinasi keduanya bisa memperluas tangkapan air dan menyerap air lebih cepat, dibandingkan bila dua komponen ini berjalan sendiri-sendiri.
"Dengan demikian, solusi yang dibangun di 18 titik dengan total luas permukaan 1.500 m2 ini akan mengurangi limpasan air sebanyak 39 ribu liter per tahun dan menjadikan air tersebut sebagai cadangan air tanah," sambung Anisa.
Sub Koordinator Operasi dan Pemeliharaan Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang Mochamad Hisam Ashari menyatakan solusi itu sejalan dengan agenda pemerintah. "Saat ini kami berusaha mengembalikan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH), membangun embung penampungan dan kolam retensi, serta terus mencari cara agar genangan air akibat hujan maupun limpasan dapat surut lebih cepat," ujarnya.
"Kami melihat masyarakat di Meteseh dan area lain di Semarang membutuhkan solusi yang bisa berdampak lebih cepat dan lebih luas. Inilah yang menjadi alasan YABB dan CCE hadir di Meteseh, membawa inovasi yang mudah diaplikasikan dan direplikasi sehingga bisa mencegah banjir," imbuh Monica Oudang, Chairwoman Yayasan Anak Bangsa Bisa.
Advertisement
Edukasi Masyarakat
Tak cukup hanya infrastruktur, program tersebut juga memasukkan partisipasi aktif masyarakat sebagai elemen kunci. Untuk itu, mereka juga mengedukasi masyarakat dengan tujuan meningkatkan pemahaman masyarakat akan penyebab bencana sekaligus memahami cara penanggulangannya.
Annisa mengatakan edukasi itu saat ini diberikan kepada 150 keluarga dan diharapkan mereka bisa menularkan pengetahuan itu kepada masyarakat yang lebih luas.
"Kami juga akan menyosialisasikan teknologi zero run-off untuk membangun antusiasme masyarakat mereplikasi solusi ini melalui pameran yang ditargetkan mampu menjangkau 700 orang di Hari Air Sedunia 2023," ucapnya.
Kepala Laboratorium Geografi dan Sekretaris Pusat Studi Bencana Universitas Negeri Semarang, Ananto Aji menyebut masyarakat yang teredukasi bisa membantu mencegah banjir dan terhindar dari kerugian akibat banjir. Bila makin banyak masyarakat yang berubah pola pikirnya, efek positifnya diharapkan semakin baik, khususnya dalam meningkatkan sumber air bersih.
"Semakin banyak teknologi zero run-off diimplementasikan, akan semakin luas area yang bisa mempercepat penyerapan air ke dalam tanah sehingga risiko banjir dapat berkurang. Alhasil, akan semakin banyak masyarakat yang dapat terhindar dari bencana hidrometeorologi dan bisa menjalankan aktivitas yang produktif sepanjang tahun," imbuh Monica.
Layanan Air Bersih
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyatakan bahwa Semarang bersama Jakarta termasuk kota besar yang mengalami masalah penurunan muka tanah yang signifikan lantaran penggunaan air tanah berlebihan. Peraturan sudah melarang masyarakat menggunakan air tanah tersebut, tetapi hal itu tidak bisa dicegah lantaran masih sedikit warga yang memiliki akses ke perpipaan air bersih.
"Bila PDAM bisa menjangkau masyarakat, maka tidak akan ada lagi masyarakat yang menggunakan air tanah," ujar Wirjoatmodjo di acara SOE International Conference di Bali, dikutip dari Antara, Senin (24/10/2022).
Sementara, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut hanya 23 persen masyarakat Indonesia yang mendapatkan akses ke perpipaan air bersih. Sebagian masyarakat Indonesia lainnya masih menghadapi tantangan ketimpangan harga air bersih dengan rentang harga Rp 65.000 hingga Rp 140.000 per meter kubik.
Untuk itu, pemerintah meluncurkan program Indonesia Water Fund (IWF). Program itu merupakan platform untuk mendukung percepatan investasi penyediaan sambungan air bersih ke rumah-rumah yang di tahap awal akan mengelola sekitar 1 miliar dolar AS untuk meningkatkan akses air bersih bagi 40 juta penduduk Indonesia.
Advertisement