Check In Hotel Belum Nikah Bakal Terancam Pidana, Pengusaha Protes

Pengusaha Hotel meminta RUU KUHP khususnya dalam pasal perzinahan terkait ancaman hukuman pidana bagi mereka yang belum menikah namun melakukan check in di hotel, didiskusikan kembali.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Okt 2022, 09:30 WIB
Ilustrasi kamar hotel. (dok. pexels.com/Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha Hotel memprotes aturan yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) khususnya dalam pasal perzinahan terkait ancaman hukuman pidana bagi mereka yang belum menikah namun melakukan check in di hotel.

Ketua DPP Perhimpunan Hotel dan Restoran Indoneisa (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono pun meminta agar aturan ini didiskusikan kembali.

"Kita berharap pasal mengenai itu dibicarakan ulang," kata kepada Liputan6.com, Senin (24/10/2022).

Lebih lanjut, dia menilai kebijakan tersebut sangat kontradiktif dengan sektor pariwisata, dan membuat turis asing enggan datang ke Indonesia.

"Pasal itu termasuk pasal aduan, jadi ketika ada yang mengadu baru berlaku. Tetapi bagi turis asing, dimana kalau bukan hubungan resmi akan dikenakan pidana. Tidak mungkin mereka mempelajari secara detail dari aturan tersebut," jelasnya.

Tentu turis itu tidak mau mengambil resiko, alhasil turis tersebut memilih liburan ke negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya. Secara tidak langsung pasal itu akan merugikan kepentingan nasional karena masalah devisa.

Tak hanya itu saja, apabila wisatawan asing enggan datang ke Indonesia maka dampaknya bisa meluas, baik ke sektor pariwisata, hingga angkutan. Sebab, pariwisata itu berhubungan erat dengan sektor lainnya, seperti perdagangan kerajinan, hotel, restoran, dan sebagainya. 

"Kau wisatawannya pada mundur ya pengaruhnya kemana-mana, perdagangan dan pengangkutan jadi mundur. Angkutan udara terkena, darat juga, pemerintah juga kehilangan pajak," ujarnya.

Disisi lain, pihaknya menilai soal perzinahan sebenarnya adalah ranah privat yang sudah bisa diatur berdasarkan hukum adat daerah masing-masing, norma agama, dan norma moral. Artinya, Pemerintah tidak perlu sampai mempidanakan, harus ada aduan dahulu.

"Nah, itu yang kita lihat sebenarnya itu kan ranah private bukan ranah publik. Sarana private itu kan sudah ada rambu-rambu moral, agama, adat istiadat untuk mengendalikan kepentingan Indonesia, sehingga kita berharap pasal mengenai itu di bicarakan ulang," pungkasnya.


Check In Hotel Belum Nikah Bakal Kena Pidana, PHRI: Bikin Turis Asing Ogah ke Indonesia

Ilustrasi hotel (dok.unsplash/ reisetopia)

Sebelumnya, pengusaha hotel menyoroti aturan yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) khususnya dalam pasal perzinahan terkait ancaman hukuman pidana bagi mereka yang belum menikah namun melakukan check in di hotel. Pengusaha menganggap hal tersebut kontraproduktif dengan sektor pariwisata.

Ketua DPP Perhimpunan Hotel dan Restoran Indoneisa (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono, menilai adanya kebijakan itu bahkan bisa membuat turis asing enggan datang ke Indonesia.

"Pasal itu termasuk pasal aduan, jadi ketika ada yang mengadu baru berlaku. Tetapi bagi turis asing, dimana kalau bukan hubungan resmi akan dikenakan pidana. Tidak mungkin mereka mempelajari secara detail dari aturan tersebut," kata Sutrisno kepada Liputan6.com, Minggu (23/10/2022).

Sementara turis itu tidak mau mengambil resiko, alhasil turis tersebut memilih liburan ke negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya. Artinya, ini akan merugikan kepentingan nasional karena masalah devisa.

"Pariwisata kan hubungannya dengan devisa," imbuhnya.

Menurutnya, dalam hal perzinahan sebetulnya adalah ranah privat yang sudah bisa diatur berdasarkan hukum adat daerah masing-masing, norma agama, dan norma moral. Artinya, Pemerintah tidak perlu sampai mempidanakan, harus ada aduan dahulu.

"Nah, itu yang kita lihat sebenarnya itu kan ranah private bukan ranah publik. Sarana private itu kan sudah ada rambu-rambu moral, agama, adat istiadat untuk mengendalikan kepentingan Indonesia, sehingga kita berharap pasal mengenai itu di bicarakan ulang," ujarnya.


Dampak ke Pariwisata

Ilustrasi tempat tidur hotel. (dok. Unsplash.com/Nik Lanús @niklanus)

Kata dia, jika wisatawan asing tidak ke Indonesia maka dampaknya ke pariwisata. Dimana pariwisata itu berhubungan erat dengan sektor lainnya, seperti perdagangan kerajinan, hotel, restoran, dan sebagainya.

"Kau wisatawannya pada mundur ya pengaruhnya kemana-mana, perdagangan dan pengangkutan jadi mundur. Angkutan udara terkena, darat juga, pemerintah juga kehilangan pajak," ujarnya.

Oleh karena itu, PHRI meminta agar kebijakan tersebut didiskusikan kembali untuk menimbang dampak yang dirasakan jika aturan itu benar-benar diterapkan.

"Kita berharap pasal mengenai itu dibicarakan ulang," pungkasnya.


Kejagung Sebut RUU KUHP Telah Final Disusun Sebagai Pengganti Aturan Belanda

Mural bertulis 'Menolak RKUHP Bukan Menunda' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah final disusun sebagai pengganti dari Wetboek van Strafrecht peninggalan Belanda yang telah berlaku sejak tahun 1918 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Hal ini dikatakan, dalam Dialog Publik Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang diselenggarakan di Hotel Truntum, Sumatera Barat.

"KUHP peninggalan Belanda telah dipergunakan oleh bangsa Indonesia, dalam penegakan hukum sebagai pengisi kekosongan hukum pidana materiil, sekalipun Pemerintah secara resmi belum pernah menetapkan terjemahan resmi dari KUHP tersebut," kata Fadil, Selasa (27/9/2022).

"Sehingga, seringkali ditemukan adanya ketidakeseragaman istilah yang dipergunakan para penegak hukum, khususnya pada saat dilakukan pembahasan unsur-unsur tindak pidana dalam rangka pembuktian," sambungnya.

Ia menyebut, KUHP peninggalan Belanda ini hanya menitikberatkan pada penerapan asas legalitas secara kaku yang memiliki kecederungan punitive yaitu menghukum pelaku tanpa memberikan alternatif lain bagi pelaku kejahatan.

"Sehingga, tidak sesuai lagi dengan perkembangan tujuan penegakan hukum saat ini yang lebih menitikberatkan untuk mewujudkan keadilan yang bersifat Korektif-Rehabilitatif-Restoratif. Sehingga, bertentangan dengan nilai-nilai keadilan bangsa Indonesia yang lebih menitik beratkan pada pemulihan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat untum menjaga keseimbangan kosmis," sebutnya.

Menurutnya, sekalipun dalam perkembangan penegakan hukum di Indonesia telah diundangkan beberapa Peraturan Perundang-Undangan hukum pidana yang lebih mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Tetapi, ketentuan Undang-Undang tersebut hanya mengatur tindak pidana tertentu yang spesifik saja dan belum menyentuh substansi penegakan hukum yang sesungguhnya.  


Pidana Pokok Diperluas

Dialog publik bertajuk revisi RUU-KUHP yang diselenggarakan oleh Kantor Staff Presiden (KSP) pada rabu 7 september 2022 di Grand Pullman Hotel Bandung, Jawa Barat. Foto: KND.

Karena menurutnya hampir seluruh tindak pidana yang terjadi penegakan hukumnya tunduk pada aturan KUHP. Sehingga sudah seharusnyalah Indonesia memiliki KUHP Nasional sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang arif, dengan mengutamakan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat.

"Beberapa hal baru yang telah diatur dalam RKUHP antara lain adalah RKUHP ini telah menerapkan keseimbangan antara hukum dan keadilan yang telah disesuaikan dengan tujuan pemidanaan saat ini yang lebih mengutamakan penjatuhan pidana denda dibandingkan dengan perampasan kemerdekaan, dan telah menerapkan double track system berupa pidana dan tindakan," ujarnya.

"Pidana pokok juga telah diperluas dengan adanya penambahan jenis pidana pengawasan dan kerja sosial, sehingga Hakim dan Jaksa dapat lebih leluasa untuk menerapkan sanksi pidana sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat," tambahnya.

Fadil menjelaskan, RKUHP juga telah memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat sebagai pelaksanaan dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Pasal 601 RKUHP menetapkan pemenuhan kewajiban adat dianggap sebanding dengan Pidana Denda Katagori II (sepuluh juta rupiah), dan terhadap terpidana dapat dikenakan pidana ganti rugi apabila kewajiban adat setempat tidak dijalani (vide Pasal 96 RKUHP).

  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya