Liputan6.com, Jakarta - China akhirnya melaporkan angka terbaru pertumbuhan ekonominya di kuartal ketiga 2022. Angka tersebut melampaui perkiraan analis, ketika negara ekonomi terbesar di dunia itu menunda perilisan data terbaru PDB pada 17 Oktober.
Penundaan itu terjadi ketika Partai Komunis China mengadakan Kongres Nasional ke-20 dari 16 Oktober hingga 22 Oktober.
Advertisement
Dilansir dari CNBC International, Senin (24/10/2022) China melaporkan PDB kuartal ketiga-nya tumbuh 3,9 persen year-on-year, menandai kenaikan dari 0,4 persen pada kuartal kedua. Namun, angka itu masih jauh di bawah target resmi sekitar 5,5 persen.
Analis yang disurvei oleh kantor berita Reuters sebelum 18 Oktober memperkirakan China akan melaporkan pertumbuhan PDB sebesar 3,4 persen untuk kuartal ketiga.
Diketahui bahwa kebijakan Covid-19 yang ketat pada aktivitas bisnis, terutama pada kuartal kedua tahun ini, telah membebani ekonomi China dan mendorong banyak bank investasi untuk memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China dalam setahun penuh menjadi sekitar 3 persen.
Penjualan ritel China tumbuh 2,5 persen pada September dari tahun lalu, tetapi melambat dari Agustus serta meleset dari ekspektasi 3,3 persen menurut jajak pendapat.
Adapun produksi industri China yang naik 6,3 persen, investasi aset tetap naik 5,9 persen, sedangkan investasi di real estat turun 8 persen, dan lebih besar dari penurunan 7,4 persen year-on-year yang tercatat selama delapan bulan pertama tahun ini.
Investasi di bidang infrastruktur juga meningkat hingga 8,6 persen pada September 2022, dari 8,3 persen pada Agustus.
Sementara itu, terjadi kenaikan tingkat pengangguran di kawasan perkotaan China hingga 5,5 persen pada September 2022. Kasus ini sebagian besar dialami oleh masyarakat muda berusia 16 hingga 24 tahun sebesar 17,9 persen.
5 Penyebab Ekonomi China Melambat, Mulai dari Covid-19 hingga Perubahan Iklim
Ekonomi China mengalami perlambatan ketika kebijakan nol-Covid-19 belum menunjukkan pelonggaran, mendorong penurunan permintaan global. Kekhawatiran resesi global pun semakin meningkat, jika negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu berkontraksi.
China mungkin tidak sedang berjuang meredam inflasi yang tajam seperti AS dan Inggris, tetapi negara itu juga menghadapi masalah lain, salah satunya penutupan pabrik karena pembatasan Covid-19, membuat permintaan konsumen baik di dalam negeri maupun internasional terhambat.
Berikut adalah faktor-faktor yang mendorong perlambatan pada ekonomi China, seperti dilansir dari laman BBC, Rabu (5/10/2022) :
1. Kebijakan nol-Covid-19
Wabah baru Covid-19 di beberapa kota di China, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin, telah mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai industri negara itu.
Karena ketatnya kebijakan nol-Covid-19, masyarakat juga tidak bisa melakukan pengeluaran untuk makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, menempatkan layanan utama di bawah tekanan.
Sementara di sektor manufaktur, aktivitas pabrik di China tampaknya sudah naik kembali pada September 2022, menurut Biro Statistik Nasional China.
Rebound bisa jadi karena pemerintah lebih banyak melakukan belanja infrastruktur.
"Tak akan ada manfaat dari memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau masyarakat tidak dapat membelanjakan uangnya," ujar Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings.
2. Masih diperlukan lebih banyak bantuan pemerintah
Beijing pada bulan Agustus mengumumkan rencana pengeluaran dana bantuan senilai 1 triliun yuan untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur dan real estat.
Tetapi ekonom S&P Global Ratings menilai China bisa mengeluarkan lebih banyak upaya memicu pengeluaran untuk memenuhi target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.
Hal ini termasuk lebih banyak berinvestasi di infrastruktur, meringankan persyaratan pinjaman untuk pembeli rumah, pengembang properti dan pemerintah daerah, dan keringanan pajak untuk rumah tangga.
"Respon pemerintah terhadap pelemahan ekonomi cukup sederhana dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama pelemahan ekonomi sebelumnya," kata Kuijs.
Advertisement
3. Pasar Properti China dalam Krisis
Lemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Masalah ini telah memukul ekonomi dengan keras karena properti dan industri lain yang berkontribusi menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.
"Ketika kepercayaan lemah di pasar perumahan, HAL itu membuat orang merasa tidak yakin tentang situasi ekonomi secara keseluruhan," kata Kuijs.
Pembeli rumah di China telah menolak untuk melakukan pembayaran hipotek pada bangunan yang belum selesai dan beberapa mengungkapkan ragu pembangunan rumah mereka akan selesai.
Permintaan untuk rumah baru juga menurun dan telah mengurangi kebutuhan impor komoditas yang digunakan dalam konstruksi.
Terlepas dari upaya Beijing untuk menopang pasar real estat, harga rumah di puluhan kota di China juga menurun lebih dari 20 persen tahun ini.
4. Perubahan Iklim
Cuaca ekstrem mulai menimbulkan dampak jangka panjang pada industri di China.
Gelombang panas yang parah, diikuti oleh kekeringan, melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing pada Agustus 2022.
Permintaan AC yang melonjak mendorong jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air.
Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti pembuat iPhone Foxconn dan Tesla, pun terpaksa memangkas jam kerja atau bahkan tutup.
Biro Statistik China mengatakan pada Agustus 2022 bahwa keuntungan di industri besi dan baja turun lebih dari 80 persen dalam tujuh bulan pertama tahun 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Masalah ini mendorong pemerintah China mengeluarkan dana hingga puluhan miliar dolar untuk mendukung perusahaan energi dan petani.
Advertisement
5. Raksasa Teknologi China Kehilangan Investor
Regulasi terhadap raksasa teknologi China, yang telah berlangsung dua tahun mendorong penurunan pada sektor tersebut.
Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir - laba Tencent turun 50 persen, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.
Puluhan ribu pekerja muda juga kehilangan pekerjaan, hal ini menambah krisis pekerjaan di mana satu dari lima orang berusia 16 hingga 24 tahun dalam kondisi pengangguran.
Softbank Jepang telah menarik sejumlah besar uang tunai mereka dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway dari Warren Buffet juga menjual sahamnya di pembuat kendaraan listrik BYD.
Tencent juga menarik investasi senilai lebih dari USD 7 miliar pada paruh kedua tahun ini.
"Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain," kata S&P Global Ratings dalam catatan baru-baru ini.