Undang-Undang Donasi Sperma di Jepang Picu Kontroversi

Undang-undang baru di Jepang secara efektif melarang donasi sperma untuk pasangan lesbian dan perempuan lajang.

oleh Putu Elmira diperbarui 24 Okt 2022, 13:01 WIB
Ilustrasi bayi. (dok. Unsplash.com/Alex Pasarelu/@bellefoto)

Liputan6.com, Jakarta - Selama beberapa dekade, donasi sperma anonim telah ada di zona abu-abu hukum di Jepang. Tanpa undang-undang yang secara eksplisit melarangnya, tetapi juga tidak ada kerangka kerja untuk mengaturnya.

Dikutip dari AFP, Senin (24/10/2022), undang-undang yang diharapkan hadir tahun ini akan mengatur prosedur donasi sperma, termasuk melindungi hak anak untuk mengetahui orangtua kandungnya dan membatasi penerima dari donor tunggal. Tetapi rancangan yang menunjukkan undang-undang tersebut hanya akan mengizinkan proses untuk pasangan yang menikah secara sah, kebanyakan mereka yang terkena infertilitas pria.

Jepang tidak mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga pasangan lesbian dan perempuan lajang akan dikecualikan. Pasangan sesama jenis Satoko Nagamura dan Mamiko Moda memiliki putra dengan sperma yang disumbangkan.

Bagi Nagamura, rancangan itu "sama saja dengan merampok perempuan, baik pasangan sesama jenis atau lajang, hak reproduksi mereka, dan keinginan mereka untuk melahirkan dan membesarkan anak".

Selama hampir dua dekade, perempuan berusia 39 tahun itu bermimpi menjadi seorang ibu. Ia juga sangat menginginkan untuk melahirkan dengan tubuhnya.

Ia dan pasangannya awalnya mempertimbangkan bank sperma di luar negeri, sebelum beralih ke teman laki-laki, didorong oleh kesediaannya untuk memiliki hubungan dengan calon anak. Mereka kini adalah orangtua dari seorang putra berusia 10 bulan.

Institusi yang menawarkan donasi sperma dan inseminasi umumnya mengikuti pedoman dari Japan Society of Obstetrics and Gynecology (JSOG). Pedoman di Jepang ini yang menjadi dasar undang-undang baru yang membatasi proses tersebut untuk pasangan yang sudah menikah.


Kekhawatiran Pasangan Lesbian

ilustrasi pasangan/Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Pedoman JSOG tidak mengikat, tetapi sudah cukup berat sehingga hanya segelintir dokter yang menentangnya untuk mengakomodasi lesbian dan perempuan lajang. Jika undang-undang itu diberlakukan, "beberapa rumah sakit yang menerima kami tidak akan bisa lagi menerimanya", kata Nagamura.

"Ada perbedaan besar antara hanya melanggar pedoman dan melakukan sesuatu yang ilegal", tambah Moda.

Pasangan itu juga khawatir undang-undang baru itu bisa berarti anak mereka, yang dikandung melalui inseminasi buatan menggunakan donor sperma, dapat distigmatisasi. "Meskipun cara kami hamil pada saat itu tidak ilegal, kesan bahwa kami melakukan sesuatu yang salah, bahwa anak ini entah bagaimana 'ilegal', bisa muncul jika hukum melihatnya," kata Moda.

Kozo Akino, anggota parlemen koalisi yang terlibat dalam penyusunan undang-undang, berpendapat bahwa hak-hak anak paling mudah dilindungi oleh "orangtua yang menikah secara sah dengan hak asuh bersama". "Teknologi reproduksi berbantuan tidak boleh dikejar dengan mengorbankan kesejahteraan anak-anak," katanya kepada AFP.


Donor Sperma

Ilustrasi bayi di atas stroller/copyright unsplash.com/Humprey Muleba

Beberapa dokter berpikir undang-undang tersebut dapat membantu membuat pengobatan yang tidak diatur lebih diterima secara sosial, meskipun terbatas pada pasangan menikah heteroseksual. "Harapan saya adalah bahwa dengan hukum, pengobatan kami akan terlihat lebih sah dan menjadi arus utama," kata Mamoru Tanaka, seorang profesor kebidanan Keio University Hospital, Tokyo.

Keio dianggap sebagai institusi medis pertama di Jepang yang melakukan inseminasi donor pada 1948. Namun, pihaknya tidak lagi menerima pasien baru karena kekurangan donor yang mengikuti perubahan kebijakan internal.

Sejak 2017, telah memperingatkan donor bahwa anonimitas mereka dapat diabaikan jika anak-anak dikandung dari sperma mereka mengajukan tuntutan hukum. Kekurangan pemohon yang dihasilkan berarti hanya dilakukan 481 prosedur untuk pasien yang ada pada 2019, turun dari 1.952 pada 2016.

Pasien "semoga dapat memperoleh manfaat dari (kerangka hukum), tetapi lebih mudah diucapkan daripada dilakukan", kata Tanaka. "Ada kemungkinan bahwa lebih banyak orang akan didorong ke underground, dan dalam pengertian itu, ini adalah pedang bermata dua," katanya kepada AFP.

Beberapa perempuan dan pasangan beralih ke donor sperma yang tidak diperiksa untuk menghindari kerumitan dan pembatasan sistem yang ada. Pencarian Twitter menemukan ratusan akun yang menggembar-gemborkan ketampanan, gelar sarjana, dan bakat atletik dari calon donor, yang biasanya menawarkan kepada penerima baik cangkir air mani untuk inseminasi sendiri, atau pembuahan melalui hubungan seksual.


Pengakuan

ilustrasi pasangan/copyright Unsplash/Alvin Mahmudov

Banyak yang tidak mengharapkan pembayaran di luar biaya transportasi, yang telah membantu memicu perdebatan tentang motif mereka, termasuk klaim bahwa mereka hanya mengejar seks. Seorang pria yang mengiklankan layanannya secara online mengatakan kepada AFP bahwa dia menganggapnya seperti mendonorkan darah.

"Saya kebetulan memiliki tubuh yang sehat, jadi mengapa tidak memanfaatkannya dengan baik?" kata ilustrator lepas berusia 34 tahun, yang menolak disebutkan namanya.

Istri pria itu, seorang dokter berusia 32 tahun, mengatakan kepada AFP bahwa dia mendukung sumbangan suaminya. Sebagian karena sebagai seorang biseksual dia ingin membantu orang lain di komunitas LGBTQ untuk hamil.

Tetapi donasi sperma media sosial menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan dalam hal memverifikasi profil donor. Nagamura khawatir bahwa sumbangan berisiko ini hanya akan menjadi lebih umum jika undang-undang mengecualikan perempuan lajang dan lesbian.

"Akan ada orang-orang yang melakukan apa pun untuk memiliki anak," katanya. "Tidak semudah itu, menyerah melahirkan."

Infografis 5 Tips Ajarkan Anak Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya