Liputan6.com, Malang - Devi Athok Yulfitri, orang tua dua korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan siap melanjutkan rencana autopsi. Sikap itu disampaikan usai bertemu perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Devi Athok pada 10 Oktober telah menandatangi persetujuan autopsi jenasah dua mendiang putrinya. Tapi pada 17 Oktober ia mencabut surat itu dan membatalkan autopsi korban tragedi Kanjuruhan karena merasa ada intimidasi dari anggota kepolisian.
Advertisement
“Iya, saya siap (melanjutkan rencana autopsi),” kata Devi Athok usai bertemu perwakilan LPSK di Polres Malang, Senin, 24 Oktober 2022.
Devi Athok Yulfitri, warga Desa Krebet Senggrong, Bululawang, Malang, kehilangan dua putrinya yakni Natasya Deby Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Deby Anggraeni, 13 tahun, yang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan.
Imam Hidayat, selaku kuasa hukum dari Devi Athok, mengatakan rencana autopsi besar kemungkinan dilanjutkan setelah LPSK dalam pertemuan itu memberikan jaminan keamanan kepada keluarga mendiang.
“Iya, kayaknya lanjut autopsi, sudah menyatakan oke,” kata Imam yang turut mendampingi keluarga korban bertemu LPSK.
Ia menjelaskan, LPSK telah memberikan jaminan keamanan kepada keluarga korban. Meski begitu, diskusi belum sampai pada tahap jenis pengamanan yang akan diberikan. Apakah itu ditempatkan di safe house atau rumah keluarga langsung di bawah pengawasan tim LSPK.
“Jaminan keamanan nanti akan diberikan menyesuaikan kebutuhan dan yang penting pihak keluarga nyaman,” ujar Imam.
Selain itu, jadwal ulang rencana autopsi juga belum disampaikan secara langsung ke pihak manapun. Baik itu ke penyidik tragedi Kanjuruhan dari unsur kepolisian, Komnas HAM maupun Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) lewat Kemenko Polhukam.
“Belum ada perwakilan yang menghubungi kami lagi. Nanti akan disampaikan langsung pihak keluarga, bisa saja lewat media,” kata Imam.
Bukti Penyidikan Tragedi Kanjuruhan
Autopsi jenasah terhadap dua jenasah putri Devi Athok diharapkan bisa menjadi bukti bahwa korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan itu akibat tembakan gas air mata aparat. Itu sejalan dengan temuan Komnas HAM dan TGIPF.
Imam Hidayat menjelaskan, autopsi bisa dijadikan bukti penyidikan maupun persidangan. Kalau pun persidangan ternyata selesai, hasil autopsi itu bisa jadi novum baru untuk membuka kembali peradilan kasus itu. Prinsipnya, membuktikan gas air mata penyebab korban meninggal dunia.
“Idealnya autopsi untuk mendukung penyidikan. Tapi kan rencana autopsi sebelumnya sempat batal karena ada intimidasi halus,” ucap Imam.
Pihak keluarga korban saat menerima kedatangan Deputi V Kemenko Polhukam, Irjen Pol Armed Wijaya menyatakan siap melanjutkan rencana autopsi dengan sejumlah syarat. Sebab secara prinsip ayah kedua korban tidak masalah ada autopsi.
Syarat itu yakni jaminan keamanan terhadap keluarga korban dan tidak boleh satu pun personel polisi datang ke rumah duka. Proses autopsi harus melibatkan ahli forensik independen. Lalu autopsi harus dilakukan di mana jenasah dimakamkan dan paling lama 4 jam setelah itu dimakamkan lagi.
Tragedi Kanjuruhan telah merenggut 135 korban jiwa dan ratusan orang luka baik kategori berat, sedang maupun ringan. Peristiwa maut tersebut tidak hanya menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban, tapi juga menyebakan trauma ke banyak orang.
Advertisement