Selain 156, Sampai Kapan Obat Sirup Tidak Boleh Dikonsumsi? Ini Jawaban Kemenkes

Obat sirup masih tidak boleh digunakan sampai hasil penelitian terkait gagal ginjal akut keluar.

oleh Diviya Agatha diperbarui 25 Okt 2022, 20:00 WIB
Pegawai membawa sejumlah obat sirup yang mengandung paracetamol di Apotek Prima Husada, Cinere, Depok, Jawa Barat, Kamis (20/10/2022). Kementerian Kesehatan menginstruksikan seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dalam bentuk sirup anak kepada masyarakat akibat adanya lebih dari 200 kasus gangguan ginjal akut misterius yang menyerang anak di Indonesia. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang sudah membolehkan tenaga kesehatan meresepkan 156 obat sirup yang aman serta 12 obat yang sulit digantikan untuk penyakit tertentu. Namun, di luar itu penggunaan obat sirup masih tidak dianjurkan. Hal ini merespons imbauan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terkait kasus gagal ginjal akut yang terjadi belakangan.

Tak sedikit yang akhirnya bertanya-tanya, sampai kapan obat sirup tidak boleh dijual maupun dikonsumsi? Menurut Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril, penghentian tersebut tentunya hanya bersifat sementara.

"Larangan ini bersifat sementara. Sementara dalam arti kata sambil menunggu hasil penelitian selesai. Nah untuk waktunya, ada yang kemarin sudah diumumkan 156. Berarti kan bertahap digunakan," ujar Syahril dalam konferensi pers Perkembangan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia, Selasa (25/10/2022).

"Mudah-mudahan tidak sampai lama larangan ini bisa kita cabut, dan memang kita kembali ke normal lagi. Setelah hasil penelitian Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selesai," tambahnya.

Syahril menjelaskan, BPOM yang memiliki wewenang untuk mengumumkan hasil temuan dari penelitian yang berlangsung. Termasuk obat-obat apa saja yang dilarang dan boleh digunakan kembali nantinya.

Terlebih menurut Syahril, tidak ada kompensasi apapun yang akan diberikan pada pihak farmasi seperti toko obat atau apotek terkait pelarangan obat sirup.

"Kompensasi sebagai bangsa dan warga negara yang baik, kita ikuti aturan. Ini adalah masalah bersama, tentu saja pemerintah tidak akan memberikan kompensasi karena ini keadaan yang memang harus kita tanggung bersama," kata Syahril.


Total Kasus Gagal Ginjal Akut

Ilustrasi Gejala Penyakit Gagal Ginjal Credit: pexels.com/Anna

Data yang dihimpun Kemenkes RI menunjukkan sejauh ini ada 255 anak yang mengalami gagal ginjak akut atipikal progresif.

Syahril menyebutkan bahwa penambahan kasus gagal ginjal akut dilaporkan oleh 26 provinsi. Selain itu, angka kematian dari kasus gagal ginjal akut pun ikut bertambah.

"Perkembangan kasus gagal ginjal akut per 24 Oktober terdapat 255 kasus, yang berasal dari 26 provinsi. Dan yang meninggal sebanyak 143 atau angka kematiannya 56 persen," ujar Syahril.

Syahril menjelaskan, penambahan tersebut sebenarnya bukan merupakan kasus gagal ginjal akut baru. Melainkan kasus yang baru saja dilaporkan dan datanya baru ikut dimasukkan dalam daftar.

"Ini adalah kasus yang lama terlambat dilaporkan, yang terjadi pada bulan September dan awal Oktober 2022. Jadi bukan kasus baru," kata Syahril.


Tidak Ada Penambahan Kasus di RSCM Jakarta

ilustrasi anak sakit/copyright Rawpixel

Berdasarkan imbauan yang telah dikeluarkan sebelumnya terkait pembatasan obat sirup untuk anak, Syahril menyebutkan bahwa efeknya terjadi pada tidak munculnya penambahan kasus baru.

Begitupun yang terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai rumah sakit rujukan, tidak ada penambahan kasus gagal ginjal akut baru sejak tanggal 22 Oktober 2022.

"Kasus gagal ginjal ini terjadi setiap tahunnya. Namun demikian jumlahnya sangat kecil yaitu 1-2 kasus setiap bulan. Kasus gagal ginjal baru menjadi perhatian pemerintah setelah terjadi lonjakan pada akhir bulan Agustus dengan jumlah kasus lebih dari 35," ujar Syahril.

Menurut Syahril, lonjakan kasus gagal ginjal akut diduga terjadi karena adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu. Sebagian obat itu kini telah teridentifikasi oleh pihak Kemenkes RI.

"Jadi kasus gagal ginjal akut ini bukan disebabkan oleh COVID-19, vaksinasi COVID-19, atau imunisasi rutin. Kementerian Kesehatan telah bergerak cepat, merespons cepat," kata Syahril.

"Di samping melakukan surveilans atau penyelidikan epidemiologi, terus melakukan penelitian-penelitian untuk mencari sebab terjadinya gagal ginjal akut."


Gagal Ginjal Akut Belum Jadi KLB

Ilustrasi Anak Sakit Credit: pexels.com/Deloite

Dalam kesempatan yang sama, Syahril mengungkapkan bahwa gagal ginjal akut belum ditetapkan menjadi KLB. Menurutnya, respons yang diberikan oleh pihak pemerintah sebenarnya telah mengacu pada KLB.

"Respons-respons cepat dan secara komprehensif itu sudah kita lakukan sebagai respons dalam kasus atau keadaan KLB. Sebagai contoh, kita melakukan koordinasi yang ketat antara pusat dan daerah, antara Kementerian Kesehatan dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), kemudian juga dengan IDAI, dan seterusnya," kata Syahril.

Penelitian dan larangan terkait obat sirup juga telah diberikan. Serta, pihak Kemenkes RI pun mendatangkan obat-obatan untuk gagal ginjal akut dari luar negeri.

"Nah istilah KLB memang di dalam UU wabah dan Permenkes memang hanya disebutkan sebagai penyakit menular. Dengan keadaan begini, maka kita sudah menyiapkan bahwa keadaan ini sama dengan KLB, cuma namanya saja biar tidak melanggar UU atau peraturan sebelumnya yang mendasari penetapan KLB," ujar Syahril.

Infografis peranan penting orang tua dalam pengasuhan anak (parenting) Source: Kementerian Sosial Reublik Indonesia

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya