Bedhaya Semang, Kisah Panembahan Senopati dan Ratu Laut Selatan dalam Tari dan Gerakan

Tari bedhaya semang merupakan komposisi tari Yogyakarta yang dianggap sebagai pusaka Mataram.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 27 Okt 2022, 02:00 WIB
Tugu Yogyakarta (Liputan6.com / Yanuar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Tarian merupakan salah satu kesenian tradisional khas Indonesia yang memiliki makna pada setiap gerakannya. Salah satu tarian tradisional tersebut adalah tari bedhaya semang.

Tari bedhaya semang merupakan komposisi tari Yogyakarta yang dianggap sebagai pusaka Mataram. Tarian ini menggambarkan pertemuan leluhur antara Panembahan Senopati dan Ratu Kidul.

Mengutip dari laman budaya.jogjaprov.go.id, tari bedhaya ini termasuk tarian putri yang halus, luhur, adiluhung, indah, dan dianggap sebagai suatu ritual. Dituliskan, pada masa Sultan Hamengkubuwana I, tari bedhaya diciptakan sebagai tarian ritual istana.

Melalui tari bedhaya, para putri Sultan dilatih dan ditanamkan pendidikan tentang etika, estetika, dan kehalusan budi pekerti sebagai bekal hidup di lingkungan istana. Menurut "Babad Nitik", bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul.

Tarian tersebut dianggap sebagai suatu ritual karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu di dalam penyelenggaraannya. Berbagai persyaratan tersebut, di antaranya penari harus suci (tidak sedang menstruasi), berpuasa sebelum pertunjukan, tempat tarian yang berada di tempat suci Bangsal Kencana, adanya sesaji, adanya waktu tertentu untuk melakukan tarian, dan lainnya.

Pada awal pertunjukan, para penari yang keluar dari Bangsal Prabayeksa. Bangsal Prabayeksa merupakan tempat untuk menyimpan pusaka-pusaka Keraton menuju Bangsal Kencono.

Tari bedhaya semang yang sangat disakralkan oleh keraton merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.

Menurut Babad Nitik, bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama 'semang' (bedhaya semang) diberikan oleh Sultan Agung. Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual istana, seperti peristiwa jumenengan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Jumlah Penari

Tarian bedhaya semang umumnya dibawakan oleh sembilan penari puteri yang bertemakan cerita legenda, babad, atau sejarah. Karena berjumlah sembilan orang, tarian ini juga biasa disebut 'bedhaya sanga'.

Penari yang berjumlah sembilan orang tersebut dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia. Sembilan lubang hawa tersebut, yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan, satu lubang mulut, dan satu lubang dubur.

Komposisi tari bedhaya yang berjumlah sembilan ini juga diasosiasikan dengan struktur tubuh manusia. Kesembilan struktur tubuh tersebut, yakni satu hati, satu kepala, satu leher, dua lengan, satu dada, dua tungkai, dan satu organ seks.

Jumlah angka sembilan juga melambangkan jumlah bilangan terbesar. Hal tersebut memiliki arti yang sangat penting dalam pemikiran-pemikiran metafisika maupun kepercayaan orang Jawa.

Penari bedhaya semang yang berjumlah sembilan orang tersebut terdiri dari batak, endhel, jangga (gulu), apit ngajeng, apet wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking, dan buntil.

 


Busana dari Masa ke Masa

Para penari bedhaya semang memakai busana yang sama. Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dan wujud yang sama.

Namun, tata busana yang dipakai para penari mengalami perubahan sesuai dengan kehendak Sultan yang sedang memerintah. Sayangnya, busana yang dikenakan para penari bedhaya semang pada masa Sultan Hamengkubuwana I tidak diketahui bentuknya karena tidak ditemukannya gambar atau dukumen lain.

Baru pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V, busana penari bedhaya semang mulai diperoleh gambarannya secara rinci. Busana dan tata rias tari bedhaya semang mirip dengan busana dan rias mempelai istana.

Pada masa Sultan Hamengkubuwana VI, penari bedhaya semang mengenakan mekak (kemben atau kain penutup badan atau dada), kain batik motif parang rusak sereden, udher cindhe, slepe dan keris sebagai lambang keprabon. Sementara itu, hiasan kepala yang digunakan yakni berupa rambut yang digelung bokor dengan memakai klewer bunga melati, mengenakan paes layaknya pengantin, cundhuk mentul, kelat bahu, serta gelang.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII, secara garis besar, busana yang dikenakan para penari bedhaya semang masih sama dengan sebelumnya. Sementara itu, pada masa Sultan Hamengkubuwana VIII, pakaian penari bedhaya semang mengalami perubahan.

Pada masa tersebut, penari tak lagi mengenakan paes, melainkan menggunakan hiasan kepala jamang bulu-bulu dan gelung bokor. Mereka juga mengenakan ron kalung sung-sun, kelat bahu, gelang, kain seredan motif parang rusak, udhet cindhe, serta baju tanpa lengan seperti pada masa Sultan Hamengkubuwana VII.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IX dan X, busana yang dikenakan penari tersebut masih sama seperti saat masa Sultan Hamengkubuwana VIII.

Alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari bedhaya semang merupakan gending dan perangkat gamelan khusus. Iringan yang dipakai dalam tari bedhaya merupakan perpaduan antara instrumen musik Jawa dengan instrumen musik barat, meliputi alat tiup dan instrumen musik gesek.

Sementara itu, dalam "Serat Babad Nut Semang Bedhaya", yang merupakan acuan dalam mengiringi tari bedhaya semang disebutkan, lirik yang ada pada tari bedhaya semang mengisahkan percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencono sari atau Ratu Kidul. Pada perkembangan selanjutnya, tari bedhoyo semang menjadi induk dari Beksan Budhaya di Keraton Yogyakarta.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya