Kampung Naga Tasikmalaya, Kearifan Lokal dalam Bentuk Rumah dan Kepatuhan akan Leluhur

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus dibuat layaknya rumah panggung dengan bahan rumah dari bambu dan kayu.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 26 Okt 2022, 23:00 WIB
Ilustrasi Kampung Credit: pexels.com/Francesco

Liputan6.com, Tasikmalaya - Terdapat sebuah kampung di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang terkenal akan kearifan lokalnya. Kampung tersebut adalah Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Mengutip dari disparpora.tasikmalayakab.go.id, kampung ini berada di lembah dengan letak rumah dan arsitektur yang khas. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus dibuat layaknya rumah panggung dengan bahan rumah dari bambu dan kayu.

Atap rumah dibuat dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, sementara lantai rumahnya harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah-rumah ini juga harus menghadap ke utara atau selatan dengan memanjang ke arah barat-timur.

Pada bagian dindingnya dibuat dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasak. Rumah juga tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni.

Meskipun masyarakat mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong), mereka tetap mempertahankan ketentuan-ketentuan kearifan lokal tersebut.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Pareum Obor

Konon, dahulu sempat terdengar kabar bahwa Kampung Naga ditutup untuk orang luar karena masyarakat sekitar tidak ingin daerahnya dijadikan objek wisata. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.

Warga kampung Naga menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor”. Dalam bahasa Indonesia, pareum berarti mati atau gelap, sedangkan obor berarti penerangan, cahaya, atau lampu.

Jika diterjemahkan secara harfiah, pareum obor berarti matinya penerangan. Hal tersebut berkaitan dengan sejarah Kampung Naga yang tidak diketahui asal-usulnya.

Menurut masyarakat setempat, hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip sejarah oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo pada masa lalu. Saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia.

Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat organisasi tersebut pun akhirnya dibumihanguskan. Peristiwa tersebut terjadi pada 1956.

Versi sejarah lain yang diceritakan pada masa kewalian Sunan Gunung Jati disebutkan, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian, ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.

Dalam persemediannya, Singaparana mendapat petunjuk bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan Kota Tasikmalaya.

 


Jumlah Anak Tangga yang Selalu Berbeda-beda

Kampung ini berada di lembah subur yang dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, sedangkan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.

Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya sekitar 26 kilometer. Untuk menuju ke Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya, harus menuruni tangga yang sudah ditembok.

Uniknya, banyak orang mencoba menghitung anak tangga ini dan sampai sekarang jumlah pastinya tidak ada yang tahu. Pasalnya, setiap orang yang menghitung hasilnya selalu berbeda-beda.

Patuh terhadap Leluhur

Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

Apabila hal-hal tersebut dilakukan, maka dianggap melanggar adat dan tidak menghormati karuhun. Hal tersebut dipercaya akan menimbulkan malapetaka.

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada makhluk halus masih dipegang kuat. Mereka percaya adanya jurig cai, yaitu makhluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam.

Kemudian 'ririwa', yaitu makhluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari. Ada pula yang disebut 'kunti anak', ialah makhluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia dan suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya