Liputan6.com, Jakarta - Jamu dikenal sebagai salah satu minuman tradisional Indonesia yang punya banyak khasiat. Jamu dianggap halal lantaran bahan bakunya biasanya berupa beragam rempah dan tanaman herbal. Nyatanya, tak semua jamu halal atau boleh dikonsumsi oleh umat Muslim.
Berdasarkan keterangan Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), ada sejumlah jamu haram karena mengandung alkohol.
Baca Juga
Advertisement
"Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol yang menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minimal 0,5%," dikutip dari unggahan di akun Instagram resmi LPPOM MUI, Selasa, 25 Oktober 2022.
Adapun minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit maupun banyak. Berikut ini ada tiga jenis jamu haram menurut LPPOM MUI dan harus diwaspadai keberadaannya:
1. Jamu Cair dan Kapsul Alkohol
Jamu cair dan kapsul cenderung lebih praktis dan tidak pahit saat dikonsumsi, tapi LLPOM MUI minta masyarakat waspada mencari tahu bahan ekstraksi yang digunakan. Ini karena selain menggunakan air, jamu terkadang menggunakan alkohol. Umumnya pada jamu instan serbuk, alkohol sudah diuapkan hingga kering.
"Namun pada jamu yang berbentuk cair biasanya residu alkoholnya masih cukup tinggi. Selain itu, perlu dipastikan bahwa alkohol yang digunakan bukan berasal dari khamr," terang LLPOM MUI.
2. Jamu Tradisional China Tambahan Hewani
Selain menggunakan tumbuh-tumbuhan, jamu tradisional China juga kerap menggunakan bahan tambahan hewan liar, seperti tangkur buaya, kuku macan, hati beruang, hingga darah ular. "Bahan tambahan tersebut jelas haram dikonsumsi," ungkap LLPOM MUI.
3. Jamu Seduh Campuran Arak atau Anggur
Jamu seduh yang dijual di warung pinggir jalan biasanya menggunakan jamu serbuk. S elama hanya menggunakan campuran telur atau madu, jamu tak jadi masalah.
"Perlu waspada karena masih ada kemungkinan jamu disajikan dengan penambahan berbagai macam ramuan yang tidak halal. Misalnya ditambah dengan anggur kolesom, arak, atau ginseng yang direndam di dalam arak," terang unggahan di akun tersebut.
Pamor jamu di Indonesia kian kuat di masa awal pandemi COVID-19 sebagai salah satu cara masyarakat Indonesia menjaga kesehatan tubuh. Memanfaatkan momentum itu, minum jamu seharusnya didorong untuk tidak jadi kebiasaan musiman. Jamu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti obat yang dibuat dari akar-akaran, daun-daunan, dan semacamnya.
Advertisement
Rantai Pasokan Bahan Baku Jamu
Prof. Dr. Abdul Mun’im, seorang peneliti dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa jejak sejarah jamu sebagai kebudayaan nenek moyang tercatat dalam manuskrip yang ditemukan di candi maupun bukti peninggalan lain. Namun demikian, Prof. Mun'im menyebut rantai pasokan bahan baku jamu masih menemui problematika.
Dengan banyak perubahan fungsi lahan di Indonesia, misalnya, pasak bumi yang dulu banyak ditemukan di wilayah Kalimantan kini jumlahnya semakin sedikit. "Dua bulan lalu saya ke hutan adat Dayak, sebagian sudah jadi perkebunan kelapa sawit," kata dia.
Ia mengatakan, komersialisasi jamu tampaknya jadi ide yang mudah. Tapi kenyataannya, untuk jadi industri yang besar, Indonesia belum bisa memenuhinya.
Contohnya saja akar kucing yang tumbuh liar. Ada pula tanaman pace yang biasa dijadikan lalapan oleh orang Indonesia. Khasiat pace diketahui bisa menurunkan darah tinggi dan baik untuk kesehatan jantung. Jika dijadikan produk jamu, otomatis diperlukan pasokan bahan baku yang memadai.
Harus Memenuhi Standar
Jika jenis tanaman ini dikonsumsi sebagai bumbu dapur maupun pelengkap makanan, pasokan masih mencukupi. Namun saat sudah masuk skala industri, agaknya sulit karena harus memenuhi standar dan jumlah stok tertentu.
Sementara, menurut Prof. Mun'im, banyak tanaman obat untuk herbal hanya tumbuh liar. Jenis tanaman untuk jamu ini juga kebanyakan dipengaruhi musim. Hal ini yang membuat industri masih mengimpor. Mencari suplai di Indonesia kualitasnya pun kadang belum memenuhi standar, katanya.
Di sisi lain, jamu yang beredar di masyarakat pun tidak bisa sembarangan. Dirjen Farmalkes Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalusia melalui keterangan tertulis Biro Humas Kemenkes, Jumat, 9 September 2022, mengatakan bahwa pelaku usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan (UJG-UJR) tidak diwajibkan memiliki Sertifikat Pemenuhan Aspek Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) Bertahap.
Namun, Kemenkes secara rutin membina pengusaha jamu gendong dan jamu racikan, serta menyosialisasikan cara pembuatan jamu yang baik. Ini termasuk aspek sanitasi dan kebersihan dalam proses pembuatan jamu segar, juga penggunaan jamu yang aman, bermutu, dan bermanfaat.
Advertisement