Liputan6.com, Jakarta - Seluruh negara di dunia harus bersiap menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim. Persiapan Indonesia harus lebih baik dibanding negara lain karena risiko yang dihadapi Indonesia dari perubahan iklim ini lebih besar daripada negara lain.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Akbar Fadzkurrahman mengatakan menjelaskan, biaya akibat cuaca ekstrem dapat mencapai 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam bentuk hilangnya peluang investasi, hambatan ekspor, impor wajib produk hijau dan terbatasnya akses pembiayaan global pada tahun 2050.
Advertisement
Kendati begitu, Kata Akbar biaya tersebut dapat dikurangi secara signifikan menjadi 4 persen dari PDB selama tindakan mitigasi tersebut memenuhi target yang disepakati dalam Paris Agreement.
"Risiko krisis iklim global tak mungkin terhindarkan, oleh karena itu transisi menuju ekonomi hijau menjadi sangat urgen untuk segera diimplementasikan," ujar Akbar, di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan transisi dari batubara menjadi salah satu langkah paling tepat uang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.
Tetapi hingga saat ini batubara masih menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia. Melalui Pemabngkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menykokong kapasitas hingga 36,98 Gigawatt (GW) yang setara dengan 50 persen dari total energi pembangkit listrik.
“Selain risiko keuangan, risiko yang dapat dialami investor adalah penurunan peringkat utang PLN mengingat semakin intensnya komitmen terhadap implementasi ESG (Environment, Social, Governance) secara global," tutur Akbar.
Intensitas tersebut ditunjukkan dengan beberapa industri yang telah mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk meningkatkan ESG. Lebih dari 90 persen perusahaan S&P 500 dan sekitar 70 persen dari perusahaan Russell 1000 telah menerbitkan laporan ESG.
Rekomendasi untuk PLN
Adapun JP Morgan telah memiliki komitmen untuk mendukung praktik sustainable financing melalui pengembangan Carbon Compass sebagai sebuah metode yang bertujuan mengurangi intensitas karbon di proporsi portofolio. Jadi, PLN perlu lebih memperhatikan penerapan ESG.
“Sayangnya, karena komitmen pemerintah untuk membantu PLN apabila terjadi kesulitan likuiditas, sebagian pemegang obligasi tidak menyadari adanya risiko ini. Investor di pasar surat utang juga memiliki kontradiksi dengan komitmen untuk mendukung percepatan pensiun dini PLTU”, lanjut dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memberikan rekomendasi kepada PLN berdasarkan kondisi yang terjadi.
Pertama, menahan pembangunan PLTU baru dalam rangka mengurangi risiko finansial dan nonfinansial yang muncul. Kedua, PLN diharapkan dapat melakukan komunikasi efektif dengan bondholders (pemegang obligasi) untuk mencegah penurunan peringkat utang PLN yang cukup vital bagi kelangsungan usaha PLN.
"Ketiga, mengintensifkan gerakan transisi energi bersih untuk mengakomodasi eksternalitas negatif dan risiko atas pembangunan PLTU baru yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama," terang Bhima.
Advertisement
Mayoritas Perusahaan Kelas Dunia Tak Punya Target Nol Emisi Karbon
Sebelumnya, studi yang dirilis oleh organisasi nonprofit Net Zero Tracker mengungkapkan sebagian besar perusahaan multinasional di dunia belum berperan aktif mencegah perubahan iklim. Perusahaan swasta kelas kakap ini belum memiliki target pengurangan emisi karbon hingga nol persen atau nol emisi karbon.
Dilansir dari The Straits Times, Rabu (19/10/2022) studi yang dilakukan Net Zero Tracker menunjukkan, hanya 32 dari 100 perusahaan swasta terbesar di dunia yang telah menetapkan target untuk mencapai nol emisi karbon, Sedangkan 68 dari 100 perusahaan publik terbesar ini belum memasang target sama sekali.
Di sektor-sektor dengan emisi tinggi seperti energi, infrastruktur dan manufaktur, hanya 14 persen dari pendapatan gabungan tahunan perusahaan swasta yang tercakup oleh target tersebut dibandingkan dengan 77 persen pendapatan dari perusahaan yang terdaftar di sektor yang sama.
Selain itu, studi tersebut juga menemukan bahwa perusahaan-perusahaan swasta ini belum menetapkan target secara maksimal, dengan cenderung tidak memasukkan tujuan jangka pendek, yang mencakup cakupan penuh emisi atau detail tentang bagaimana perusahaan menggunakan penyeimbangan karbon.
Hanya empat dari perusahaan swasta dengan target emisi yang benar-benar memiliki rencana untuk memenuhi janji mereka, demikian menurut studi tersebut.
"Perusahaan swasta sangat kekurangan net zero dibandingkan dengan sesama mereka yang terdaftar secara publik," kata John Lang, pimpinan proyek Net Zero Tracker.
Jika hal tersebut dibiarkan, Thomas Hale, profesor di Oxford University’s Blavatnik School of Government, mengatakan ada risiko perusahaan swasta lolos dari pengawasan dan mendapatkan keuntungan yang tidak adil.
"Regulasi yang cerdas diperlukan untuk menciptakan keterlibatan di lapangan dan menutup celah yang berpotensi sangat besar dalam aksi iklim perusahaan," pungkasnya.