Liputan6.com, Jakarta - Polisi memang selalu menjadi sorotan publik. Terlebih, pasca tragedi mematikan di Stadion Kanjuruhan, Malang pada 1 Oktober lalu. Insiden tersebut juga menjadi salah satu bencana olahraga paling mematikan kedua di dunia.
Seluruh dunia menyatakan simpati atas tragedi Kanjuruhan dan berharap bahwa insiden ini tidak terjadi lagi. Hal ini sekaligus menjadi evaluasi bagi seluruh pihak, terlebih polri dan polisi.
Advertisement
Dalam tragedi kanjuruhan, terjadi insiden saling injak setelah polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan penonton. Padahal, FIFA secara resmi melarang penggunaan 'gas pengendali massa' dalam pertandingan sepak bola.
Namun, lebih dari itu, kasus-kasus lain yang cukup ‘problematik’ juga kerap berdatangan dari oknum-oknum polisi. Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa misalnya. Keduanya menambah catatan buruk polisi di mata masyarakat.
Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri mengalami penurunan 13 persen karena adanya kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo.
Tingkat kepercayaan publik pada Polri pernah mencapai 87,8 persen pada 2018. Namun, setelah Pilpres 2019 kepercayaan terhadap Polri menurun hingga angka 72,2 persen.
Ditambah lagi dengan adanya kasus Ferdy Sambo yang membuat kepercayaan masyarakat kembali menurun ke angka 59,1 persen.
Lalu, setelah adanya tragedi Kanjuruhan, Teddy Minahasa, serta banyaknya 'oknum' yang mengganggu masyarakat, akankah kepercayaan terhadap pihak kepolisian akan terus menurun?
Padahal, polisi seharusnya adalah yang paling dekat dengan masyarakat dan senantiasa mengayomi masyarakat.
Bukan Pengayom Masyarakat
Aparat memang memiliki didikan yang keras dan disiplin. Namun, pendekatan kekerasan aparat terhadap masyarakat tampaknya tak kunjung usai. Pasalnya, sebagai institusi pengayom masyarakat, seharusnya, kekerasan tidak dilanggengkan.
Tak perlu jauh-jauh. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 132 orang merupakan salah satunya. Video-video kekerasan yang dilakukan aparat polisi terhadap penonton beredar luas dan satu hal yang paling fatal adalah gas air mata.
Polisi menganggap gas air mata sebagai solusi meredam anarkisme penonton. Tapi, jangankan menjadi solusi, gas air mata saja sudah tidak boleh dipergunakan dalam pertandingan sepak bola.
Aksi represif Polisi di Belu juga menjadi salah satu catatan kelam polisi di mata masyarakat. Seperti yang terjadi pada Almarhum Darson Lau yang ditembak polisi yang jelas-jelas melanggar HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 2019 juga mencatat terjadi sebanyak 3.593 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap masyarkat sipil.
Hal tersebut menjadi pertanyaan besar, benarkah polisi pengayom masyarakat?
"Polisi sebagai pengayom masyarakat hanyalah sebuah kata yang utopis selama relasi kuasa masih ada antara polisi dengan masyarakat," kata salah satu mahasiswa di Malang, SJ (20), kepada Citizen6 Liputan6.com.
"Cara mereka 'menjaga keamanan' malah bikin kerusuhan. Karena, mereka mentingin diri sendiri. Aman = kalau aparat juga aman, bagaimanapun caranya. Seperti, enggak ada belas kasihan," kata salah satu mahasiswi di Bandung, EFG (20), saat menanggapi hal di atas.
Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Zahra, salah satu mahasiswi di Malang.
"Polisi katanya berantas kejahatan, tapi, malah jadi penjahat," ujar Zahra (20).
Advertisement
Mata Duitan
Tak sedikit masyarakat yang menganggap kepolisian sebagai instansi yang identik dengan uang dan pungutan liar.
Dalam konteks tilang-menilang di jalanan, bukan rahasia lagi bahwa ada segelintir polisi lalu lintas 'nakal' yang bikin pandangan masyarakat terhadap mereka menjadi buruk.
Padahal, tak semua polisi berbuat seperti itu.
Seorang mahasiswi di Bandung berinisial D (20) menceritakan pengalamannya kepada Liputan6.com bahwa saat kena tilang, 'fast track'-nya adalah membayar uang agar lolos.
"Ya, pokoknya, kalau bayar ke polisinya, lebih cepat. Enggak dikasih surat tilang berwarna biru untuk bayar. Jadi, nyogok ke polisinya saat ditilang," ujar D.
Selain D, salah satu mahasiswi berdomisili di Jawa Tengah juga bercerita bahwa dia memang kerap membayar sejumlah uang saat ditilang.
"Alasan membenci polisi salah satunya adalah mata duitan. Gue enggak kehitung berapa kali bayar waktu kena tilangan boongan. Padahal, aslinya enggak ada tilangan. Banyak juga contoh kasus lain," ujar Zahra (20).
Hal tersebut juga terjadi berlarut-larut dan tentu merugikan masyarakat.
Kadang, memang ada oknum yang meminta jumlah yang lebih besar daripada sanksi sesuai sidang tilang.
Selain itu, uang yang polisi dapat dari masyarakat juga belum tentu masuk ke dompet negara. Melainkan, ke dompet pribadinya.
Maka dari itu, kadang, masyarakat menyebut kantor polisi sebagai sarang pungutan liar.
Namun, beberapa waktu lalu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melarang Polisi Lalu Lintas (Polantas) menilang secara manual dalam upaya mencegah terjadinya pemungutan liar.
Sebagai solusi, penindakan mengandalkan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) yang tersedia secara statis dan mobile.
Mereka pun berharap dengan adanya pelarangan tersebut, oknum polisi ‘nakal’ yang mengambil keuntungan dari menilang masyarakat sipil sadar dan tidak ada oknum polisi seperti itu lagi.
Halo Dek dan Citra yang Buruk
Satu hal yang meresahkan di kalangan anak muda adalah polisi “Halo Dek”.
Halo Dek merupakan salah satu sapaan yang masih ramai jadi pembicaraan publik. Pasalnya, polisi muda banyak yang merasa ‘superior’ lalu dengan sengaja mengirim pesan ke banyak wanita khususnya bidan.
Tak sedikit juga perempuan yang merasa bahwa polisi-polisi muda tindakannya bahkan lebih besar kepala dengan sapaan khusus ‘Halo Dek’-nya itu.
“Ada yang mengayomi pasti, tapi kebanyakan yg aku liat walaupun ga sengaja, mereka cuma kerja bentar lalu foto biar keliatan kerja,” kata AD (21).
AD juga merasa bahwa banyak polisi ‘Halo Dek” yang sikapnya seperti itu. Polisi-polisi muda itu nampak main-main dan tentu saja, membuat citra kepolisian menjadi lebih buruk.
“Kayaknya, polisi sekarang udah enggak ditakuti masyarakat lagi. Imagenya hancur. Apalagi, setelah ada kasus Sambo baru-baru ini,” kata FP (20) yang merupakan seorang mahasiswi di Bandung.
Sama halnya dengan FP, salah satu mahasiswa di Universitas Brawijaya Afdhalul Huda (20) juga mengatakan hal yang serupa.
“Menurut saya, akhir-akhir ini citra polisi memang lagi jelek dan terpuruk banget," katanya.
Kepercayaan publik terhadap institusi Polri kian menurun. Afdhalul mengatakan bahwa masyarakat menganggap polisi tidak profesional dan tidak kompeten dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Hal ini dikarenakan banyak sekali masalah dan kasus yang diberitakan oleh berbagai media yg membuat nama institusi Polri tercoreng.
"Seperti Kasus pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo, Tragedi Kanjuruhan dan Penangkapan Teddy Minahasa karena kasus Narkoba," ujar Afdhalul kepada Liputan6.com.
Advertisement
Layakkah Polisi Dibenci?
Catatan kelam kepolisian dan oknum-oknumnya bukanlah hal yang biasa. Selain membuat kepercayaan publik menurun, hal tersebut juga malah membuat publik membenci institusi dan oknum di dalamnya. Kebencian, amarah, dan memposisikan polri sebagai musuh publik juga kerap dilakukan oleh masyarakat.
Afdhalul berpendapat bahwa penyebab banyak orang membenci polisi adalah karena berbagai masalah atau kasus yang menguak kebusukan aparat dalam institusi Polri.
“Kepercayaan masyarakat yg kian menurun tidak hanya disebabkan karena kasus tingkat nasional saja. Namun, di tingkat kehidupan bermasyarakat seringkali kita melihat adanya relasi buruk antara polisi dengan masyarakat kecil seperti adanya pungli, pengurusan administrasi SIM yang ribet," katanya.
"Sudah menjadi rahasia umum kalau banyaknya anggota Polri memiliki bisnis bisnis haram di luar kepolisian seperti Judi. Mereka berdalih bahwa itu adalah 'oknum', tapi kita pikir-pikir, saat oknum ini dikumpulin bahkan kita bikin mabes sendiri karena saking banyaknya," dia menambahkan.
Berbeda dengan Afdhalul, SJ (20) merasa, kebencian terhadap polisi layak.
"Kebencian ini harus didasarkan pada rasionalitas yang melahirkan kritik-kritik membangun," ujar SJ.
Baik itu benci atau tidak, suka atau tidak, urgensi saat ini adalah evaluasi. Polri perlu evaluasi besar-besaran demi mengembalikan fungsinya sebagai pagar terdepan keamanan masyarakat.