Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum dari Firma Hukum Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (DNT Lawyers), Pahrur Dalimunthe mengatakan bahwa pihak keluarga pasien gagal ginjal akut dapat melayangkan gugatan. Baik terhadap Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) maupun produsen obat sirup yang tercemar senyawa kimia yang diduga jadi penyebab terjadinya GGA.
Caranya, jelas Pahrur, dengan gugatan melawan hukum (PMH). Di luar negeri biasa disebut dengan Tort. Keduanya memiliki prinsip yang sama.
Advertisement
"Indikator PMH itu diatur di Pasal 1365 KUH Perdata. Intinya antara lain seseorang bisa diguga PMH jika si pelaku melanggar hukum yang diwajibkan padanya, dan menimbulkan kerugian bagi orang lain," kata Pahrur saat berbincang dengan Liputan6.com dalam sebuah kesempatan.
"Sekarang kita uji, apakah ada kewajiban hukum yang dilanggar oleh BPOM? Kalau ada bisa digugat," dia menambahkan.
Menurut Pahrur, ada. Sebab, berdasarkan Pasal 3 Ayat 1 Huruf (d) dan Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Nomor 80 tahun 2017 tentang BPOM, BPOM memiliki kewajiban untuk mengawasi obat sebelum dan sesudah beredar.
"BPOM dalam pasal itu wajib menjamin obat yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan," katanya.
Jadi, jika ada obat yang beredar dan sudah ada izin BPOM lalu ternyata obat itu melewati batas zat yang ditentukan, bahkan berujung pada kematian, Pahrur mengatakan bahwa BPOM bisa digugat.
"Ya, karena tidak menjalankan kewajibannya menjamin keamanan obat yang beredar," ujarnya.
"Jadi, menurut saya, konsumen bisa saja menuntut BPOM dan produsennya karena kasus gagal ginjal ini," Pahrur menambahkan.
Pahrur: Perusahaan Bisa Ditutup, Pengurus Dipenjara 10 Tahun
Kasus gagal ginjal akut semakin meningkat. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada Kamis, 27 Oktober 2022 menyatakan bahwa kasus gagal ginjal akut tembus 269 kasus.
Dalam konferensi pers yang dilakukan pada hari ini, Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril mengungkapkan sebanyak 157 anak meninggal dunia, 73 anak dalam proses perawatan, 39 anak dinyatakan sembuh.
Penyebab yang awalnya tampak misterius, pada akhirnya terkuak ketika BPOM RI menarik lima obat sirup pada 20 Oktober 2022.
BPOM menyebut obat-obatan itu mengandung tiga senyawa berbahaya, yaitu Etilena Glikol (EG), Dietilene Glikol (DEG), dan Etilena Glikol Butil Eter (EGBE). Cemaran EG pada sirop tersebut melebihi ambang batas yang sudah ditentukan.
Etilena Glikol kerap dipakai sebagai bahan campuran pendingin mesin. Sementara Dietilene Glikol merupakan senyawa yang biasa digunakan sebagai pelarut yang jika dikonsumsi bisa menyebabkan gangguan ginjal.
Dalam siaran langsung di Instagram pada Sabtu, 22 Oktober 2022, pakar farmakologi dan farmasi klinik UGM, Prof Zullies Ikawati mengatakan bahwa pada dasarnya, baik EG maupun DEG, tidak boleh ditambahkan pada obat atau makanan.
"Karena sifatnya beracun, memang bukan untuk dimakan. Biasanya untuk permesinan seperti radiator," katanya.
Jika sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap adanya keberadaan zat berbahaya dalam obat yang beredar? Apakah perusahaan farmasi yang memproduksi dan mengedarkan obat-obat sirup tersebut dapat dipidana?
Pahrur, mengatakan,"Sejatinya penyidik bisa menggunakan Pasal 196 UU Kesehatan untuk menjerat perusahaan farmasi yang nakal.".
Advertisement
Ancaman Penutupan Usaha Farmasi
Lebih lanjut Pahrur, menjelaskan, pasal ini pada intinya bisa menjerat perusahaan farmasi atau siapa saja yang mengedarkan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan dengan ancaman pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
"Jadi, sepanjang terbukti obat-obatan itu sudah melebihi ambang batas yang sudah ditentukan BPOM, maka bagi produsen dan pengedar bisa dijerat dengan pasal ini," kata Pahrur.
Pahrur, menambahkan, UU Kesehatan juga sudah memuat ketentuan pemidanaan terhadap korporasi. Hal itu diatur pada Pasal 201 dengan ketentuan: jika perusahaan yang melanggar bisa dijerat pidana dengan sanksi denda tiga kali lipat dan sanksi pencabutan izin usaha dan badan hukum.
"Dengan kata lain, perusahaan akan ditutup," ujarnya.
Perusahaan Bisa Lolos, Jika…
Unsur kesengajaan akan menjadi unsur penentu untuk melihat lolosnya perusahaan farmasi yang memproduksi obat sirup yang diduga sebagai penyebab ginjal akut pada anak tersebut dari jeratan pidana.
"Jika alasan keberadaan zat tersebut dimaksudkan dari awal sudah ada, entah demi alasan agar bahan baku pembuatan obat menjadi lebih murah, atau agar rasanya lebih enak, maka perusahaan tidak akan bisa lolos dari pidana," katanya.
"Sebab keberadaan zat berbahaya tersebut disengaja untuk mendukung bisnis perusahaan," Pahrur menambahkan.
Namun, apabila keberadaan zat tersebut timbul sebagai akibat percampuran zat lain dalam obat sirup yang tidak terdeteksi sebelumnya, menurut Pahrur perusahaan dapat lolos dari jerat pidana karena kemunculan zat tersebut tidak direncanakan.
"Tentu saja hal itu harus didukung dengan adanya bukti dari perusahaan dalam melakukan langkah-langkah pencegahan, serta adanya SOP internal kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk menghindari terjadinya tindak pidana," katanya.
Jadi, indikator korporasi bebas dari pidana berdasarkan Perma 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, salah satunya adalah jika perusahaan melakukan upaya pencegahan terjadinya pidana.
Advertisement