Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengatakan usulan restorative justice atau keadilan restoratif atau dalam kasus tindak pidana korupsi, hanya opini darinya. Adapun hal ini sempat diungkapkan Tanak saat menyampaikan visi misi calon Pimpinan KPK di Komisi III DPR RI.
"Itu kan cuma opini, bukan aturan, tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja. Tapi bagaimana realisasinya tentunya nanti lihat aturan," jelas Johanis Tanak usai mengucapkan sumpah jabatan sebagai Wakil Ketua KPK di Istana Negara Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Advertisement
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri menyebut usulan restorative justice ini bisa saja dibahas untuk diterapkan dalam penanganan korupsi. Namun, kata dia, KPK berpegang kepada peraturan perundang-undangan dalam menangani kasus korupsi.
"Kalaupun ada hal-hal lain, pendapat itu bisa-bisa saja dibahas. Tetapi, tetap saja kita berpedoman kepada asas bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kita laksanakan kecuali karrna ketentuan prosedur mekanisme dan syarat yang diatur peraturan perundang-undangan," tutur Firli.
Menurut dia, KPK memegang teguh tujuan penegakan hukum untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, Firli menekankan penegakan hukum harus mewujudkan keadilan.
"Dan ketiga adalah menimbulkan kemanfaatan. Tiga prinsip dasar inilah yang kita pegang dalam rangka penegakan hukum itu," ujar dia.
Sebelumnya, Calon pimpinan KPK Johanis Tanak mengusulkan penerapan restorative justice terhadap tindak pidana korupsi yang ditangani lembaga antirasuah. Dia menyampaikan idenya dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK pengganti Lili Pintauli Siregar.
"Kemudian saya mencoba berpikir untuk restorative justice terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, restorative justice. Tapi apakah mungkin yang saya pikirkan itu dapat diterima, saya juga belum tahu. Harapan saya dapat diterima," katanya di Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu 26 Oktober 2022.
Diterapkan pada Tindak Pidana Korupsi
Dia menilai, restorative justice bisa diterapkan tidak hanya untuk tindak pidana umum. Tetapi tindak pidana korupsi pun memungkinkan.
"Hal ini dapat saja dilakukan meskipun pasal 4 dalam UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi," ujarnya.
Menurut aturan itu bisa dikesampingkan dengan peraturan yang ada setelah itu berdasarkan teori ilmu hukum. Johanis mengacu pada UU BPK bahwa kerugian negara bisa dikembalikan.
"Di mana, apabila BPK menemukan suatu kerugian keuangan negara, maka BPK akan memberikan kesempatan selama 60 hari kepada yang diduga melakukan kerugian keuangan negara untuk mengembalikan kerugian negara. Tetapi saya kemudian berpikir, kalau mengembalikan keuangan negara berarti pembangunan dapat berlanjut," jelasnya.
Nantinya, pelaku tinggal membayar denda pidana tersebut tanpa diproses lebih lanjut.
"Tapi dia sudah melakukan satu perbuatan yang menghambat pelaksanaan proses pembangunan, kalau saya boleh mengilustrasikan, kalau saya pinjam uang di bank pak, maka saya akan dikenakan bunga pak. Kemudian ketika saya melakukan penyimpangan, maka saya dapat dikenakan denda. Jadi selain membayar bunga, membayar denda juga," ungkap Johanis.
Advertisement
Diatur dalam Revisi UU KPK Mendatang
Dia mengusulkan restorative justice bisa diatur dalam revisi UU KPK mendatang. Pelaku korupsi bisa mengembalikan kerugian negara berserta denda.
"Di mana, nantinya ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, saya berharap dia dapat mengembalikan uang tersebut, tetapi dia kena denda juga, kena sanksi juga. Jadi kalau dia merugikan negara Rp10 juta, saya berharap dia mengembalikan ke negara Rp20 juta. Jadi, uang negara tidak keluar, PNBP untuk negara ada. Bisa saja dua kali atau tiga kali," terangnya.
Menurutnya cara ini tidak hanya mengembalikan kerugian negara tetapi juga akan menambah keuangan negara.
"Begitu juga pak ketika penindakan, jadi restorative justice ini ketika sudah ada restorative justice dia bisa mengembalikan, kita tidak proses, tapi mengembalikan tidak sejumlah yang dikorupsi tetapi dua kali atau tiga kali dia mengembalikan maka tidak perlu diproses secara hukum. Karena ketika dia diproses secara hukum seperti yang saya sampaikan tadi, maka kerugian keuangan negara akan bertambah, bukan berkurang," tutup Johanis.