Liputan6.com, Jakarta Isu soal kesehatan mental baru-baru ini banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat. Gangguan kesehatan mental dapat dialami oleh setiap orang baik disabilitas maupun non disabilitas.
Mengingat sebagian penyandang disabilitas memiliki keterbatasan mobilitas dan berbagai tantangan lain, maka timbul sebuah tanya. Apakah penyandang disabilitas lebih rentan mengalami masalah kejiwaan ketimbang non disabilitas?
Advertisement
Mengenai hal ini, Penasihat Disabilitas dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) Dr. Bahrul Fuad mengatakan bahwa korelasinya belum ditemukan.
“Apakah saudara-saudara kita yang mengalami disabilitas itu rentan memiliki masalah kejiwaan, sejauh penelitian saya, saya belum menemukan korelasi itu,” kata pria yang akrab disapa Cak Fu ketika menjawab pertanyaan Disabilitas Liputan6.com di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Namun yang jelas, lanjutnya, orang yang memiliki masalah kejiwaan atau psikososial itu masuk dalam kelompok disabilitas. Ini sesuai definisi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas.
“Jadi disabilitas itu definisinya adalah hasil interaksi antara keterbatasan fisik dan atau mental seseorang dengan lingkungan dan sikap masyarakat. Jadi orang yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental sehingga mengalami hambatan lingkungan dan sosial.”
“Jadi apa disabilitas punya korelasi dengan kesehatan mental, saya sendiri tidak merasa ya. Mental saya sehat-sehat saja karena saya menjadi disabilitas sejak usia 1 tahun tapi tidak ada kemudian merasa rendah,” katanya.
Masalah Mental di Indonesia Tinggi
Dalam kesempatan yang sama, Project Leader & Founder Emotional Health for All (EHFA) Dr. Sandersan Onie mengatakan, permasalahan kesehatan mental di Indonesia dinilai cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan tingkat bunuh diri yang masih banyak.
“Berdasarkan penelitian terbaru, kami menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan. Dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut,” kata pria yang akrab disapa Sandy.
Sementara, data lainnya menunjukkan bahwa hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater di Indonesia yang jumlah populasinya lebih dari 250 juta orang. Maka dari itu, jumlah tenaga kesehatan mental di Indonesia dinilai minim.
Kesehatan mental tidak mengenal usia, jenis kelamin, agama, ataupun status sosial. Semua orang berhak mendapatkan akses layanan dan penanganan kesehatan mental yang tepat.
Advertisement
Kesehatan Mental dan Agama
Mengenai penanganan masalah kesehatan mental melalui pendekatan agama, Sandy menjelaskan bahwa ia sering menemukan kejadian diskriminasi yang didasarkan pada keyakinan yang keliru tentang agama.
Contohnya, orang dianggap memiliki gangguan kesehatan mental akibat imannya kurang, mengalami kesurupan, dan stigma lainnya yang mengabaikan masalah kesehatan mental. Hal ini menyebabkan kemajuan edukasi tentang kesehatan mental sangat lambat.
Di media sosial, para ahli hingga influencer mulai membagikan topik mengenai kesehatan mental. Namun, masyarakat cenderung mendiskriminasi dan mengucilkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Stigma yang masih beredar di masyarakat salah satunya orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap gila atau tidak waras. Akibatnya, keluarga dan korban dari gangguan kesehatan mental menjadi malu untuk mencari pertolongan profesional.
Dianggap Sesuatu yang Tabu
Masyarakat juga masih menganggap kesehatan mental dan bunuh diri sebagai sesuatu yang tabu dan masih memiliki kesalahpahaman mengenai kesehatan mental. Padahal, kesehatan mental adalah aspek penting yang mendorong produktivitas.
Terkait dengan kesehatan mental, bunuh diri, dan produktivitas, Sandy menjelaskan, kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi. Diperkirakan kematian dan hilangnya produktivitas memakan biaya Rp582 triliun per tahun.
Sementara itu, kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat. Dengan demikian, kesehatan mental adalah sesuatu yang harus disadari oleh masyarakat agar dapat tetap hidup produktif.
KONTAK BANTUAN
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.
Advertisement