Liputan6.com, Jakarta Tak terhitung secara pasti berapa banyak korban kekerasan seksual di Indonesia yang memilih untuk tidak melaporkan. Banyak korban bungkam atas berbagai penyebab yang melatarbelakanginya.
Menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sendiri, terdapat 1.272 laporan kekerasan seksual pada perempuan sepanjang 2021. Sedangkan pada anak, terdapat 7.004 laporan kekerasan seksual.
Advertisement
Pendamping psikologi dari Akara Perempuan, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, Siti Hajar Rahmawati mengungkapkan bahwa korban kekerasan seksual pada kategori anak masih bergantung pada orang dewasa.
Serta, banyak dari korban kekerasan seksual anak tidak mengerti bahwa tindakan kekerasan seksual yang dialaminya merupakan kesalahan. Di sisi lain, perempuan dewasa yang mengetahui kekerasan seksual adalah tindak kesalahan pun, banyak yang tidak melaporkannya.
"Kenapa? Karena dari kasus-kasus yang kami dampingi selama ini, pertama yang menjadi hambatan adalah mereka kena mental breakdown," ujar wanita yang akrab disapa Rahma dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (28/10/2022).
"Setelah mendapatkan kekerasan, dia sudah mental breakdown duluan. Mental breakdown itu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan atau masalah yang menyebabkan aktivitas sehari-harinya terganggu."
Rahma menjelaskan, dari data pelaporan Akara Perempuan, umumnya korban akan mengalami perubahan dari segi asupan makanan. Ada yang justru berhenti makan dan ada pula yang kebiasaan makannya bertambah berkali-kali lipat.
Selain itu, beberapa mengalami kesulitan tidur atau sebaliknya, tidur secara terus-menerus. Kendala yang ditemui selanjutnya adalah kebingungan untuk mencari bantuan yang tepat.
Tidak Ada Dukungan Orang Terdekat
Rahma mengungkapkan bahwa belum lagi jika korban tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Sehingga banyak korban yang ia dampingi tidak menceritakan kasus atau keadaan yang mereka alami ke orang terdekat.
"Padahal support system terpenting adalah orang-orang terdekat. Maka ketika kami melakukan pendampingan orangtuanya tidak tahu masalah ini, kami akan tanya ada teman yang bisa dipercaya atau tidak," ujar Rahma.
"Kalau keluarga enggak bisa membantu, harus ada paling enggak yang layer selanjutnya dari orang ini yang bisa ikut membantu dia."
Terlebih, dampak yang dialami orang korban kekerasan seksual bisa berkepanjangan. Dampaknya tak hanya psikis, namun juga bisa beralih ke fisik. Sehingga pendampingan menjadi poin penting untuk korban.
"Akibatnya bisa berkepanjangan. Entah psikis, entah fisik, atau keduanya. Nah ini lho, ini kenapa pentingnya ada pendampingan," kata Rahma.
Advertisement
Tantangan Mendampingi Korban Kekerasan Seksual
Lebih lanjut Rahma mengungkapkan bahwa yang menjadi tantangan dalam proses pendampingan korban kekerasan seksual adalah tidak adanya perspektif gender dan korban yang mumpuni.
Menurut Rahma, tenaga profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, terapis, dosen, dan lainnya sangat perlu untuk memahami isu ini. Mengingat di Indonesia, masih banyak korban yang diminta untuk bungkam saat hendak melapor.
"Ada korban anak yang diminta untuk enggak lapor, enggak usah ngomong. Ini kejadian, dan banyak ini terjadi," ujar Rahma.
"Belum tentu semua profesional yang berada di garis depan, yang harusnya membantu itu ngerti perspektif gender dan korban."
Belum lagi, ada tantangan dari budaya dan agama yang justru menyarankan korban untuk diam karena dianggap dosa dan aib. Apalagi jika halangan itu datang dari orang terdekat yang meminta korban untuk menutupi saja kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
"Di agama enggak boleh nih ngomongin aib, apalagi hal seperti itu urusan kasur. Halangan juga dari orang terdekat," kata Rahma.
Pelaku Kekerasan Seksual Orang Terdekat
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati mengungkapkan bahwa faktor lain yang membuat korban takut melapor adalah pelaku ternyata merupakan orang yang dekat. Seperti ayah kandung atau ayah tiri.
"Bisa kadang-kadang justru lingkungan yang tidak kita sadari. Misal, seperti guru ngaji. Itu ternyata ada juga kasusnya. Jadi orang-orang yang korban percaya, yang sudah dekat," ujar Baety.
"Banyak orangtua-orangtua yang datang memeriksakan anaknya, kemudian ketika mereka mengetahui peristiwa yang terjadi itu mereka tidak nyangka, karena itu masih keluarga atau tetangga. Padahal orangnya kelihatan baik."
Baety menjelaskan, hambatan psikologis seperti rasa takut, malu, serta adanya rasa bersalah menjadi faktor selanjutnya yang membuat korban tidak melapor.
"Apalagi kalau sampai korbannya hamil. Ini lebih-lebih lagi ya, malah kadang korbannya diisolasi. Sekolahnya berhenti, dipindahin rumahnya, sampai misalnya nanti dia lahiran orang enggak tahu karena ada rasa malu," pungkasnya.
Advertisement