Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hingga produsen bisa dikenakan pidana terkait maraknya kasus gagal ginjal akut pada anak.
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196 disebutkan:
Advertisement
"Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."
Menurut Fickar, cara melihat siapa yang harus bertanggungjawab dalam kasus ini yakni dengan melihat dari masing-masing kesalahan antara BPOM dan mereka yang memproduksi obat-obatan tersebut (produsen).
"Jika produsen keliru menterjemahkan komposisi obat yang sudah diperiksa dan diawasi oleh BPOM, artinya komposisi obat itu tidak sesuai dengan yang disetujui BPOM, maka kesalahan sepenuhnya ada pada produsen obat. Artinya produsen tidak mengikuti komposisi yang telah disetujui BPOM, sehingga produsen bertanggung jawab baik secara perdata maupun pidana," ujar Fickar kepada Liputan6.com, Jumat (28/10/2022).
Menurut Fickar, jika komposisi obat telah sesuai dengan arahan BPOM dan telah mencantumkan indikasi obat pada kemasannya, termasuk larangan mengonsumsi bagi orang-orang tertentu, maka kesalahan tidak bisa diarahkan kepada produsen.
"Maka kesalahan sepenuhnya pada masyarakat, korban yang tidak mengikuti informasi tentang indikasi obat yang tercantum, dan itu menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Tetapi jika obat dengan komposisi itu dikonsumsi berdasarkan resep dokter, maka dokternya juga ikut bertanggung jawab," kata dia.
Menurut Fickar, jika ada obat-obatan yang hanya boleh dikonsumsi berdasarkan resep dokter namun terjadi komplikasi, dalam hal ini kemungkinan dua pihak yang harus bertanggung jawab, yakni antara dokter dan produsen.
"Jika dokter keliru mengdiagnosa penyakit, tanggung jawab ada pada dokter. Jika kesalahan karena komposisi obat tidak sesuai dengan informasi dalam kemasan, maka tanggung jawab kesalahan ada pada produsen obat," kata dia.
BPOM Bisa Dituntut
Sementara, menurut Fickar, BPOM bisa dituntut secara pidana maupun perdata jka salah dalam mengarahkan komposisi obat-obatan untuk penyakit tertentu.
"BPOM bisa dituntut perdata maupun pidana, jika arahan komposisi obat untuk penyakit tertentu keliru atau salah, tidak seperti kompisisi yang tercantum dalam kemasan," kata dia.
Proses hukum terhadap BPOM baik pidana (pemolisian) maupun perdata (membatar ganti kerugian pasien) bisa dilakukan jika mampu dibuktikan bahwa kesalahan terjadi akibat BPOM salah prosedur dan memberikan informasi atau nasihat yang keliru.
"Hak menuntut bagi korban jika bisa dibuktikan bahwa keluhan sakit tidak sesuai dengan obat yang diberikan, yang dituntut selain BPOM juga dokternya," kata dia.
Advertisement
KUHP
Dia menyebut, pada dasarnya industri obat menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku yang membahayakan dalam proses produksi. Sehingga adanya bahan berbahaya diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain.
"Jika ada diketahui peredaran obat mengandung zat berbahaya yang menimbulkan kematian, maka secara hukum, industri itu tetap harus bertanggung jawab jika dapat dibuktikan kematian itu terjadi atas dasar komplikasi akibat meminum obat, ketentuan yang dapat diterapkan, karena ketidakhati-hatiannya menimbulkan kematian, Pasal 359 KUHP ancaman hukumannya maksimal 5 tahun," kata dia.
Bunyi Pasal 359 KUHP: "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."