Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa bunuh diri salah satu mahasiswa di Yogyakarta beberapa pekan lalu menghebohkan masyarakat. Keputusan korban tersebut diduga lantaran adanya permasalahan kesehatan mental. Peristiwa tersebut juga menambah pentingnya penanganan kesehatan mental di Indonesia.
Peneliti dari Pusat Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Amirah Ellyza Wahdi menyatakan berdasarkan survei yang telah dilakukan, kondisi permasalahan kesehatan menunjukkan gejalanya mulai usia remaja.
Advertisement
Amirah mengatakan riset tersebut dilakukan pada populasi kelompok usia 10-19 tahun yang mencapai 44,5 juta jiwa.
"Dari data yang kami dapat berdasarkan survei yang telah lakukan dengan menggunakan instrumen yang spesifik didapatkan sekitar 5,5 persen, (atau) satu dari 20 orang remaja usia 10 sampai 19 tahun di Indonesia itu mengalami gangguan mental," kata Amirah kepada Liputan6.com.
Berdasarkan data tersebut setara dengan 2,45 juta remaja di Indonesia dinyatakan mengalami permasalahan kesehatan mental. Bahkan para remaja tersebut telah terdiagnosis sesuai dengan standar diagnosis yang digunakan di dunia.
Meskipun angka tersebut terbilang tinggi, Amirah menyatakan data tersebut lebih rendah dari riset kesehatan dasar. Gangguan mental yang terdiagnosis pada remaja tersebut juga bervariasi.
Menurut Amirah, ada lima gangguan mental yang difokuskan dalam survei yang dilakukan bersama beberapa lembaga lainnya itu. Salah satunya yakni gangguan cemas. Atau gangguan yang berisikan gejala-gejala mengenai kecemasan yang dikarenakan kondisi sosial dan fobia sosial.
"Kemudian ada depresi, gangguan depresi mayor ini yang mungkin awam sudah mulai mendapat gambaran ya depresi gimana orang kehilangan keinginan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan hati, seseorang yang susah tidur, kurang nafsu makan, rasa sedih yang mendalam dan terus-menerus ini masuk ke gangguan depresi mayor," ucapnya.
Kemudian ada juga gangguan perilaku atau hal-hal yang melanggar norma-norma, misalnya klitih yang terjadi di Yogyakarta. Selanjutnya yaitu post trauma stress disorder (PTSD). Di mana seseorang itu merasakan stres yang mendalam atau tekanan setelah trauma.
Gangguan terakhir yang menjadi fokus yaitu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau kondisi hyperaktif dan sulit untuk berkonsentrasi. "Gangguan mental ini yang terbanyak ada di kecemasan. Jadi kecemasan itu memang kondisi gangguan mental yang paling tinggi diderita oleh remaja-remaja di Indonesia," dia menandaskan.
Jumlah Psikolog dan Psikiater Indonesia Tak Sebanding dengan Populasi Masyarakat
Sebelumnya, Emotional Health for All (EHFA) menyerukan bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik.
Menurut Project Leader & Founder EHFA Dr. Sandersan Onie, topik kesehatan mental sebenarnya semakin terdengar beberapa tahun belakangan. Ini membuat orang-orang mulai peduli dengan kesehatan mental.
Namun, ternyata permasalahan kesehatan mental di Indonesia dinilai cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan tingkat bunuh diri yang masih banyak.
“Berdasarkan penelitian terbaru, kami menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan. Dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut,” kata pria yang akrab disapa Sandy dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (20/10/2022).
Sementara, data lainnya menunjukkan, hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater di Indonesia yang jumlah populasinya lebih dari 250 juta orang. Maka dari itu, jumlah tenaga kesehatan mental di Indonesia dinilai minim.
Kesehatan mental tidak mengenal usia, jenis kelamin, agama, ataupun status sosial. Semua orang berhak mendapatkan akses layanan dan penanganan kesehatan mental yang tepat.
Mengenai penanganan masalah kesehatan mental melalui pendekatan agama, Sandy menjelaskan bahwa ia sering menemukan kejadian diskriminasi yang didasarkan pada keyakinan yang keliru tentang agama.
Contohnya, orang dianggap memiliki gangguan kesehatan mental akibat imannya kurang, mengalami kesurupan, dan stigma lainnya yang mengabaikan masalah kesehatan mental. Hal ini menyebabkan kemajuan edukasi tentang kesehatan mental sangat lambat.
Advertisement
Siapa Saja yang Bisa Mengalami Gangguan Kesehatan Mental?
Isu kesehatan mental di Indonesia telah menjadi fokus berbagai pihak. Meski tak dipungkiri masih diselimuti tabu dan stigma negatif, namun perhatian pada gangguan kesehatan jiwa semakin tumbuh kesadarannya di masyarakat.
"Sebenarnya masalah gangguan jiwa di mana saja bisa terjadi dan bisa siapa saja, dari status ekonomi apa saja dari rendah sampai tinggi, dari kondisi lingkungan apa saja semua memiliki potensi untuk mengalami masalah bahkan gangguan jiwa," kata Ahli Madya Epidemiologi Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Edduwar Idul Riyadi, dalam jumpa pers virtual "Peluncuran Survei Kesejahteraan Mental dan Pusat Kesehatan Digital TikTok," Rabu, 12 Oktober 2022.
Edduwar melanjutkan prevalensi gangguan jiwa berat saja di seluruh dunia hampir sama. Misal, gangguan jiwa berat disebut sebagai gangguan psikotik hingga skizofrenia, di seluruh dunia tidak jauh beda, yakni rata-rata 0,5--1 persen.
"Artinya bahwa tidak ada pengaruh dia di kota, Eropa, Amerika, Indonesia, itu tetap prevalensinya seperti itu. Memberi gambaran bahwa masalah gangguan jiwa itu memang ada di bagian masyarakat kita. Semakin banyak penduduk, semakin juga tinggi prevalensi gangguan jiwa di satu daerah tersebut," terangnya.
Ia mengungkapkan bahwa di kota, seperti Jakarta dengan penduduk yang padat, tingkat stresnya lebih tinggi dibanding di desa. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat sebagai faktor risiko meningkatnya stres pada seseorang.
"Peningkatan stres itu juga bisa memengaruhi kondisi kejiwaan seseorang, tapi ingat, kondisi kejiwaan seseorang juga dipengaruhi oleh ketahanan atau resiliensi mental seseorang," tuturnya.
Edduwar mengatakan ketahanan mental sangat berperan dan berpengaruh pada diri seseorang. Ketahanan mental, kata dia tidak instan tetapi melalui suatu proses dari tahap perkembangan mulai masa kecil, remaja dan dewasa, termasuk kehidupan atau lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
"Ini yang membentuk ketahanan mental seseorang, sehingga kadang-kadang kita berpikir 'kok, masalah segitu saja bisa jadi terganggu' ini yang biasa kita pikir sepele, padahal sebenarnya itu bukan masalah sepele karena setiap orang memiliki ketahanan mental yang masing-masing berbeda untuk menilai stres-stres atau masalah yang timbul dalam kehidupannya," kata dr. Edduwar.
Ia menegaskan untuk tidak memandang remeh suatu persoalan, mengingat setiap orang memiliki kondisi-kondisi berbeda dalam menghadapi stresnya. Dalam situasi tersebut, ia menyarankan untuk pergi ke tenaga profesional atau bisa self-care.
"Self-care itu salah satu cara kita untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan mental yang ada dalam diri kita. Kalau kita mumet kerjaan seperti lagi banyak tekanan, tugas, capek ingin ngopi itu salah satu sikap untuk menangani kondisi stres kita itu disebut sebagai self-care kita, kadang-kadang kita enggak sadari bahwa itulah self-care," terangnya.