UGM Ajak Penyandang Disabilitas Jadi Kader Kesehatan Gigi dan Mulut

Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Gadjah Mada (UGM) meningkatkan kemampuan para siswa berkebutuhan khusus atau difabel di Yogyakarta untuk mencegah penyakit gigi dan mulut melalui program pengabdian masyarakat.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Okt 2022, 10:00 WIB
UGM menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang masuk daftar kampus paling eksotis di Dunia (Sumber foto: www.ugm.ac.id

Liputan6.com, Yogyakarta Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Gadjah Mada (UGM) meningkatkan kemampuan para siswa berkebutuhan khusus atau difabel di Yogyakarta untuk mencegah penyakit gigi dan mulut melalui program pengabdian masyarakat.

"Program ini merupakan langkah konkret dalam usaha peningkatan kesehatan gigi dan mulut sejak dini bagi individu berkebutuhan khusus," kata Ketua Pelaksana Program Pengabdian Masyarakat dari FKG UGM Leny Pratiwi Arie Sandy melalui keterangan tertulis di Yogyakarta.

Menurut dia, program pengabdian yang digelar di SLBN 1 Bantul itu berlangsung Agustus hingga Oktober 2022 dengan tema Pembentukan Kader Kesehatan Gigi dan Mulut "A Hero Triangle" sebagai Pelopor Pemberdayaan Guru dan Orangtua Anak Special Needs.

"Tujuan utama dari program ini menciptakan kemandirian bagi SLB dan juga para orang tua dari anak berkebutuhan khusus menggunakan pendekatan yang inovatif," ujar Leny, dikutip Antara.

Ia juga menyampaikan, tenaga kesehatan nonprofesional dapat diberdayakan berupa kolaborasi orangtua, guru, dan siswa dengan memberikan pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada anak-anak berkebutuhan khusus.

Kegiatan pengabdian masyarakat itu mencakup aktivitas pelatihan selama empat pekan berupa Dental Health Education (DHE) menggunakan alat peraga yang inovatif dan interaktif berupa flipchart, komik gigi, dan "a dental phantom doll" disertai audio serta praktik menyikat gigi dengan benar.

Pembina Klinik Perawatan Rongga Mulut Anak Berkebutuhan Khusus FKG UGM Indah Titien mengakui bahwa anak-anak berkebutuhan khusus merupakan kelompok berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan gigi dan mulut.


Jumlah Penyandang Disabilitas di Yogyakarta

 

Sementara, menurut dia, penyandang disabilitas di DIY termasuk kategori tinggi.

Mengacu hasil Riskesdas 2018, jumlah penyandang disabilitas usia 5-17 tahun di DIY menempati posisi terbanyak kedelapan (4,8 persen) dibanding provinsi lainnya di Indonesia.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial DIY pada 2019, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) kategori anak dengan kedisabilitasan ( 0-18 tahun) sebanyak 2.075 anak.

"Mereka membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain dalam memelihara kesehatan gigi dan mulutnya," kata Indah.


Mindset Disabilitas Harus Diubah

Sebelumnya, pemerhati disabilitas sekaligus dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM, Danang Arif Darmawan, S.Sos., M.Si., menyebutkan perlu ada perubahan cara pandang dari masyarakat terhadap penyandang disabilitas.

Menurutnya, masyarakat harus memiliki konstruksi sosial atau pengetahuan bahwa disabilitas merupakan suatu keberagaman.

"Perlu perubahan mindset warga terhadap keberadaan disabilitas. Mainstreaming yang menempatkan disabilitas sebagai bagian dari keberagaman dan warga negara yang kemudian bisa mendukung proses pembangunan di Indonesia," paparnya, dikutip laman resmi UGM.

Tak hanya merubah mindset masyarakat, Danang menyampaikan perubahan mindset terhadap disabilitas juga harus dilakukan negara. Menurutnya, harus bisa menempatkan disabilitas menjadi bagian warga dengan identitas yang sama.

"Artinya memiliki aspek keberagaman, seperti di Indonesia ada banyak suku. Disini juga ada keberagaman terkait kondisi masing-masing orang yang beragam dan mereka harus diberi hak dan kewajiban dalam pembangunan,"urainya.

Danang menyebutkan bahwa perhatian pemerintah terhadap penyandang disabilitas sudah cukup baik. Hal tersebut ditunjukkan sudah adanya regulasi yang memberikan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan kepada penyandang disabilitas yang diatur dalam dengan UU 6 Tahun 2014 terkait desa yang menekankan perlindungan kelompok rentan dan marjinal seperti perempuan, anak, lansia, masyarakat adat, difabel dan lainnya dan UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Namun begitu, pemerintah masih lamban dalam mengimplementasikan kebijakan yang ada. "Secara regulasi ada, tetapi dari sisi implementasi perlu ditingkatkan," katanya.

Ke


Mewujudkan Aksesibilitas

Ia menekankan dalam implementasi perlu kerja sama lintas sektoral untuk mewujudkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Misalnya Kementrian PUPR dalam mendukung aksesibilitas ruang publik bagi penyandang disabilitas. Lalu, Kemendibudristek dengan menyosialisasikan keberadaan penyandang disabilitas di setiap tingkat pendidikan.

"Salah satunya yang bisa dilakukan dengan mengajarkan bahasa isyarat. Jadi siswa tidak hanya mempelajari bahasa lokal, namun bahasa isyarat juga dipelajari sehingga saat bertemu penyandang disabilitas bisa berkomunikasi dengan baik," jelasnya.

Danang menambahkan upaya membangun desa inklusif juga perlu terus digalakkan pemerintah. Seperti model desa inklusi yang dikembangkan Kemendes PDT bekerja sama dengan UGM. Harapannya tak hanya desa inklusif, tetapi kedepan juga dapat meluas di wilayah perkotaan menjadi kota inklusif.

"Sasarannya tidak hanya penyandang disabilitas tapi bagaimana memberikan perubahan mindset warga terhadap keberadaan disabilitas,"tuturnya.

Ia mencontohkan tidak sedikit keluarga penyandang disabilitas seperti tuli yang tidak bisa bahasa isyarat. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama bagaimana keluarga dan masyarakat bisa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

"Jadi, yang menjadi perhatian tak hanya penyandang disabilitas, namun warga masyarakat secara umum bisa berinteraksi dengan para penyandang disabilitas,"katanya. 

Infografis film dengan tema kehancuran bumi di masa depan (Triyasni/Liputan6.com)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya