Liputan6.com, Jakarta - Remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) seringkali mencari jati diri mereka.
Bahkan, tak jarang dari mereka mencari jati diri dengan cara bergabung dalam sebuah kelompok atau geng sekolah.
Advertisement
Menurut salah satu narasumber mantan koordinator geng, RP di salah satu SMA di Yogyakarta yang tidak mau disebutkan nama gengnya, dirinya bergabung dalam geng karena suka berkelahi dan kekerasan.
Kemudian, dirinya juga mengatakan hal itu dilakukan supaya mendapat atensi dari sekolah, sehingga pendapatnya didengar oleh sekolah.
"Dari dulu saya suka berkelahi ya suka kekerasan dan salah satu alasannya juga memang ternyata. Pada waktu itu kebijakan kepala sekolah sangat mengecewakan bagi saya sendiri karena tidak kasih support ke murid. Padahal yang sering melakukan hal negatif adalah dia yang ingin diperhatikan," kata RP mantan koordinator geng kepada Liputan6.com, Sabtu (29/10/2022).
Meski demikian, salah satu anggota aktif geng, J mengatakan dirinya bergabung karena alasan kebersamaan atau solidaritas.
"Ketertarikan untuk join yaitu karena kebersamaannya," kata J kepada Liputan6.com.
Penasaran seperti apa kelanjutan kisah geng SMA? Langsung saja simak artikel berikut:
Sejarah Singkat Geng Sekolah
Pada 2010 atau 2011 lalu merupakan awal mula didirikannya geng di salah satu sekolah di Yogyakarta dan bersamaan juga dengan sekolah lain baik negeri maupun swasta. Tetapi untuk satu geng ini tidak diketahui siapa pendirinya.
Kemudian, geng salah satu sekolah di Yogyakarta terbentuk karena dulunya sepulang sekolah siswa laki-laki sering berkumpul di warmindo, burjo, atau angkringan sekitar sekolahnya.
Diketahui, motivasi saat itu hanya sebagai sarana untuk nongkrong dan melepas penat usai sekolah.
"Motivasinya sekadar untuk nongkrong bareng antar siswa laki-laki. Hanya untuk melepas penat, canda tawa, dan sebagainya. karena capek selepas sekolah," kata RP mantan koordinator geng.
Sebagai informasi, saat ini anggota geng yang masih aktif berjumlah kurang lebih 30 orang.
"Ya yang saya ketahui anggota yang masih aktif sekitar 20 sampe 30 orang, ada itu," ujar salah satu mantan geng.
Tak hanya itu, terbentuk geng sekolah ini karena ada gesekan gengsi atau permusuhan antar sekolah sehingga sampai saat ini stigma geng sekolah dipandang negatif oleh masyarakat.
Meski demikian, pada 2013 atau 2014, geng ini sempat memberikan stigma positif dengan cara membuat event atau bakti sosial serta bagi-bagi berkah di sekitar sekolah.
Tak bertahan lama, pada 2016, geng tersebut kembali memberikan citra negatif dengan memberikan respons atau gerakan pemberontakan terhadap sekolahnya.
"Pada saat itu berganti ketua geng untuk gerakan negatif karena istilahnya sebuah pemberontakan terhadap kebijakan dari pihak sekolah yang mengecewakan murid-muridnya," kata RP.
Mulai sejak itu, hingga saat ini geng tersebut tetap bergerak ke arah negatif akibat pihak sekolah yang tidak mau memberikan untuk siswanya berkembang di bidang non-akademis seperti lomba futsal, renang, dan lain-lain.
"Yang jelas murid-murid itu kecewa karena tidak ada support atau atensi sekolah untuk mendukung orang-orang berbakat di non-akademis misalnya olahraga futsal renang ataupun lomba-lomba non-akademis lainnya. Maka seringlah saling curhat dan menyebabkan pemberontakan terhadap sekolah," ucap RP.
"Ya jadinya murid gak ada kegiatan positif dan selalu dipandang sepele oleh pihak sekolah. Akhirnya itu membentuk karakter orang jadi ingin menunjukkan jati dirinya waktu SMA dan dengan gerakan negatif," lanjutnya.
Menurut RP, gengnya akan terus terbentuk dan akan merekrut anggota setiap satu tahun sekali. Artinya setiap ada yang lulus sekolah maka akan ada anggota baru yang baru.
"Ya karena ada anggota baru dari adek-adek SMP (murid baru) direkrut masuk ke geng dengan diajak nongkrong. Hal itu dilakukan setiap setahun sekali, siklusnya seperti itu. Terus menerus jadi menang tidak bisa dibekukan atau divakumkan. Jika bisa itu juga harus dari kebijakan anggota yang aktif bukan dari pihak lain," ucap RP.
Advertisement
Menerapkan Syarat dan Ketentuan sebagai Anggota Geng Sekolah
Geng sekolah tentu memiliki syarat dan ketentuan dalam merekrut anggota baru, di antaranya:
1. Jika sudah bergabung dengan geng di sekolahnya harus sering nongkrong,
2. Tidak boleh bergabung dengan geng lain,
3. Akan dikeluarkan apabila tidak pernah aktif, tidak pernah nongkrong bersama,
4. Kaos yang diberikan saat awal masuk geng akan diambil paksa bagi mereka yang tidak aktif lagi meski masih bersekolah disitu.
Tentunya akan ada sanksi bagi anggota yang keluar dari geng sekolah, meski penerapan setiap angkatan berbeda-beda.
"Setiap angkatan beda-beda, bahkan ada yang dipukuli, diminta bajunya, terus ada yang dikucilkan atau dibully. Otomatis di sekolah banyak yang benci dia karena dari mulut ke mulut kan itu hukum sosialnya disitu tapi ini khusus anggota geng loh ya," kata RP.
Mantan koordinator geng RP juga mengatakan adanya senioritas dalam gengnya.
"Untuk senioritas pasti ada ya. Bentuknya memang harus menghormati orang yang lebih tua atau kelasnya yang lebih tinggi dari dia, kayak adek kelas harus menghormati kakak kelasnya. Tidak boleh melawan perintah dari yang tua (dalam konteks geng)," kata RP.
Namun hal tersebut dibantah oleh anggota aktif geng, J. Dirinya mengatakan tidak ada senioritas karena semua sama rata.
"Tidak ada karena kami tidak mau yang namanya senioritas, karena duduk sama rata berdiri tanpa rata," ucap RP.
Penyesalan Diakhir
Wajar jika masa remaja dikatakan sebagai masa si pencari jati diri dengan bergabung dalam geng sekolah. Meski demikian, sebagai mantan koordinator geng, RP merasakan penyesalan kenapa masa sekolahnya dihabiskan untuk nongkrong dan hal yang tidak berguna lainnya.
"Ada perasaan menyesal pasti. Kok saya dulu buang-buang waktu untuk nongkrong, berantem, atau gimana pasti ada ya setelah lulus. Apalagi udah tau dunia kerja sangat disesalkan sih pada waktu itu. Saya lebih berat nongkrong dengan teman-teman, fokus kekerasan itu sampe pelajaran di sekolah saya abaikan," terang RP.
RP juga mengatakan dirinya menyesal meninggalkan pelajaran di sekolah hanya untuk bersikap solidaritas semu karena gengsi.
"Apalagi saya terlalu solid, solidaritas semu sih sebenarnya. Cuma ikut-ikutan yang mentingin gengsi. Karena melewatkan pelajaran-pelajaran berharga di sekolah, seharusnya saya bisa menjadi berpikir yang baik posotif dan punya ilmu yang bisa dikemabngkan untuk saya pribadi," tutup RP.
Berbeda dengan mantan anggota A dan D. Meski menyesal namun ada perasaan bangga atau senang saja saat bergabung dengan geng sekolah.
"Bangga dan menyesal. Bangga karena memiliki pengalaman yang berkesan dan menyesal karena harus menyakiti orang lain," kata A mantan anggota geng kepada Liputan6.com.
"Ya gada bangganya juga sih cuma senang aja dapat teman-teman baru," kata D, mantan anggota geng.
J sebagai anggota geng aktif tidak merasa bangga atau menyesal karena ikut geng sekolah dirinya merasakan kebersamaan karena menerapkan sebuah persaudaraan.
"Kalau bangga tidak, menyesal juga tidak. Akan tetapi menariknya kalau geng merasa bahwa ada kebersamaan yang terasa. Karena kami bukan jagoan tapi menerapkan persaudaraan," papar J.
Advertisement
Kata Mereka yang Bukan Anak Geng Sekolah
Menurut salah satu alumni siswa laki-laki, R yang bukan anak geng, dirinya mengatakan tidak perlu ikut geng selama bisa menjaga hubungan pertemanan.
"Selama kamu bisa menjaga hubunganmu dengan kawan-kawanmu ya gausah ikut geng. Ya santai aja," kata R kepada Liputan6.com.
Meski demikian, R pernah merasa malu karena sebagai pria dia tidak ikut bergabung dalam geng di sekolahnya.
"Kalo malu sih pernah karena liat mereka bisa solid, kemana-mana bareng foto bareng kok aku ga ada ya. Tapi akan hilang kalo kita bisa kontrol jadi ya tetep temenan meski bukan bagian dari geng. Tetap ramah, tetap dirangkul, dan saling bantu meski mereka anak geng," ucap R.
"Cara menolak ajakan ya tentunya dengan sopan ya. Sebutin alasan pribadi kenapa gak bisa ikut geng," tutup R.
Selanjutnya tanggapan dari salah satu alumni siswa perempuan V. Dirinya melihat sah saja jika geng tersebut saat nongkrong tidak sampai merugikan orang lain.
"Secara garis besar mereka nongs itu 70% gak berfaedah, 30% nya mungkin saling bertukar pikiran nah berarti nongsnya bermanfaat gak merugikan diri sendiri dan orag lain ya gapapa," kata V.
V juga berharap bahwa jika sebuah geng tidak bisa berbuat baik, setidaknya jangan menyakiti diri sendiri bahkan orang lain.
"Kalo gabisa berbuat baik minimal jangan merugikan diri sendiri dan orang lain. Gausa aneh-aneh sampe cari gara-gara sama sekolah lain. Memang diumur-umur segitu egonya labil yang diunggulkan sok jago dan sok berani nya efek positifnya kan gak ada," tutup V.
Tanggapan Salah Satu Guru
Salah satu guru yang namanya tidak mau disebutkan, mengatakan bahwa visi dan misi sekolahnya selalu menerapkan cinta kasih, sikap peduli, cerdas, dan transformatif. Sehingga
"Sebelumnya saya sampaikan bagaimana sekarang visi dan misi berdasarkan dari kasih, peduli, cerdas, dan transformatif. Sehingga selalu mengedepankan visi misi yang tadi dan menekankan pada pro-life (peduli terhadap kehidupan). Maka pastinya kita memproses dengan banyak tahapan ya kepada siswa. Jadi kita harus lawan (geng) dengan hati ke hati, empat mata, mencari tahu apa itu yang memengaruhi anak tersebut. Tidak semata-mata dengan tata tertib kita bertindak," ucap salah satu guru kepada Liputan6.com.
Pihak sekolah juga berharap kepada siswa yang tidak bergabung geng untuk bisa mengendalikan, mengontrol, menimbang diri apa manfaat geng. Namun untuk siswa yang terlanjur bergabung supaya menjadi lebih baik kedepannya.
"Harapan kami ya siswa yang belum terlanjur masuk bisa mengendalikan diri, mengontrol, menimbang bagaimana, apa manfaatnya jika ikut geng. Kita pasti mengedukasi dan mendampingi siswa-siswa yang belum masuk, bahan yang sudah masuk saja kita dampingi dengan harapan menjadi lebih baik lagi," kata dia.
Kemudian, cara mengatasi geng di sekolah dengan adanya pendampingan ekstra dari pihak sekolah kepada siswa-siswa tersebut.
"Pendampingannya lebih ekstra. Kalo siswa yang terlibat di geng pasti ada teguran secara lisan, teguran tegas, kemudian ada teguran tertulis. Itu melalui proses-proses yang kita terus lalui dalam pendampingan terhadap siswa tersebut," tutup salah satu guru.
Advertisement