, Baghdad - Pada Kamis 27 Oktober 2022, Parlemen Irak memberikan persetujuannya kepada 21 anggota kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani.
Akhirnya setelah setahun, Irak punya pemerintahan baru. Pertikaian antara faksi-faksi Syiah yang berbeda setelah pemungutan suara tahun lalu membuat parlemen mengalami kebuntuan politik.
Advertisement
"Tim menteri kami akan memikul tanggung jawab pada periode kritis ini, di mana dunia menyaksikan perubahan dan konflik politik dan ekonomi yang luar biasa," kata perdana menteri baru setelah pemungutan suara seperti dikutip dari DW Indonesia, Senin (29/10/2022).
Mohammed Shia al-Sudani mengambil alih kekuasaan dari Mustafa al-Kadhimi yang menjabat sebagai perdana menteri sementara setelah protes anti-pemerintah yang meluas mengguncang Irak dan memicu pemilihan awal.
Kebuntuan politik sejak itu tidak banyak membantu memadamkan kemarahan publik atas apa yang dilihat banyak orang sebagai skandal korupsi yang meluas dan merajalela.
Siapa al-Sudani?
PM Irak berusia 52 tahun itu berasal dari blok parlemen Kerangka Koordinasi Pro-Iran yang saat ini terbesar setelah kepergian anggota parlemen dari blok Syiah yang berlawanan di bawah perintah ulama populis Moqtada al-Sadr.
"Epidemi korupsi yang telah memengaruhi semua aspek kehidupan lebih mematikan daripada pandemi corona dan telah menjadi penyebab banyak masalah ekonomi, melemahnya wibawa negara, meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan layanan publik yang buruk,” kata al-Sudani dalam parlemen.
Tantangan Apa yang Dihadapi PM Baru?
Irak telah bertahun-tahun mengalami konflik. Kelumpuhan politik baru-baru ini semakin menambah kesengsaraannya, kondisi negara tanpa anggaran, walaupun pendapatan dari minyak menghasilkan uang yang cukup besar.
Kurangnya lowongan pekerjaan dan layanan publik yang memicu protes anti-pemerintah semakin memburuk. Oposisi dari Sadr dan pengikutnya menambah tantangan lebih lanjut. Ulama itu mampu membawa ribuan pendukungnya turun ke jalan dalam upaya untuk menekan parlemen. Ketika itu gagal, mereka menyerbu gedung dan mendudukinya beberapa kali.
Popularitasnya, terutama di lingkungan kelas pekerja yang dikenal sebagai Kota Sadr, dan penentangannya terhadap sekutu dekat al-Sudani dan mantan Perdana Menteri Nouri al-Maliki, telah memicu kekhawatiran bahwa ia akan terus mengganggu sistem politik Irak yang rapuh.
Advertisement
Setahun Pasca-Pemilu, PBB Desak Irak Berdialog Akhiri Kebuntuan Politik
Sebelumnya, setahun setelah pemilihan umum terakhir berlangsung di Irak, misi PBB mendesak faksi-faksi politik untuk mengakhiri kebuntuan yang melumpuhkan negara yang kaya akan minyak itu. Badan dunia itu memperingatkan bahwa “Irak sudah kehabisan waktu.”
“Krisis yang berlarut-larut itu menimbulkan ketidakstabilan lebih lanjut ... Itu mengancam kehidupan masyarakat,” kata Misi Bantuan PBB di Irak, seraya mendesak agar diadakan “dialog tanpa prasyarat” menuju pemerintahan yang stabil di negara yang porak-porandak karena dikoyak perang itu.
Rakyat Irak terakhir memberikan suara pada 10 Oktober 2021 dalam pemilihan yang sebelumnya dipicu oleh gelombang protes massal menentang korupsi endemik, pengangguran yang merajalela, dan infrastruktur yang memburuk.
Satu tahun kemudian, Irak belum membentuk pemerintahan baru sehingga Perdana Menteri sementara Mustafa al-Kadhemi tidak dapat meminta parlemen meloloskan anggaran belanja baru.
PBB mengatakan bahwa pemungutan suara setahun yang lalu “adalah pemilihan yang diperoleh dengan susah payah, yang disebabkan oleh tekanan publik dengan protes nasional di mana beberapa ratus pemuda Irak kehilangan nyawa dan ribuan lainnya terluka.”
“Patut disesalkan bahwa penegasan kembali demokrasi (melalui pemilu) ini diikuti oleh politik yang memecah belah, menghasilkan kekecewaan publik yang mendalam,” tambah pernyataan tersebut.
Faksi-faksi Muslim Syiah yang bersaing di parlemen telah berusaha untuk mendapatkan pengaruh dan hak untuk memilih perdana menteri dan pemerintahan baru.
Kebuntuan demikian telah menyebabkan kedua pihak mendirikan dua kamp protes dan kadang-kadang memicu bentrokan di jalanan yang mematikan.
Istana Kepresidenan Irak Diserbu Usai Ulama Syiah Pensiun dari Politik
Warga Irak sempat menyerbu istana kepresidenan usai kabar pensiunnya tokoh politik dan ulama Syiah, Moqtada Al-Sadr (48). Belasan orang dilaporkan tewas.
Dilaporkan BBC, Selasa (30/8/2022), Moqtada Al-Sadr adalah salah satu tokoh sentral dalam dunia politik Irak. Pada Oktober 2022, aliansi politiknya berhasl meraih banyak kursi di parlemen, namun mereka akhirnya mundur karena tak akur dengan rival mereka di parlemen yang sama-sama Syiah.
Ketidakcocokan itu dipicu oleh masalah pengangkatan perdana menteri Irak. Kini, Moqtada Al-Sadr memutuskan tidak lagi terlibat politik.
AP News melaporan bahwa ratusan pengikutnya menyerang istana pemerintahan dan menimbulkan bentrok dengan pasukan keamanan. Setidaknya 15 prostester terbunuh.
Usai merobohkan bagian depan istana, para protester juga menerobos masuk ke ruangan istana yang menjadi tempat pertemuan pemimpin Irak dengan para tamu-tamu kehormatan dari luar negeri.
Tim medis berkata lusinan protester terluka oleh senjata api, gas air mata, serta bentrok fisik dengan aparat. Setidaknya satu tentara dari divisi pasukan khusus dilaporkan terbunuh. Ada juga seorang wanita sipil yang terluka.
Kondisi politik Iran memang sedang berada dalam ketidakpastian usai kubu Moqtada Al-Sadr menolak menegosiasi soal perdana menteri baru.
Militer Irak telah mengumumkan jam malam, sesi kabinet ditunda akibat kerusuhan yang terjadi.
Berbeda dari Iran yang sepenuhnya dikendalikan pemerintahan Syiah, politik di Irak terbagi antara Syiah dan Sunni. Kelompok Syiah tertindas di masa Saddam Hussein hingga akhirnya ia dilengserkan lewat invasi yang dipimpin AS. Kini, kelompok Syiah masih memperebutkan kekuatan politik, serta ada juga elemen intervensi dari Iran.Advertisement
Advertisement